Beberapa hari terakhir, daerah Sulawesi Selatan, khususnya Kota Makassar terus menerus diguyur hujan. Akibatnya, beberapa ruas jalan serta beberapa titik-titik permukiman warga terendam banjir.
Intensitas hujan yang tergolong cukup tinggi tentunya tak bisa dihindarkan sekaligus tak bisa dikesampingkan sebagai penyebab terjadinya banjir. Ya, setidaknya itulah yang menjadi pandangan umum di kalangan masyakat, bahwa banjir disebabkan karena hujan.
Lalu pertanyaannya, sudahkah tepat jika persoalan banjir tidak lain dan tidak bukan hanyalah persoalan intensitas hujan? Tentunya, jika kita coba untuk mendalami, persoalan banjir bukan hanya sekedar intensitas hujannya, akan tetapi lebih kepada bagaimana kita mengelola air hujan dengan baik dan benar.
Banjir tentunya sangat meresahkan. Banjir tidak melihat kalangan. Banjir juga bisa merugikan siapa saja. Betapa tidak, begitu banyak aktifitas warga yang terhambat akibat terjadinya banjir.
Semua pikiran dan konsentrasi seperti hanya terfokus kepada bagaimana mengatasi serta menghindari banjir. Alhasil, begitu banyak orang yang seolah mengutuk banjir, sekaligus mengutuk pihak-pihak tertentu akibat banjir yang dari tahun ke tahun terus terjadi bahkan terkesan semakin menjadi-jadi.
Tentunya, ini menjadi catatan penting bagi kita semua, khususnya bagi para pemangku kebijakan. Perlu kita sadari serta mengakui, bahwa Kota Makassar hari ini tengah mengalami ketidakmampuan untuk mengimbangi intensitas hujan yang tergolong cukup tinggi.
Maka dari hal tersebut, ketidakmampuan kota itulah yang perlu dibenahi. Hal tersebut tentunya dapat dimulai dari perbaikan sistem drainase yang ada (jangka pendek). Secara keseluruhan, kita memang memiliki sistem drainase yang tergolong buruk.
Mulai dari volume drainase yang tidak proporsional, sampai kepada saluran drainase yang terkesan semrawut. Tidak proporsionalnya volume drainase dapat kita tinjau dari aspek klimatologi (intensitas curah hujan sebagai negara tropis).
Jika kita telah mengetahui bahwa kita hidup di wilayah dengan musim penghujan, maka sudah seharusnya kita membuat drainase yang siap menampung air hujan.
Bukan justru membuat drainase dengan volume seadanya. Belum lagi bahwa drainase tidak hanya berfungsi untuk menangkap air hujan secara langsung, tetapi juga berfungsi untuk menangkap air hujan yang mengalir dari jalan. Olehnya itu, volume drainase tentunya juga harus mempertimbangkan aspek lebar jalan.
Masih soal drainase, bahwa drainase yang terbilang buruk juga dapat dilihat dari saluran drainase kita yang begitu semrawut. Bahkan hal tersebut semakin diperparah akibat masih disatukannya antara saluran limbah dan saluran drainase. Penyebabnya tidak lain dan tidak bukan karena kita memang masih minim pada persoalan infrastruktur.
Kembali ke persoalan saluran drainase, begitu banyak drainase lingkungan di lorong-lorong yang tidak mengalir dengan baik ke drainase utama, bahkan bisa dikatakan terputus alirannya ke drainase utama. Tidak hanya dari drainase lingkungan ke drainase utama, bahkan aliran dari drainase utama ke muara terakhir seperti ke sungai dan/atau ke laut juga ikut terhambat (bisa jadi karena adanya kegiatan reklamasi dsb).
Padahal secara mendasar, drainase dibuat untuk mengalirkan air secara cepat. Sebab jika tidak, maka debit air akan semakin meningkat. Dengan demikian, sudah barang pasti ketika hujan turun dengan intensitas tinggi, maka akan terjadi overload yang secara otomatis akan mengakibatkan genangan bahkan banjir sekalipun.
Selain perbaikan sistem drainase, Kota Makassar juga perlu solusi jangka panjang dalam hal mitigasi bencana banjir. Konsistensi terhadap penataan ruang yang berkelanjutan adalah jalannya. Kota Makassar begitu kekurangan daerah resapan air, seperti Ruang Terbuka Hijau (RTH) dsb.
Pada akhir tahun 2016 yang lalu, DPRD Kota Makassar mengklaim bahwa RTH di Kota Makassar baru mencapai sekitar 9% saja. Hal ini tentunya sangat jauh dari apa yang disyaratkan oleh Undang-undang Penataan Ruang, yakni sebanyak 30% dari total luas wilayah.
Kota Makassar sudah harus membudayakan hidup vertikal, sehingga keberadaan lahan yang statis dapat digunakan secara efektif dan seefisien mungkin, guna meminimalisir pemanfaatan lahan terbangun sehingga peluang untuk terciptanya RTH lebih besar.
Nah, berdasarkan beberapa uraian di atas, maka kurang tepat jika dikatakan bahwa banjir yang terjadi di Kota Makassar itu akibat adanya air kiriman dari daerah tetangga, seperti Kabupaten Gowa, Kabupaten Maros dsb. Ini tidak lebih dari sekedar permasalahan di Kota Makassar itu sendiri.
Terlebih jika kita tinjau dari karakteristik wilayah di Kota Makassar, Makassar mempunyai karakteristik yang cenderung sama dengan karakteristik di wilayah Kabupaten Gowa dan juga Kabupaten Maros. Tingkat topografi Kota Makassar, Kabupaten Gowa serta Kabupaten Maros berada pada kisaran 0-30 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Sehingga untuk menjadi daerah tangkapan air (daerah cekungan) bagi wilayah-wilayah di sekitarnya, Makassar masih sangat jauh. Sebab Makassar, Gowa dan juga Maros memiliki tipologi wilayah yang masih cenderung sama.
Oleh Ilham Azhari Said, S.PWK, Sarjana Perencanaan Wilayah dan Kota UINAM. Saat ini menjabat sebagai Ketua Mahasiswa Pembangunan Indonesia Sulawesi Selatan