KEBANGKITANÂ Republik Rakyat Tiongkok (RRT) sebagai sebuah raksasa baru di bidang ekonomi dunia, nampaknya telah menimbulkan kekhawatiran yang tinggi di kalangan sejumlah pemerhati di tanah air.
Investasi RRT yang besar-besaran di Indonesia, di antaranya proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung bernilai Rp. 75,- triliun, justru dilihat sebagai sebuah ancaman serius bagi eksistensi dan kedaulatan Indonesia.
Pasalnya ideologi RRT tetap komunis, sementara Indonesia menganut ideologi Pancasila sekaligus anti-komunis. Komunis dikenal sebagai agresor ideologi yang aktif dan progresif.
Tidak ada dalam kamus para pemerhati bahwa kebangkitan RRT justru positif. Dalam arti bisa menjadi penyeimbang atas kehadiran Amerika Serikat yang sudah lebih dari 40 tahun mendominasi kawasan di sekitar Indonesia, khususnya Asia Tenggara.
Kekhawatiran itu tercermin dari presentasi sejumlah pembicara dalam diskusi terbatas Selasa 10 Mei 2016 di hotel Aliya, Cikini, Jakarta Pusat.
Para panelis yang rata-rata bergelar doktor dari berbagai universitas di luar negeri, rata-rata melihat Indonesia bakal dijajah oleh “Komunis Tiongkok”. Sejumlah indikasi pun berikut fenomena diungkap.
Mulai dari usaha RRT yang menawarkan pinjaman bagi bank-bank milik pemerintah Indonesia.
Pinjaman itu di mata para pemerhati merupakan umpan sekaligus jebakan. Kelak hutang pinjaman akan melilit sekaligus menjai beban bagi bank pemerintah. Setelah itu bank pemerintah tidak mampu membayar hutangnya, lantas bank tersebut akan dijadikan pintu masuk pemerintah RRT untuk “mengakuisisi” Indonesia.
Sementara para konglomerat Tionghoa di Indonesia bakal dijadikan oleh pemerintah RRT sebagai ‘agen’ perpanjangan tangan untuk menguasai berbagai bisnis di Indonesia.
Kekhawatiran bertambah karena sampai soal kecilpun ikut dianalisa.
Misalnya soal adanya 5 warga RRT yang tidak memiliki dokumen keimigrasian, tetapi sudah menjadi buruh bagi proyek Kereta Api Cepat, Jakarta – Banadung. Mereka tertangkap oleh petugas Bandara Halim PK, Jakarta Timur di kawasan yang masuk daerah terlarang atau restricted area.
Ada kecurigaan ke-5 warga RRT yang tidak punya indentitas tersebut merupakan tentara terlatih dari negara Tiongkok Komunis yang sengaja disusupkan ke Indonesia. Mereka merupakan bagian dari “advanced team”.
Kekhawatiran lainnya, dipicu oleh adanya perjanjian resmi antara pemerintah kedua negara. Dimana RRT berhak mengirim tenaga kerja ke Indonesia sebanyak kurang lebih 10,- juta orang.
Bagi para pemerhati tersebut, Presiden Joko Widodo sendiri bukanlah orang kuat Indonesia yang mampu menahan serbuan RRT. Bahkan kemampuan Joko Widodo memerintah dengan tegas, diragukan oleh para pemerhati. Jika disuruh memilih, mereka lebih suka Joko Widido tidak melanjutkan kepemimpinannya.
Joko Widodo juga bukanlah Presiden yang dibantu oleh seluruh Menteri yang memiliki kualitas, akuntabilitas dan kredibilitas yang tinggi.
Kelemahan pemerintahan Joko Widodo diperparah oleh terjadinya polarisasi antara sesama anggota kabinet.
Kendati demikian, sebagai salah seorang peserta sekaligus nara sumber dalam diskusi tersebut, saya termasuk yang tidak terlalu khawatir akan ancaman RRT. Termasuk ancaman ideologi komunisnya.
RRT perlu dilihat sebagai negara besar yang justru bisa menjadi penyeimbang kekuatan di kawasan Asia Tenggara, dalam menghadapi negara adidaya, Amerika Serikat. Kebetulan Amerika Serikat sudah menganggap RRT sebagai salah satu saingannya di dunia internasional. Kedua negara juga sama-sama memiliki Hak Veto di Dewan Keamanan PBB.
Dan sebagai negara yang menganut politik luar negeri yang bebas aktif, seharusnya Indonesia bisa menghadirkan atau mengundang negara-negara besar lainnya ke kawasan. Apakah itu India ataupun Rusia. Jadi tidak hanya terbatas pada RRT semata.
Ketidak khawatiran lainnya, berpangkal pada peristiwa pengembalian Hong Kong dan Makau kepada RRT.
Jauh sebelum kedua koloni tersebut dikembalikan, ada kekhawatiran, negara koloni Inggeris (Hong Kong) dan Portugal (Makau) yang non-komunis itu, akan berubah total ; merah (komunis).
Hong Kong dikembalikan oleh Inggeris pada 1 Juli 1997, diperhitungkan bakal bergeser fungsi dan gaya hidupnya. Tak akan menjadi pusat keuangan dan bisnis di Asia bersama Tokyo. Masyarakatnya tak akan sebebas semasa diperintah oleh Inggeris. Nyatanya, pergeseran fungsi dan gaya hidup itu tidak terjadi.
Demikian pula Makau yang dikembalikan Portugal ke RRT pada 20 Desember 1999. Tak ada yang berubah. Makau tetap menjadi salah satu tujuan wisata judi terkemuka di Asia Timur.
Selain Hong Kong dan Makau masih ada contoh lainnya, yaitu Taiwan. Negara pulau atau provinsi di seberang laut Cina Daratan ini, didirikan oleh Chiang Kai Sek (nasionalis). Pendiri Taiwan ini sekaligus pendiri PBB.
Namun ketika Amerika Serikat harus memilih “Satu Cina”, maka yang dikorbankan Washington adalah Taiwan. Negara ini pun terusir dari keanggotaannya di PBB.
Bekas anggota tetap Dewan Keamanan PBB ini, dulunya dikhawatirkan akan langsung dicaplok oleh Komunis Tiongkok atau Cina Daratan, begitu situasinya sudah kondusif. Namun yang terjadi sejak Taiwan dihapus dari keanggotaannya di PBB pada tahun 1971 dan posisinya digantikan oleh RRT, hingga sekarang, sudah 45 tahun, tak terjadi apa-apa.
Bahkan pebisnis Taiwan termasuk pihak pertama yang diundang RRT untuk melakukan investasi di Cina Daratan (RRT) pada tahun 1990-an.
Soal komunisme Tiongkok, perlu dilihat dari berbagai perspektif.
Jika dilihat dari perspektif kemajuan dan modernisasi yang terjadi di Tiongkok, sangat sulit untuk menyebut bahwa negara yang memiliki penduduk terbanyak di dunia ini – sekitar 1,4 milyar manusia, masih menjalankan ideologi komunis.
Sebab di RRT pula bisa ditemukan banyaknya orang kaya baru yang kekayaan mereka mampu menyaingi orang-orang terkaya di negara liberal, Barat atau non-komunis.
Padahal pemahaman komunisme selama ini adalah identik dengan masyarakat yang semua kaya atau semuanya miskin. Sama rata.
Semakin tergerusnya ideologi komunis di RRT mungkin bisa dlihat dari gaya hidup masyarakat termasuk anggota pemerintahannya yang semuanya kader Partai Komunis Tiongkok.
Kelihatannya mereka sudah banyak mengadopsi gaya hidup orang Barat yang non-komunis.
RRT misalnya sejak tahun 2004, setiap tahun menggelar lomba balap mobil Formula One, sekalipun tak satupun orang Cina yang ikut dalam perlombaan tersebut. Sementara hampir 100 persen barang konsumtif yang dipromosikan di arena balap Formula One itu, berasal dari negara-negara non-komunis.
Masih di dunia olahraga, RRT merupakan salah satu negara di dunia yang berusaha mengambil alih kiblat golf dunia. Dulu kiblat golf ke St.Andrew, Skotlandia. Kemudian kiblat itu direbut Amerika Serikat dengan menghadirkan ratusan ribu padang golf di seantero benua itu.
Kini kiblat golf itu sedang diarahkan ke RRT. Dan pemerintah komunis RRT merestuinya. Sejumlah pegolf profesional RRT pun mulai berlaga, diundang khusus oleh event organiser US Open, US Masters dan British Open.
Cara merebut kiblat itu antara lain dengan membangun sebuah Kota Golf bernama Mission Hills. Di kota tersebut terdapat 10 buah padang golf berkelas “signature”.
Designer padang golf tersebut terdiri dari pegolf terkemuka di dunia. Mulai dari yang tertua seperti Arnold Palmer ataupun Gary Player sampai yang lebih muda usia seperti Greg Norman ataupun Tiger Woods. Padahal dari sejarah kelahirannnya, Golf dikenal sebagai olahraga para borjouis dan bukan para pekerja seperti buruh komunis.
Pen-stigma-an RRT sebagai negara komunis yang berbahaya dan punya sifat ekspansionis, pada akhirnya, sepertinya kurang mendasar.
Apalagi sejauh ini RRT belum (pernah) terbukti melakukan pencaplokan sebuah wilayah atau negara. RRT juga belum pernah melakukan invasi ke sebuah negara dengan alasan HAM seperti halnya yang dilakukan Amerika Serikat di berbagai negara.
Untuk memperkuat argumentasi di atas, yang patut dianggap berbahaya sekaligus ancaman bagi Indonesia, justru bukan negara raksasa seperti RRT. Malainkan negara tetangga dan lebih kecil ukurannya yaitu Singapura.
Pasalnya negara ini sudah banyak masuk ke berbagai sektor kehidupan orang Indonesia dan bisnis di bumi Nusantara.
Negara yang mayoritas penduduknya beretnis Tionghoa ini banyak menampung uang-uang panas dari Indonesia. Demikian pula hampir semua pelarian dari Indonesia, menjadikan Singapura sebagai tempat pelarian atau persembunyian.
Dalam soal ketertiban, Singapura dikenal sebagai negara yang paling bersih dari soal korupsi. Tetapi satu demi satu mulai terungkap yang ditampung oleh Singapura justru mereka yang berstatus sebagai koruptor.
Sehingga keanehan dan paradoksial ini selain membingungkan sekaligus menimbulkan pertanyaan – apakah agenda negara tetangga ini terhadap Indonesia ?
Perusahaan milik negaranya sudah masuk ke Indonesia lewat bisnis lukratif dan strategis seperti Telekomunikasi (Telkomsel) dan Keuangan serta Perbankan (Bank Danamon). Rumor lainnya, Singapura mulai melakukan rembesan ke bisnis media berbasis on-line.
Kemudian coba simak keluhan para CEO dari perusahaan-perusahaan pemerintah. Betapa sulitnya meminta Singapura memberlakukan apa yang dikenal dengan sikap resiprokal (timbal balik).
“Serbuan” seperti yang dilakukan Singapura ini, itulah yang belum terlihat dilakukan oleh RRT.
Sehingga menjadi pertanyaan, apakah maraknya kehidupan antara Jakarta – Beijing bisa dijadikan alasan sebagai sebuah bukti ancaman serius terhadap eksistensi NKRI ?
Jawaban atas pertanyaan ini, mari kita simak dan cari secara terpisah.
Satu hal yang pasti, diselenggarakannya diskusi terbatas tadi tidak terlepas dengan kaitannya atas perkembangan situasi di tanah air. Yaitu rasa tidak suka atas kelakuan pengusaha keturunan Tionghoa sedang merebak. Dan ketidak sukaan ini dimulai dari sorotan terhadap tingkah laku Ahok atau Basuki Tjahaja Purnama.
Menjadi tugas kita semua untuk menangkal dampak negatifnya. Kecintaan terhadap Indonesia, bagaimanapun harus berada di posisi terdepan atau teratas.
Oleh Derek Manangka, Jurnalis Senior