Artikel ini ditulis oleh Executive Director OneWorld – Indonesia, Firdaus Cahyadi
TAHUN 2021 adalah tahun emas bagi empat bank besar di Indonesia. Bagaimana tidak, di sepanjang tahun itu keempat bank besar berhasil meningkatkan laba secara fantastis. Akumulasi laba mereka tumbuh pesat. Keempat bank itu adalah Bank Mandiri, BNI, BRI dan BCA.
Bank Mandiri misalnya, sepanjang tahun 2021 berhasil membukukan laba bersih sebesar Rp28,03 triliun, tumbuh 66,8 persen secara tahunan. Akumulasi laba bank BUMN papan atas itu berdampak juga pada kinerja sahamnya. Kinerja saham Bank Mandiri yang naik sebesar 11,1 persen secara tahunan, unggul di atas pertumbuhan IHSG atau Indeks Harga Saham Gabungan sebesar 10,1 persen.
Peningkatan laba juga dialami oleh BNI. Laba bersih BNI pada tahun 2021 tercatat Rp 10,89 triliun, tumbuh 232,2 persen year on year (yoy), atau tiga kali lipat dari profit tahun 2020. Sebuah capaian yang fantastis dari angka statistik ekonomi. Hal yang sama juga dialami bank BUMN lainnya, BRI. Di 2021, kenaikan laba BRI menjadi 119,83 triliun. Sementara itu, BCA adalah bank swasta yang juga mengalami kenaikan laba yang juga cukup besar di 2021. Hingga akhir 2021, laba Bank BCA dan entitas anak usahanya mencapai Rp31,4 triliun, atau naik 15,8 persen yoy.
Ironisnya, di tengah pertumbuhan laba bank-bank tersebut, di sepanjang 2021, bencana akibat krisis iklim juga meningkat secara drastis. Menurut Sisilia Nurmala Dewi, Indonesia Team Leader 350.org, tahun 2021 adalah tahun bencana iklim.
Bagaimana tidak, data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebutkan sepanjang tahun 2021 Indonesia mengalami sebanyak 2.841 kejadian bencana alam, yang didominasi oleh bencana hidrometeorologi. BNPB juga mencatat kejadian bencana di 2021 naik dibandingkan tahun 2020. Kejadian bencana naik 19,4 persen, dari 355 menjadi 424 kejadian bencana. Jumlah pengungsi dan terdampak bencana pun naik 153 persen, dari 265.913 menjadi 672.736 orang.
Kenapa kenaikan laba-laba bank-bank itu menjadi ironis di tengah bencana iklim pada tahun 2021? Ironis, karena keempat bank yang mencetak laba fantastis itu adalah bank-bank yang juga memilih untuk terus mendanai batu bara. Sementara, bukan rahasia lagi bahwa pembakaran batu bara ini telah mengakibatkan kenaikan gas rumah kaca (GRK), penyebab krisis iklim.
Di atas kertas bank-bank yang mencetak laba di tahun 2021 itu mengaku mendukung aksi iklim. BNI misalnya, sering kali menggunakan jargon Green Banking dan Go Green dalam laporan-laporan resminya. Bahkan BNI bersama BRI dan Bank Mandiri merupakan salah satu anggota “First Movers on Sustainable Banking”.
Tak berhenti sampai di situ, BNI, BRI dan Mandiri merupakan bank nasional yang mengumumkan terbentuknya Inisiatif Keuangan Berkelanjutan Indonesia (IKBI) dan berkomitmen untuk menerapkan Sustainable Finance. Hebatnya lagi, BNI merupakan satu-satunya bank di Indonesia yang menjadi anggota UN Environment Programme Finance Initiative. Bukan hanya iti, BNI mendukung upaya Pemerintah Indonesia dalam mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK), penyebab krisis iklim, hingga 29 persen dengan upaya sendiri, atau hingga 41 persen dengan dukungan negara donor pada tahun 2030.
Sementara itu, BRI menyatakan dalam laporan tahunan 2020 bahwa mereka tidak akan memberikan pembiayaan kredit pada usaha yang merusak lingkungan dan berkomitmen untuk menerapkan praktik keuangan berkelanjutan yang diintegrasikan dengan aspek ESG (Environment, Social, and Governance).
Sedangkan BCA dalam laporan keberlanjutan pada 2020 mengungkapkan bahwa Dari sisi lingkungan internal, BCA mulai mengembangkan strategi untuk mitigasi dan adaptasi pada perubahan iklim. Sebuah komitmen iklim yang terdokumentasi dalam laporan resmi perusahaan.
Semua baik-baik saja. Tidak ada bank yang menyatakan tidak ramah lingkungan dan tidak mendukung upaya melawan krisis iklim. Tapi itu hanya di permukaan saja. Bank-bank itu ternyata masih mendanai proyek batu bara, salah satu sumber utama krisis iklim.
Seperti ditulis Moody’s Investor Service, pada tanggal 23 November 2021, perusahaan tambang batu bara, ABM Investama mengumumkan bahwa mereka mendapatkan pinjaman sebesar 100 juta USD dari dua bank BUMN. Bank BUMN itu adalah BNI dan Mandiri.
Sebelumnya, pada April 2021, BNI dan BRI bertindak sebagai agen fasilitas dalam pemberian kredit sindikasi sebesar USD 400 juta untuk Adaro. Perusahaan Adaro merupakan produsen batu bara terbesar kedua di Indonesia yang memiliki cadangan batu bara sebesar 1,1 miliar ton. Jika dibakar, emisi batu bara itu akan menyebabkan krisis iklim terjadi makin cepat.
Bank Mandiri dan BRI pada Juli 2020 misalnya, terlibat dalam kredit sindikasi sebesar USD 2.6 miliar dalam jangka waktu 183 bulan untuk membangun PLTU batu bara ‘Jawa 9 dan 10’ di Banten. Padahal, berdasarkan pemodelan dampak kesehatan, PLTU itu akan menyebabkan lebih dari 4.7001 kematian dini selama masa PLTU tersebut beroperasi. Konsumsi batu bara PLTU Jawa 9 dan 10 diperkirakan mencapai adalah 9.672.000 ton per tahun. Dapat dibayangkan betapa besar emisi GRK yang dihasilkannya.
Hal yang sama juga terjadi pada BCA. Mengutip Global Coal Exit List1, BCA tercatat masih memberikan pembiayaan pada sektor batu bara antara Oktober 2018 – Oktober 2020. Bahkan, seperti ditulis TEMPO, 28 November 2021, Presiden Direktur BCA meminta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk memberikan kemudahan bagi perbankan untuk menyalurkan dana ke sektor batu bara.
Berbagai elemen masyarakat sudah bergerak. Komunitas mahasiswa Fossil Free UI dan UGM sudah membikin petisi ke Direktur BNI untuk menghentikan pendanaan ke batu bara (https://www.change.org/GaPakeNanti). Koalisi organisasi masyarakat sipil telah membangun platform digital https://bersihkanbankmu.org/, untuk menampung suara masyarakat dalam mengajak keempat bank papan atas itu agar menghentikan pendanaan ke batu bara.
Namun, tampaknya para petinggi bank-bank itu masih memilih mendanai batu bara yang mengancam masa depan umat manusia. Kini bola panas ada di tangan para petinggi bank-bank itu. Salah pilih dalam memutuskan, bukan tidak mungkin bank-bank mereka juga akan kolaps karena ditinggalkan nasabahnya. Jika itu terjadi, krisis iklim bukan hanya telah menimbulkan bencana ekologi, tapi juga bencana ekonomi di negeri ini.
(###)