Artikel ini ditulis oleh Guru Besar Ilmu Manajemen, Dekan Sekolah Pascasarjana, Institut Perbanas, Steph Subanidja
BADAN Pusat Statistik (BPS) pada 3 Januari 2025, merilis Inflasi tahunan Indonesia sebesar 1,57%. Inflasi ini tergolong rendah. Namun, meskipun situasi ekonomi terlihat terkendali dari perspektif angka, sebagian masyarakat tetap merasa resah, mengeluh, atau bahkan "nyinyir". Pertanyaan mendasar yang muncul adalah mengapa kita masih merasa tertekan dengan kenaikan harga barang, stagnasi pendapatan, dan ketidakpastian ekonomi meskipun inflasi berada pada level yang relatif rendah?
Secara teori, inflasi sebesar 1,57% mencerminkan stabilitas ekonomi. Angka ini bahkan lebih rendah dari target ideal yang ditetapkan Bank Indonesia, yaitu di kisaran 2-4%. Inflasi adalah juga sebagai indikator positif stabilitas ekonomi. Dengan inflasi di angka ini, Indonesia masih berada di jalur stabil jika dibandingkan dengan banyak negara lain yang menghadapi inflasi lebih tinggi akibat ketidakpastian global.
Inflasi rendah 1,57% pada 2024 menunjukkan keberhasilan pemerintah dalam menjaga kestabilan ekonomi, yang lebih baik dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Thailand (3%) dan Filipina (4,5%) di tahun yang sama.
Stabilitas ini penting untuk menjaga pertumbuhan ekonomi tanpa memicu lonjakan harga yang tidak terkendali. Namun, angka inflasi sering kali tidak mampu merepresentasikan realitas yang dirasakan oleh masyarakat.
Sebagai indikator rata-rata kenaikan harga barang dan jasa, inflasi nasional tidak menggambarkan kenaikan signifikan pada barang tertentu seperti bahan pokok, energi, atau transportasi, yang sangat memengaruhi kehidupan sehari-hari.
Sebagian masyarakat menghadapi kenaikan harga barang dan jasa yang tidak merata. Misalnya, lonjakan harga beras, minyak goreng, atau telur yang tinggi berdampak signifikan bagi keluarga berpenghasilan rendah. Misalnya juga, pada Desember 2024, harga beras premium di beberapa wilayah Indonesia naik hingga 15% dibanding bulan sebelumnya, menyebabkan kesulitan bagi rumah tangga yang 30-40% pengeluarannya dialokasikan untuk bahan makanan
Hal seperti ini sering kali memperbesar tekanan ekonomi, terlepas dari angka inflasi nasional yang rendah. Selain itu, stagnasi pendapatan memperburuk situasi. Data BPS 2024 menunjukkan bahwa rata-rata kenaikan upah pekerja formal hanya 3% per tahun selama lima tahun terakhir, lebih rendah dari kenaikan rata-rata biaya hidup sebesar 5%.
Bagi sebagian pekerja kelas menengah ke bawah, gaji yang tidak mengalami peningkatan berarti selama bertahun-tahun membuat daya beli menurun. Ketidakseimbangan ini menyebabkan rasa frustrasi yang semakin dalam.
Ketidakpastian ekonomi global juga turut memengaruhi persepsi masyarakat. Krisis energi, perubahan kebijakan luar negeri, atau ketegangan politik dalam negeri menciptakan rasa cemas terhadap masa depan. Meskipun angka ekonomi menunjukkan stabilitas, ketakutan akan hal-hal yang tidak terduga sering kali mendominasi. Di sisi lain, media sosial dan pemberitaan juga memainkan peran besar dalam membentuk persepsi negatif. Isu kecil yang dibesar-besarkan, serta minimnya apresiasi terhadap kebijakan yang berhasil, mendorong budaya kritik tanpa solusi yang semakin meluas. Sebagai contoh yang viral di media sosial tentang kenaikan harga minyak goreng 10% sering kali tidak disertai penjelasan mengenai kebijakan pemerintah untuk stabilisasi harga melalui subsidi sebesar Rp2 triliun pada 2024.
Ketidakpercayaan terhadap pemerintah menambah lapisan kerumitan. Banyak yang merasa bahwa kebijakan lebih menguntungkan kelompok tertentu, sementara masyarakat umum, terutama mereka yang rentan, tidak mendapatkan perhatian yang cukup. Persepsi ketidakadilan ini memperkuat rasa ketidakpuasan, meskipun data menunjukkan stabilitas ekonomi.
Kritik terhadap situasi ekonomi tentu penting untuk mendorong akuntabilitas. Namun, jika hanya berbentuk keluhan tanpa solusi, hal ini bisa menghambat kemajuan. Memahami ekonomi secara holistik menjadi kunci untuk mengurangi budaya "nyinyir". Inflasi rendah menunjukkan adanya kestabilan, meskipun pengaruhnya terhadap kelompok masyarakat tertentu berbeda-beda. Dengan memahami gambaran besar, masyarakat dapat menyikapi kondisi ekonomi secara lebih rasional dan bijak.
Fokus pada solusi juga merupakan langkah penting. Ketimbang terus-menerus mengeluhkan kenaikan harga, masyarakat bisa mencari cara untuk beradaptasi. Misalnya, melalui pengelolaan keuangan yang lebih baik, mencari alternatif pendapatan, atau mendukung kebijakan yang dirancang untuk mengatasi ketimpangan sosial. Selain itu, kepercayaan terhadap kebijakan pemerintah dan keterlibatan aktif dalam proses ekonomi dapat memberikan kontribusi nyata terhadap stabilitas dan pertumbuhan.
Meskipun inflasi 1,57% mencerminkan stabilitas ekonomi Indonesia, ketidakmerataan kenaikan harga, stagnasi pendapatan, dan ketidakpastian global membuat banyak masyarakat tetap merasa resah. Untuk itu, kita perlu mengubah cara pandang terhadap situasi ekonomi. Dengan memahami inflasi sebagai indikator positif, berfokus pada solusi, dan berkontribusi pada perubahan, kita bisa menjadi masyarakat yang lebih bijaksana, kritis, dan konstruktif dalam menghadapi tantangan ekonomi ke depan.
(***)