Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Orang pintar di dalam tatanan masyarakat feodal ialah mereka yang “ngelmu”. Menguasai mistik dan kebatinan. Sedangkan yang dimaksud ilmu pengetahuan (kawruh) bukanlah science.
Di dalam masyarakat feodal kekuasaan juga bertumpu pada kekuatan fisik yang diperankan oleh kelompok satria dan jago.
Satria berasal dari kelas penguasa yang menegakkan ketertiban. Sedangkan jago adalah para jawara dari keturunan tak begitu tinggi.
Para jago ini biasanya memerankan posisi tertentu di lingkungan masyarakat dan dibayar oleh penguasa. Keduanya sangat mengedepankan citra fisik.
Pola pendekatan yang mirip tatanan feodal seperti ini nampaknya digunakan oleh pemerintah dalam penanganan pandemi Covid-19 di tanah air, sehingga pakar epidemologi dari UI, Pandu Riono, mengistilahkannya sebagai Herd Stupidity (Bebal Kolektif) yang berbuah lonjakan Covid.
Sejak awal pemunculannya di tanah air Covid disikapi dengan kecenderungan irasional dan spekulatif. Bisa ditangkal dengan kalung kayu putih, tak bisa berkembang karena Indonesia beriklim tropis.
Lalu menganggarkan 72 miliar rupiah buat influenser untuk menggenjot pariwisata yang lesu terdampak Covid, mengeluarkan pernyataan aneh “mudik beda dengan pulang kampung”, virus Corona seperti seorang istri, dan seterusnya.
Di bidang ekonomi tokoh nasional Dr Rizal Ramli sejak setahun lalu sudah memperingatkan supaya pemerintah fokus menangani Covid-19.
Lambatnya pertumbuhan ekonomi nasional terjadi bukan cuma karena Covid, tetapi karena pengelolaan fiskal yang ugal-ugalan, tidak prudent, dan prioritasnya tidak fokus. Baik dari segi penerimaan maupun pengeluaran.
Lebih parah lagi anggaran penanganan Covid-19 dikurangi, sedangkan untuk infrastruktur terus digenjot. Menurut Rizal Ramli pemerintah melakukan prioritas yang sangat ngawur, yaitu memangkas anggaran kesehatan 2021 menjadi Rp 169, 7 triliun. Turun dari Rp 212, 5 triliun di tahun 2020.
Sebaliknya anggaran untuk infrastruktur naik tahun ini menjadi Rp 414 triliun, dibandingkan tahun lalu Rp 281, 1 triliun.
Tambah mengenaskan dalam menangani masalah Covid-19 pemerintah ternyata cuma gonta-ganti istilah. Dari sebelumnya PSBB, PPKM, PPKM Mikro dan seterusnya. Padahal persoalan yang terjadi di lapangan nyaris sama. Penggunaan eufemisme seperti itu juga ciri feodal. Manipulasi kata untuk menutupi kegagalan.
Mismanajemen semakin memperjelas prioritas ngawur pemerintah. Bukannya fokus mengatasi pandemi, Jokowi dan Menkeu Terbalik Sri Mulyani masih sibuk dengan proyek-proyek seperti ibu kota baru, jalan tol, ini dan itu.
“Sekarang pandemi makin mengganas dan harga pangan melonjak tinggi. Itu semua bukti rumus gagal dalam menangani krisis,” tandas Rizal Ramli.
Nasihat dan solusi yang diberikan oleh Rizal Ramli direspon dengan sikap ndableg. Dalam bahasa Latin ternyata terdapat kata yang setara dengan ndableg. Brutus-Brutum berarti tidak bisa bergerak. Menunjukkan watak pikiran yang tidak berubah, tidak bergeser, keras kepala dalam arti blo’on.
[***]