PRESIDEN Jokowi dapat memulai reformasi dengan cara melakukan moratorium eksekusi mati dan meminta Kejaksaan untuk tidak melakukan penuntutan pidana mati sampai dengan adanya pembenahan pada sistem peradilan pidana.
Di bawah Presiden Joko Widodo, pemerintah saat ini tengah menyiapkan paket reformasi bidang hukum. Salah satu tujuan dari adanya paket reformasi bidang hukum ini adalah membuat pondasi yang lebih kuat bagi akselerasi pembangunan lewat hukum yang memberikan jaminan keadilan. Dari tujuan itu, terdapat tiga hal penting yang menjadi perhatian pemerintah yakni instrumen hukum, aparat penegak hukum, dan budaya hukum.
Bertepatan dengan perayaan hari anti hukuman mati sedunia yang akan jatuh pada 10 Oktober tiap tahunnya, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai bahwa paket reformasi bidang hukum Presiden Jokowi harus mencakup persoalan hukuman mati.
Lebih dari itu, ICJR menilai bahwa komitmen pembenahan hukum di Indonesia justru akan terlihat nyata dalam sistem peradilan pidana di Indonesia yang berkaitan dengan hukuman mati.
Sebagai ancaman pidana yang paling tinggi, maka penegakan hukum dalam kasus-kasus hukuman mati haruslah memiliki standar yang jauh berbebeda dari kasus-kasus pada umumnya. Jaminan atas pendampingan hukum yang efektif, tidak ada penyiksaan, standar pembuktian yang kuat sampai dengan kepastian hukum dalam konteks undang-undang harus dijamin.
Indonesia menjadi sorotan dunia setelah dalam Pemerintahan Presiden Jokowi, mengeksekusi 18 Orang dalam tiga gelombang eksekusi mati. Tidak hanya karena jumlah eksekusi mati, Indonesia dikecam karena masih menerapkan hukuman mati dan menjalankan eksekusi mati dibawah bayang-bayang peradilan sesat dan peraturan perundang-undangan yang tidak adil. Hal ini tentu saja dapat mengganggu kredibilitas Indonesia di mata Internasional yang dapat berujung pada stabilitas nasional.
Sejauh ini, banyak kasus-kasus, baik yang terpidana mati sudah dieksekusi maupun belum, mengandung unsur peradilan sesat dan diperlakukan tidak adil. ICJR berulang kali mencontohkan misalnya bagaimana Mahkamah Agung menentang putusan Mahkamah Konstitusi terkait pembatasan PK, hanya untuk memperlancar eksekusi mati.
Sampai dengan Tahun 2016, Mahkamah Konstitusi telah menerima beberapa permohonan pengujian atas pembatasan PK tersebut. dengan dikeluarkannya dua putusan Putusan MK No. 66/PUU-XIII/2015 dan Putusan MK No. 45/PUU-XIII/2015.
Maka kedua putusan terbaru ini telah mengukuhkan kembali putusan MK No. 34/PUU-XI/2013, tanggal 6 Maret 2014 dan menggugurkan dasar hukum Pembatasan SEMA No 7 Tahun 2014 yang pada intinya menegaskan bahwa permohonan peninjauan kembali atas dasar ditemukannya bukti baru hanya dapat diajukan satu kali.
Hal lainnya pada eksekusi Gelombang ketiga, Kejaksaan Agung tetap melaksanakan eksekusi mati terhadap terpidana mati yang masih dalam proses pengajuan Grasi, padahal berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor 107/PUU-XIII/2015, tidak ada lagi pembatasan tenggat waktu mengajukan grasi yang artinya para terpidana masih memiliki hak untuk mengajukan grasi.
Mereka juga tidak diperlukan berdasarkan Pasal 13 UU Nomor 2 Tahun 2002 Jo. Pasal 5 Tahun 2010 tentang Grasi yang menyatakan pidana mati tidak dapat dilaksanakan sebelum Keputusan Presiden tentang penolakan permohonan grasi diterima oleh terpidana.
Dalam kebijakan pemberian Grasi, ICJR juga melihat sengkarut prosedur pembatasan akses dokumen grasi. Keputusan Presiden terkait penerimaan/penolakan Grasi justru di anggap sebagai dokumen rahasia. Sampai saat ini sangat sulit mengakses Kepres Grasi yang seharusnya sebagai dokumen publik.
Kondisi pelanggaran fair trial saat eskekusi mati telah terjadi berkali-kali di Indonesia. Kejanggalan Kasus Zainal Abidin terkuak pada saat dirinya mengajukan PK. PK Zainal Abidin baru masuk ke MA pada 8 April 2015, atau 10 tahun kemudian dari berkas pertama kali didaftarkan di Kepaniteraan PN Palembang.
Dalam hitungan yang sangat cepat dan tidak wajar untuk pemeriksaan PK di MA, PK Zainal Abidin diputus pada 27 April 2015, hanya 2 (dua) hari sebelum eksekusi dilakukan. Hal yang menjadi tanda tanya adalah karena Zainal Abidin telah dipindahkan ke ruang isolasi di Nusakambangan pada 24 April 2015.  Hal ini berarti Zainal Abidin sudah dipastikan untuk dieksekusi padahal Putusan PK yang bersangkutan belum diputus oleh MA. Waktu putus PK Zainal Abidin bisa jadi merupakan rekor waktu tercepat pemeriksaan dan pengumuman putusan yang pernah dilakukan oleh MA.
Sesungguhnya masih banyak sekali catatan terkait pelanggaran jaminan fair trial yang terjadi dalam kasus-kasus hukuman mati, penyiksaan, kesalahan prosedur, pidana korban trafficking sampai dengan kejanggalan aturan, semuanya berjejer di Indonesia. Namun, berdasarkan catatan ICJR, hingga saat ini, DPR bahkan tidak pernah menanyakaan seluruh kejanggalan tersebut ke Mahkamah Agung atau Jaksa Agung atau bahkan Presiden.
Berdasarkan fakta  banyaknya problem sistem peradilan pidana di Indonesia khususnya terkait kasus-kasus pidana mati, maka ICJR menilai bahwa sudah tepat apabila isu pidana mati menjadi salah satu langkah awal dari paket reformasi bidang hukum Presiden Jokowi.
Presiden Jokowi dapat memulai reformasi dengan melakukan moratorium eksekusi mati termasuk meminta Kejaksaan untuk tidak melakukan penuntutan pidana mati sampai dengan adanya pembenahan pada sektor peradilan pidana.
Sejalan dengan itu, ICJR juga meminta agar Presiden Jokowi mulai menginventarisasi seluruh peraturan perundang-undangan dan aturan internal instititusi dan lembaga negara yang tidak mencerminkan kepastian hukum dan keadilan. Presiden Jokowi juga dapat berkoordinasi dengan Mahkamah Agung untuk dapat menghormati putusan Mahkamah Konstitusi dan perlindungan hak asasi manusia.
Presiden Jokowi juga harus mengevaluasi seluruh jajaran aparat penegak hukum, khususnya terkait keadaan unfair trial yang marak terjadi dalam kasus-kasus pidana mati. Serta yang terakhir, Presiden Jokowi dapat memerintahkan untuk melakukan peninjauan terhadap kasus-kasus terpidana mati untuk melihat apakah ada indikasi unfair trial yang terjadi.
Oleh Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform, Supriyadi Widodo Eddyono