Artikel ini ditulis oleh Anthony Budiawan, Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies).
Konstitusi hasil amandemen 1999-2002 menyisakan banyak permasalahan fundamental bagi sistem politik dan demokrasi Indonesia. Mengakibatkan Indonesia dalam cengkeraman partai politik dan oligarki pengusaha.
Partai politik menguasai parlemen (DPR), dan juga eksekutif (presiden). Membuat check and balances tidak berfungsi. Karena terindikasi jelas terjadi persekongkolan antara eksekutif dan legislatif, menciptakan pemerintahan otoriter dan tirani.
Banyak pihak menuding pemilihan presiden (pilpres) langsung oleh rakyat sebagai akar masalah dari semua ini. Pilpres langsung dengan dominasi partai politik membuat bandar oligarki menguasai Indonesia.
Maka itu, banyak pihak percaya sistem konstitusi sebelum amandemen, atau UUD 1945 asli, dapat menjadi solusi atas permasalahan bangsa dewasa ini. Karena presiden dipilih oleh MPR. Seruan “kembali ke UUD 1945” menggema.
Pada saat bersamaan, pendukung Jokowi sedang berupaya keras untuk memperpanjang masa jabatan presiden atau mengubah periode jabatan presiden menjadi lebih dari dua periode.
Namun, reaksi masyarakat ternyata sangat keras menolak rencana perpanjangan masa jabatan presiden yang melanggar konstitusi ini. Meskipun melalui MPR dengan mengubah konstitusi terlebih dahulu, agar seolah-olah konstitusional. Manuver ini disebut dengan kudeta konstitusi: constitutional coup.
PERPPU atau dekrit presiden tidak bisa memperpanjang masa jabatan presiden, karena melanggar konstitusi. Sidang istimewa MPR memperpanjang masa jabatan presiden dikecam dan ditolak keras masyarakat. Karena pada intinya merupakan kudeta konstitusi. Kalau dipaksakan, bisa mengundang keributan sosial, bahkan mungkin konflik horisontal.
Otak bandit memang selalu menemukan cara-cara licik untuk mencapai tujuannya, dengan menghalalkan segala cara.
Maka itu, ketika semua upaya menemukan jalan buntu, “Kembali ke UUD 1945 asli” menjadi topik yang bisa ditunggangi untuk kepentingan perpanjangan masa jabatan presiden. Jokowi diharapkan menerbitkan dekrit presiden “kembali ke UUD 1945 asli”, dan dipersilakan memperpanjang masa jabatannya, 2 atau 3 tahun.
Ini namanya menunggangi isu “kembali ke UUD 1945 asli” sebagai solusi bangsa. Tetapi, malah digunakan untuk memperpanjang masa jabatan presiden. Membuat pemerintahan Jokowi menjadi pemerintahan otoriter dan tirani.
Karena, “kembali ke UUD 1945 asli” harus satu paket dengan pembatasan masa jabatan presiden lima tahun, dan maksimal dua periode, berlaku surut.
Artinya berlaku untuk masa jabatan presiden sampai pemilihan presiden terakhir, yaitu 2019. Dalam hal ini, presiden yang sudah menjabat dua periode, seperti SBY dan Jokowi, tidak bisa lagi menjabat presiden. Tetapi, Megawati yang baru menjabat presiden satu periode masih bisa dipilih sebagai presiden.
Ini esensi yang dikehendaki oleh suara-suara “kembali ke UUD 1945 asli”. Selain itu, akan mendapat penolakan keras dari masyarakat, yang tidak menghendaki “kembali ke UUD 1945 asli” ditunggangi untuk kepentingan perpanjangan masa jabatan presiden, menciptakan otoritarian dan tirani.
Kalau Jokowi mengeluarkan dekrit “kembali ke UUD 1945 asli” dengan memperpanjang masa jabatannya sendiri, maka Jokowi melanggar konstitusi. Karena, presiden tidak mempunyai hak konstitusi untuk mengubah UUD maupun masa jabatan presiden.
Mengubah UUD, termasuk “Kembali ke UUD 1945 asli” merupakan hak konstitusi MPR, sehingga hanya bisa dilakukan oleh MPR.
Tetapi tidak bisa dilakukan oleh MPR saat ini, karena tidak mempunyai kredibilitas, setelah menyuarakan perpanjangan masa jabatan presiden yang melanggar konstitusi.
Maka itu, kalau elit bangsa ini sungguh-sungguh ingin “kembali ke UUD 1945 asli”, maka sidang MPR untuk “kembali ke UUD 1945 asli”, dengan pembatasan masa jabatan presiden, wajib dilaksanakan setelah pemilu 2024: oleh anggota MPR terpilih pemilu 2024.
Karena itu, pemilihan presiden sebagai mandataris MPR, baru dapat dilakukan tahun 2029.
Kalau dipaksakan tahun 2024, maka patut diduga keras ada kepentingan mau menunggangi “kembali ke UUD 1945 asli”, untuk menciptakan pemerintahan otoriter dan tirani: memperpanjang masa jabatan presiden Jokowi, yang akan mendapat penolakan keras dari masyarakat.
Karena, konstitusi bukan merupakan barang dagangan yang bisa dibarter, “kembali ke UUD 1945 asli” dengan perpanjangan masa jabatan presiden.
[***]