Artikel ini ditulis oleh Muhammad Iqbal Kliwo, Alumni Gontor, Tinggal di Kuala Lumpur.
Situasi bernegara selama dua periode jokowi sudah banyak melencong jauh dari sistem demokrasi, tergelincir dari rel konsitusi serta menjauh dari prinsip keadilan.
Ibarat kereta api yang tergelincir dari rel, lalu masinis dan semua yang seharusnya bertanggungjawab malah membuat rel baru sebagai ganti konstitusi untuk perjalanan kereta api tersebut. Rel yang dibangun ternyata rel oligarki yang beraroma otoriter.
Maka pastilah bahwa kereta api itu semakin lama semakin menjauh dari relnya (konstitusi dan sisitim bernegara) dan para penumpang (rakyat) tidak sampai tujuan mereka, bahkan terkurung, tersiksa dalam gerbong gerbong oligarki otoriter.
Mereka kehilangan kemerdekaan, keadilan yang membawa mereka menuju kemiskinan dan segudang kesusahan hidup serta berbagai keretakan dan penyakit sosial.
Cita-cita kemerdekaan hanya bisa diperjuangkan dengan sisitim berbangsa dan bernegara yang benar dan sesuai konstitusi. Maka situasi diatas harus diubah.
Kereta api yang tergelincir harus di rubah untuk kembali pada posisi rel yang benar.
Perubahan yang mendasar ini tidak terjadi dengan syarat pencapresan PT 20%, karena itulah keran yang mengubah arah dan haluan negara dengan sistem demokrasi kepada sistem oligarki otoriter.
Capres yang ada hanya merupakan pertukaran mesinis yang ada demi tujuan oligarki.
Ada 3 macam presiden yang ada, yaitu:
Presiden Pertukaran.
Yaitu presiden yang dipilih dengan sistim yang di monopoli oleh oligarki, yaitu transaksional dan PT 20 %.
Maka pilpres hanya sekedar ajang pertukaran presiden oleh kehendak oligarki yang berkedok konstitusi. (pertukaran presiden)
Presiden Pergantian.
Yaitu presiden yang terpilih bukan dengan monopoli oligarki. Namun tidak memiliki kapasitas, integritas dan kepakaran serta nyali dan keberanian.
Sehingga hanya ada sisi kebaikan untuk perbandingan dengan presiden tertukaran. Ajang pilpres hanya sekedar ajang pergantian presiden tanpa adanya perubahan.
Presiden Perubahan.
Presiden yang berkapasitas bapak bangsa. Presiden yang dapat merealisasikan semua sila pancasila dengan pelaksaan undang-undang dan serta membumikan konstitusi.
Semua capres yang tidak memperjuangkan PT 0 % adalah capres pertukaran sebagai yang paling buruk, atau capres pergantian yang hanya lebih baik dari yang sekarang dalam beberapa aspek kebijakan yang juga bersifat sementara selama berkuasa.
Semuanya jauh dari agenda perubahan. Karena motivasi terbesar adalah posisi RI-1 sebagai jenjang karir tertinggi dan segudang cita-cita parsial lainnya. Manisnya kampanya hanya masker.
Bangsa dan negara serta rakyat Indonesia saat ini memerlukan cara dan tokoh menuju perubahan. Adapun cara perubahan secara normal adalah dengan PT 0 % sebagai hak rakyat dalam memilih dan dipilih secara konstitusi.
Sementara tokoh bangsa untuk perubahan hanya pada DR. Rizal Ramli yang tidak menjadi presiden kecuali untuk realisasikan konstitusi.
Tidak jadi presiden kecuali untuk cita cita kemerdekaan.
Tidak jadi presiden kecuali untuk keadilan bagi semua dan tidak jadi presiden kecuali untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.
Tokoh yang telah berikrar mewaqafkan sisi hidupnya demi perubahan, kemajuan bangsa dan kemakmuran seluruh rakyat.
Jika ingin perubahan dan kemajuan serta kemakmuran, maka tinggalkan capres pertukaran dan capres pergantian untuk munculkan DR. Rizal Ramli yang merupakan lokomotif perubahan sebagai presiden perubahan.
[***]