KITA harus sadar bahwa Natuna merupakan harta karun. Airnya yang kaya sering dijarah oleh para nelayan asing berkapal pukat. Di bawah zona ekonomi ekslusifnya adalah lapangan gas Natuna Timur, salah satu cadangan gas tak terjamah terbesar di dunia.
Dan setiap sengketa atas Natuna juga akan mengganggu keseimbangan strategis, meremehkan peran Indonesia sebagai penengah dalam sengketa-sengketa antara para negara tetangga di Asia Tenggara dan raksasa regional China.
Sedang ramai, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti tak terima sikap pemerintah China yang mengintervensi penegakkan hukum pada kapal pencuri ikan berbendera China, yakni KM Kway Fey 10078, di Laut Natuna. Kapal ini melanggar regulasi “Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishingâ€.
Menurut Susi, sikap China yang menyebut perairan Natuna sebagai wilayah historical traditional fishing ground milik China dinilai tidak benar. “Klaim pemerintah China tidak betul dan tidak mendasar†menurut saya apa yang di lakukan Susi sudah lah tepat. Karena ini berkaitan dengan kedaulatan bangsa dan negara.
Menteri Susi telah bertindak untuk berusaha mengembalikan kedaulatan, dignity, kehormatan milik Sang Ibu Pertiwi di perairan Nusantara. Karena faktanya mau diakui atau tidak hingga detik ini, kita bahkan belum mampu membangun sebuah kekuatan laut untuk menjaga kedaulatan negara di laut. Perairan kita sering dijarah para pencuri ikan dan kekayaan laut lainnya serta nelayan-nelayan kita kerap ditangkapi petugas keamanan laut negara tetangga.
Perairan di laut Natuna yang terletak tidak jauh dari kawasan Selat Malaka adalah kawasan rawan perbatasan Negara Republik Indonesia. Kawasan tersebut merupakan lintasan logistik pelayaran Internasional paling ramai yang sekaligus bersinggungan dengan banyak perbatasan Negara tetangga.
Apa yang dikerjakan oleh Menteri Susi sebenarnya akan jauh lebih ringan apabila dibantu dengan pengawasan dan pengamatan dari udara. Kawasan perbatasan rawan dari sebuah negara di mana pun akan selalu diawasi dan diamati dengan ketat melalui udara.
Pengamatan yang dikenal antara lain dengan kegiatan Patroli Udara rutin penjaga keamanan perbatasan. Sayangnya di kawasan Selat Malaka dan daerah perairan Laut Natuna, Ruang udara di atas Kepulauan Riau (Kepri) dan Natuna saat ini masih masuk dalam pelayanan navigasi penerbangan Flight Information Region (FIR) Singapura.
Hal ini menjadi salah satu dari beberapa permasalahan ruang udara di atas daerah perbatasan wilayah Indonesia yang harus segera dituntaskan. Sederhananya wilayah udara di atas Natuna dan sekelilingnya sudah sejak tahun 1946 berada dibawah kekuasaan otoritas penerbangan Singapura.
Itulah yang menyebabkan, jangankan patroli udara wilayah perbatasan, untuk menghidupkan mesin saja pesawat terbang kita di Natuna harus memperoleh ijin terlebih dahulu dari pihak otoritas penerbangan Singapura.
Kehilangan kontrol atas ruang udara yang berada dalam kedaulatan negara di wilayah Natuna, turut mengakibatkan pembatasan keleluasaan dalam melakukan kegiatan operasional atau pun penegakan hukum di wilayah tersebut.
Solusi untuk mengoptimalisasikan tugas penegakan hukum dan pengamanan wilayah udara nasional oleh TNI AU sebagaimana diamanatkan Pasal 10 huruf b UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia hanya bisa dilakukan bila pelayanan navigasi penerbangan yang kini dikelola Singapura dapat diambilalih oleh pemerintah Indonesia. Ini menjadi Pekerjaan Rumah pemerintahan Indonesia.
Penulis : Dodi Prasetya Azhari, Ketua Umum Suara Kreasi Anak Bangsa (SKaB)