TAHUKAH anda bahwa sampai akhir tahun silam jumlah utang Indonesia kian dekat saja ke Rp4.000 triliun? Tidak percaya? Simak saja data Ditjen Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan. Sampai akhir November 2017, total utang Indonesia mencapai US$291,7 miliar atau setara dengan Rp3.929 triliun.
Angka ini belum termasuk utang baru yang dibuat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (SMI) awal Desember tahun lalu. Utang dalam bentuk penerbitan global bond itu jumlahnya lumayan jumbo, US$4 miliar.
Ada tiga seri global bond yang diterbitkan, masing-masing bertenor 5, 10, dan 30 tahun. Dengan kurs tengah Bank Indonesia hari ini (09/01/18) Rp13.248/US$, maka nilai utang baru itu mencapai Rp53,71 triliun. Dengan demikian, total utang Indonesia sampai akhir tahun lalu adalah Rp3.983 triliun. Benar-benar nyaris Rp4.000 triliun!
Utang Indonesia itu dalam dua jenis instrumen, pinjaman dan Surat Berharga Negara (SUN). Data DJPPR tersebut juga menunjukkan komposisi SUN mencapai Rp3.193 triliun atau 81% dari total utang. Nah, dari jumlah itu kepemilikan investor asing pada SUN mencapai Rp851 triliun. Angka ini naik Rp220 triliun dari posisi awal Januari tahun silam.
Data tersebut menunjukkan fakta, bahwa surat utang Indonesia yang diterbitkan Sri memang menggiurkan. Tingginya imbal hasil atawa yield utang pemerintah itulah yang jadi magnet bagi para pengelola dana asing. Mereka pun jadi bersemangat memarkirkan dananya di sini.
Hingga kini, imbal hasil SUN rata-rata masih di atas 6%. Tentu saja, ini jauh lebih gurih ketimbang surat utang serupa yang diterbitkan sejumlah negara ‘pesaing’. China, misalnya, menawarkan yield 4,03%. Apalagi kalau dibandingkan dengan Amerika, Korsel dan Singapura yang masing-masing 2,48%, 2,51%, dan 2,34%, angkanya terpaut jauh. Sedangkan lawan Filipina (5,79%) dan Vietnam (5,25) saja, imbal hasil surat utang kita masih lebih jangkung.
Investment grade
Tingginya yield surat utang Indonesia sejatinya sangat mengherankan. Apalagi sejak beberapa waktu lalu, peringkat utang kita sudah masuk dalam level layak investasi alias investment grade. Artinya, persepsi risiko investasi di negeri ini juga kian turun.
Pada 21 Desember 2017, Lembaga pemeringkat internasional yang berkantor pusat di New York, Amerika Serikat, Fitch Ratings menaikkan peringkat utang jangka panjang Indonesia menjadi BBB dengan outlook stabil. Posisi ini satu tingkat di atas batas bawah level layak investasi (BBB-).
Posisi BBB menjadi posisi tertinggi yang berhasil disabet Indonesia pasca krismon 1998. Kondisi ini sekaligus memantapkan posisi Indonesia sebagai negara layak investasi yang diraih sejak 2011.
Menurut Fitch, Indonesia punya daya tahan dari guncangan eksternal dalam beberapa tahun terakhir. Indikatornya, kebijakan nilai tukar rupiah yang lebih fleksibel yang berujung pada naiknya cadangan devisa sebesar 31% sejak 2013.
Selain itu, Pemerintah juga dinilai cukup disiplin membatasi arus keluar modal asing di tengah situasi ekonomi global yang bergejolak.
Ganjaran berupa naiknya peringkat itu juga disebabkan reformasi struktural di tubuh pemerintah. Langkah tersebut mampu mendongkrak peringkat kemudahan berusaha ke level 72 atau naik 37 peringkat.
Sayangnya, berbagai prestasi yang diapresiasi pihak asing itu tidak kunjung menaikkan tingkat percaya diri Pemerintah. Sikap minder tadi ditandai dengan terus membuat utang baru berbunga mahal. Begitulah Sri, si pejuang neolib sejati. Dia memang sejak lama dikenal doyan ngutang dengan iming-iming bunga supertinggi.
Rakyat boleh saja ketar-ketir terhadap terus menggunungnya jumlah utang Pemerintah. Tapi, rakyat bisa apa? Lha wong para pakar yang juga berteriak-teriak soal ini tetap diabaikan. Bahkan, anggota DPR yang terhormat yang bolak-balik kasih warning pun dicueikin. Anjing menggonggong, kafilah berlalu.
Itulah mungkin sebabnya teman saya bilang, Indonesia perlu punya Menteri Pengutangan. Alasannya, kata dia, supaya Indonesia lebih rajin dan khusyuk membuat utang baru. Terus dan terus. Makin besar utangnya, makin tinggi bunganya, makin happy majikan neolibnya. Soal bagaimana harus membayar, itu perkara lain. Lagi pula, sang menteri kan sudah tidak menjabat lagi. Jadi dia bisa bersikap EGP, emang gue pikirin!
Kecuali, ini kecuali ya, Presiden Jokowi segera menyadari bahaya yang bakal menimpa negeri karena jeratan utang. Lagipula, utang bukan satu-satunya cara untuk membangun negeri. Ada banyak cari lain yang bisa ditempuh. Yang dibutuhkan cuma menteri yang kreatif menciptakan kebijakan-kebijakan terobosan. Bukan menteri yang bisanya cuma sibuk membuat utang baru, menaikkan pajak, dan menjual aset/BUMN.
Oleh Edy Mulyadi, Direktur Program Centre for Economic and Democracy Studies (CEDeS)