KEMENTERIAN Keuangan akhirnya keukeuh membanggakan tercapainya target 100% penerimaan negara sebagai prestasi utamanya.
Seperti disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani melalui konferensi pers Rabu sore (2/1/2019), penerimaan negara tahun 2018 mencapai 102,5% (Rp 1.942,3 triliun) dari target sebesar Rp 1.894,7 triliun.
Sayang sekali, ini adalah prestasi yang semu. Karena tercapainya 100% target penerimaan negara ternyata bersifat “musiman”.
Maksudnya “musiman” di sini yaitu hanya terjadi pada saat musim harga minyak dunia sedang tinggi, jauh di atas asumsi harga minyak di anggaran (APBN).
Selain tahun 2018, tercapainya target 100% penerimaan juga terjadi pada saat “musim” harga minyak tinggi di tahun 2007 (102,5% dari target) dan 2008 (109,7% dari target).
Tahun 2018 harga rata-rata minyak dunia $70/bbl, sedangkan asumsi harga minyak APBN jauh di bawah hanya $48/bbl. Tahun 2007 harga rata-rata minyak dunia $73/bbl, sedangkan asumsi harga minyak APBN $60/bbl (dinaikkan APBN-P 2007 menjadi $63/bbl).
Tahun 2008 harga rata-rata minyak dunia $100/bbl, sedangkan asumsi harga minyak APBN $60/bbl (dinaikkan APBN-P 2008 menjadi $83/bbl).
Selain harga minyak, yang juga cukup membantu tercapainya target penerimaan negara adalah pelemahan kurs Rupiah (Rp) terhadap dollar AS ($).
Selama tahun 2018, kurs Rupiah melemah secara rata-rata hingga Rp 14.750/$, jauh di atas asuamsi nilai tukar APBN sebesar Rp 13.400/$.
Menurut Kemenkeu sendiri, setiap pelemahan Rupiah sebesar Rp100/$ dapat menambah penerimaan APBN sebesar Rp 900 miliar-Rp1,5 triliun.
Kemudian tentang capaian berkurangnya defisit APBN sebesar 1,76% (di bawah target APBN 2,19%), yang juga dibanggakan Menkeu Sri Mulyani sebagai prestasi.
Perlu diketahui bahwa ini juga merupakan prestasi yang semu, karena dicapai dengan mengorbankan kesehatan BUMN. “Kanker” kerugian yang seharusnya diderita APBN, dipindah ke BUMN.
Akibat harga minyak dunia, laba Pertamina (hingga Kuartal-III 2018) anjlok hingga Rp 5 triliun, atau hanya 15% dari target awal sebesar Rp32,7 triliun.
Akibat pelemahan kurs Rupiah, rugi PLN (hingga Kuartal-III 2018) membengkak hingga Rp 18,5 triliun, padahal BUMN ini sebelumnya menargetkan laba Rp 10,4 triliun di tahun 2018.
Selain pemindahan kanker ke BUMN, berkurangnya defisit juga diakibatkan penundaan berbagai proyek infrastruktur oleh Pemerintah.
Seperti diketahui, akibat pelemahan kurs Rupiah, pada bulan September lalu Pemerintah memutuskan untuk menunda sebagian proyek infrastruktur hingga tiga tahun ke depan.
Jadi, tercapainya target 100%penerimaan negara dan berkurangnya defisit ternyata bukan berasal dari perbaikan kinerja. Indikator kunci dari kinerja Menteri Keuangan sebenarnya adalah rasio penerimaan pajak.
Bila terjadi peningkatan rasio penerimaan pajak, maka kita angkat topi karena itu adalah prestasi yang riil. Sayang, ternyata fakta berkata lain.
Menurut Kemenkeu pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2018 sebesar 5,15%, maka Produk Domestik Bruto (PDB) tahun 2018 seharusnya sebesar Rp 14.288,6 triliun.
Artinya, dengan penerimaan pajak tahun 2018 hanya sebesar Rp 1.315,9 triliun (Kemenkeu, 2019), maka rasio penerimaan pajak terhadap PDB (‘tax ratio’, definisi sempit versi Pemerintahan saat ini) adalah sebesar 9,2%.
Perlu diketahui, bahwa besaran tax ratio tahun 2018 sebesar 9,2% ini bukan saja yang terburuk selama 4 tahun Pemerintahan Jokowi, melainkan juga yang terendah dalam 45 tahun terakhir perjalanan sejarah Indonesia (sumber: data Bank Dunia).
Tragis, di tangan Menteri Keuangan yang katanya terbaik di Dunia, tax ratio pemerintahan Presiden Jokowi malah yang terburuk dari pemerintahan lima Presiden sebelumnya.
Oleh Gede Sandra, analis ekonomi