‘MENRISTEKDIKTI Sebut Insinyur yang Jadi Politikus Berarti Kesasar’. Inilah judul berita online yang saya baca hari ini.
Sungguh menyedihkan jika seorang menteri seperti Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi M Nasir, gagal paham akan definisi politik.
Politik adalah hak bagi semua Insan Indonesia yang tidak dicabut hak politiknya karena masalah hukum.
Politik juga bukan suatu pekerjaan yang mempunyai jenjang karir tersendiri.
Politik adalah perhelatan mendapatkan kekuasaan di mana siapa pun yang berkuasa akan mampu memberikan makna tersendiri dalam melakukan perubahan dan pembangunan dalam tatanan kekuasaannya.
Sudah banyak insinyur yang menunjukkan keberhasilan dalam politik. Mulai dari Soekarno, Habibie dan bahkan Jokowi.
Jadi kegagalan paham seorang menteri dalam menjabarkan makna politik perlu menjadi sorotan apakah yang bersangkutan layak menjadi Menteri.
Banyaknya sarjana yang berkarir tidak sesuai ilmu yang digelutinya bukan saja terjadi di Indonesia, tapi juga di manca negara, termasuk negara maju sekalipun.
Karena perbandingan jenis pekerjaan yang tersedia acap kali tidak berbanding lurus dengan jumlah kelulusan sarjana yang dihasilkan.
Seyogyanya Kementerian Ristek dan Dikti melakukan pemetaan secara riil basis peluang pekerjaan yang tersedia sehubungan dengan bidang akademis, sehingga kemudian dapat dikorelasikan dengan perbaikan sistem kelulusan yang ada agar kemudian terjadi keseimbangan dan perbaikan kualitas kelulusan.
Menristekdikti tidak boleh menyalahkan individu-individu yang berubah haluan karirnya sehingga tidak sesuai dengan latar belakang akademinya.
Seyogyanya Menristekdikti harus dapat menciptakan kebijakan yang dapat mengakomodasi basis kelulusan para sarjana/insinyur ini.
Sudah selayaknya Menristekdikti diganti oleh Presiden Jokowi.
Oleh Dr. Poempida Hidayatulloh, Seorang Insinyur, Ketua Umum Organisasi Kesejahteraan Rakyat (Orkestra)