DUA hari pasca Hari Tani Nasional tahun 2015, tepatnya pada tanggal 26 September 2015, seorang petani sekaligus pejuang lingkungan asal pesisir Selatan Lumajang, Jawa Timur, dibunuh secara terencana oleh sekelompok orang yang terlibat langsung dalam mata rantai industri pertambangan pasir besi.
Peristiwa kekerasan agraria tersebut selain mengakibatkan terbunuhnya Salim Kancil, juga menyebabkan jatuhnya korban lain, yang tak lain adalah rekan Salim Kancil, yakni Tosan.
Mengapa peristiwa keji ini bisa terjadi dan negara juga ikut berpartisipasi? Walhi Jawa Timur mencatat terdapat beberapa akar penyebab terjadinya peristiwa tersebut, yakni Pertama, adanya reorganisasi kekuasaan kapitalisme, yang membawa akibat pada berubahnya model tata kelola kenegaraan dan penguasaan sumber daya alam.
Perubahan model tata kelola kenegaraan yang dimaksud tercermin pada terjadinya transformasi pengelolaan “negara†yang semula bergaya sentralisasi (Orde Baru) berubah menjadi desentralisasi (Pasca Orde baru).
Desentralisasi tersebut secara kritis mengantarkan pada analisa bahwa dengan gaya desentralisasi, kapitalisme dapat memangkas ongkos produksi kapital menjadi jauh lebih murah. Mengapa lebih murah? Karena rejim kapitalis Orde Baru sudah dianggap tidak terlalu efisien; dikelola secara terpusat, tingginya praktik korupsi, dan birokrasi yang rumit.
Era desentralisasi yang membawa pada ide dan gagasan tumbuhnya otonomi daerah, tak pelak makin menyuburkan dan membuka peluang akumulasi kapital terus berjalan lancar. Dan membuka keran investasi menjadi lebih mudah dan murah. Bahkan akumulasi ini tersusun rapi dan saling terintegrasi lewat berbagai regulasi yang saling mendukung.
Sehingga ruang hidup bagi rakyat kecil pun terus menyempit, sementara ruang akumulasi atau perluasan geografi produksi terus meluas. Situasi tersebut pada akhirnya memicu terjadinya konflik agraria terus meningkat di seluruh Indonesia, salah satunya adalah di provinsi Jawa Timur.
Kedua, masih tingginya angka Izin Usaha Pertambangan (IUP) di Jawa Timur, sebagai cerminan bahwa industri pertambangan tetaplah menjadi “anak emas†dalam skema pembangunan yang dikembangkan.
Hal ini sebagaimana terlihat dalam catatan rencana strategis (renstra) Dinas ESDM Provinsi Jawa timur 2015-2019, dapat ditemukan bahwa jumlah izin pertambangan yang telah diterbitkan oleh Gubernur sampai dengan tahun 2013 berjumlah sebanyak 356 izin, dan yang diterbitkan oleh Bupati dan Walikota se Jawa Timur sebanyak 442 izin.
Jumlah angka izin yang fantastis inilah yang selanjutnya menjadi salah satu biang masalah lahirnya konflik agraria di seluruh hulu dan hilir wilayah Jawa Timur.
Hal ini juga belum ditambahkan dengan beberapa regulasi pendukung lainnya yang juga sama-sama memiliki orientasi pembangunan yang berbasis pada industri ekstraktif pertambangan. Regulasi yang dimaksud diantaranya adalah Kepmen ESDM No. 1204 K/30/MEM/2014 Tentang Penetapan Wilayah Pertambangan Pulau Jawa dan Bali dan peluang terjadinya alih fungsi kawasan hutan menjadi kawasan investasi pertambangan di pesisir selatan Jawa yang terlegitimasi oleh adanya UU No. 41 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2010 dan PP Nomor 105 tahun 2015 yang mengatur tentang Kehutanan dan Penggunaaan kawasan Hutan.
Perjalanan Hukum Atas Kasus Salim Kancil
Dalam perjalanannya, penyelesaian kasus pembunuhan Salim Kancil telah memakan waktu lebih dari delapan bulan. Dan di dalam prosesnya oleh banyak pihak dianggap memiliki sejumlah kejanggalan dan jauh dari nilai keadilan.
Kejanggalan tersebut oleh Tim Advokasi Salim Kancil dicatatkan sebagai berikut:Pertama, Sidang berlarut-larut dan seringkali tidak tepat waktu. Kedua, Saksi yang dihadirkan oleh JPU, tidak kompeten. Ketiga, Kasus ini didudukkan hanya sebagai kasus kriminal biasa, sehingga mata rantai mafia pertambangan dan kerusakan lingkungan tidak terbaca.
Keempat, Masih banyak pelaku lain yang belum ditetapkan sebagai tersangka.Kelima, Vonis putusan hakim terhadap tersangka tidak memberi rasa keadilan bagi seluruh keluarga korban.
Dengan lima kejanggalan tersebut, Walhi Jawa Timur, menegaskan kembali, bahwa penanganan dan vonis kasus Salim Kancil tersebut akan menjadi tolak ukur negara dalam penyelesaian konflik agraria dan pemulihan krisis bencana ekologis yang terjadi di pesisir selatan Jawa Timur ke depan.
Sehingga dengan berkaca dari kasus Salim Kancil ini di dapatkan sebuah kesimpulan awal, bahwa peristiwa serupa (pembunuhan Salim Kancil) dapat kembali terulang di wilayah pesisir Lumajang ataupun di wilayah lainnya di seluruh pesisir Selatan Jawa, dan tempat lainnya di Indonesia.
Yang harus diingat adalah, puluhan teroris yang menganiaya Tosan dan membunuh Salim Kancil tersebut tidak beroperasi sendiri untuk tujuan-tujuan sentimental yang bersifat pribadi. Kedua korban dianiaya karena melakukan penentangan atau protes terbuka terhadap operasi penambangan di wilayah kehidupannya.
Meskipun operasi penambangan yang dilakukan oleh Kepala Desa Selok Awar-Awar bersifat illegal, namun kegiatan tersebut dilaksanakan secara terbuka dan masif, dan oleh karenanya pelaku penambangannya sangat boleh jadi berada dalam pelayanan perlindungan oleh aparatus kepolisian dan pemerintah setempat.
Sabuk daratan pesisir selatan Kabupaten Lumajang sendiri merupakan lahan produksi pangan vital, dengan kesuburan tinggi dari tanah volkanik di situ. Lebih dari 70 persen wilayah lereng tenggara Gunung Semeru dan dataran rendah di selatannya adalah sawah dan ladang, dengan dusun-dusun warga tersebar di seluruh wilayah tersebut.Â
Dalam jangka-waktu sepuluh tahun terakhir, sabuk pesisir tersebut telah menjadi medan operasi tambang pasir-besi besar-besaran. Perusahaan tambang skala besar yang mendapatkan Ijin Usaha Pertambangan (IUP) termasuk PT Indo Modern Mining Sejahtera, PT Aneka Tambang (Tbk.), PT Agtika Dwi Sejahtera dan PT New Jember Golden International.
Di samping itu juga beroperasi unit-unit usaha lebih kecil berjumlah puluhan. Rentang garis-pantai yang sepenuhnya dibuka untuk pertambangan mencapai ± 70 kilometer
Menatap Masa Depan Pesisir Selatan Jawa Timur
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan Rencana Tata Ruang Wilayah Jawa Timur telah menggarisbawahi bahwa kawasan selatan Jawa, termasuk Jawa Timur adalah kawasan rawan bencana tsunami. Dengan mengacu pada kenyataan ini, penataan kawasan di pesisir selatan seharusnya ditujukan untuk meminimalisir dampak kerusakan yang dapat ditimbulkan oleh bencana.
Pesisir selatan Jawa selayaknya ditetapkan menjadi kawasan lindung dan konservasi demi mengantisipasi bencana yang mungkin timbul. Pelepasan lahan-lahan pesisir menjadi wilayah usaha pertambangan yang berpotensi merusak keseimbangan ekosistem kawasan adalah tindakan yang kontradiktif terhadap usaha menurunkan resiko bencana di Indonesia.
Pembiaran terhadap konflik-konflik pertambangan dan bahkan pelanggaran perijinan terhadap wilayah yang mempunyai nilai penting secara ekologis tidak bisa terus dibiarkan. Kita tengah menghadapi konsekuensi dari semakin banyaknya wilayah-wilayah lindung yang rusak dengan bentuk peningkatan jumlah bencana ekologis setiap tahunnya di Jawa Timur.
Oleh sebab itu, dibutuhkan langkah nyata pemerintah Propinsi Jawa Timur dan segenap jajaran pemerintah daerah untuk menghasilkan regulasi yang mampu mencegah berulangnya konflik-konflik pertambangan di kawasan pesisir selatan Jawa Timur.
Pencabutan wilayah usaha pertambangan dari kawasan pesisir selatan dan penetapan kawasan lindung dan konservasi menjadi syarat mutlak pemulihan kawasan pesisir dan menjadi bagian dari usaha besar penurunan resiko bencana ekologis serta penyelamatan ruang hidup rakyat.
Oleh Rere Christanto, Direktur Eksekutif Walhi Jatim