TUJUH bulan yang lalu, tepatnya Oktober 2017, Rizal Ramli mengunjungi Pondok Gontor, pesantren modern yang sangat terkenal bahkan sampai ke mancanegara. Ketika mahasiswa lebih 40 tahun lalu, RR pernah ‘nyantri seminggu’ di Gontor. Keberanian dan kemandirian Gontor untuk berbeda dari kecenderungan umum pesantren pada waktu itu rupanya menginspirasi RR.
Setahun kemudian, 1977, RR bersama dua sahabatnya Abdulrachim Kresno dan Irzadi Mirwan (Alm) menulis Buku Putih Mahasiswa ITB yang berisikan koreksi total atas platform ideologi dan politik Orde Baru. Buku Putih tersebut mendasari Pergerakan Mahasiswa Indonesia 1978 yang memuncak pada penolakan pencalonan Soeharto sebagai presiden.
Lalu Jumat malam (25/5/2018), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengunjungi Pondok Gontor juga. Bagi pemerhati politik, kunjungan ini pasti bukan kebetulan. Publik mengetahui bahwa Rizal Ramli sudah lama menentang kebijakan-kebijakan ekonomi yang dijalankan oleh SMI.
RR, ketika menanggapi pernyataan Presiden, secara terbuka mengajukan tantangan debat kepada SMI. Awal bulan lalu SMI mengatakan bahwa ia tidak takut berdebat, tetapi ia tidak spesifik mengatakan menerima tantangan RR.
Ia malah “killing the messenger” dengan mengatakan bahwa orang yang mengajaknya berdebat adalah orang yang “berpikiran sempit”.
Kapak Perang
Tetapi saya percaya bahwa diam-diam SMI sedang mengasah “kapak perang”-nya. Perjalanan SMI ke Gontor nampaknya adalah bagian dari mangasah kapak perang itu. Dengan sengaja SMI mendatangi pesantren yang sebelumnya telah didatangi oleh RR.
SMI ingin mengatakan kepada RR bahwa ‘di sini di tempat kamu pernah datang, orang-orang lebih bersimpati kepadaku’. Tetapi betulkah SMI memperoleh apa yang ia inginkan itu?
SMI juga mulai menjawab tuduhan-tuduhan yang ditujukan kepada dirinya. Dalam sebuah klip video yang beredar luas di media sosial SMI menjawab tuduhan bahwa ia antek Bank Dunia dan IMF. SMI mengakui dengan terus terang bahwa ia berbagi nilai-nilai yang sama dengan kedua lembaga dunia itu.
SMI yakin sekali bahwa nilai-nilai yang diyakininya, bersama dengan Bank Dunia dan IMF, akan menciptakan kebaikan bagi Indonesia. Sayangnya, SMI tidak mengatakan nilai-nilai apa yang ia yakini itu.
Nasionalisme vs Neoliberalisme
RR paham betul nilai-nilai apa yang diperjuangkan oleh SMI beserta dengan Bank Dunia dan IMF. Nilai-nilai tersebut dicanangkan di dalam apa yang disebut Washington Consensus, yaitu kesepakatan yang didukung oleh pemerintah Amerika Serikat, Bank Dunia dan IMF pada sekitar tahun 1980-an berkenaan dengan kebijakan ekonomi yang mesti diterapkan oleh negara-negara penerima bantuan Bank Dunia dan IMF.
Inti dari Washington Consensus, menurut Noah Chomsky, adalah penerapan nilai-nilai neoliberal dalam kebijakan perdagangan, keuangan, stabilitas ekonomi makro dan investasi. Nilai-nilai tersebut antara lain ‘gets the price right’ yaitu menyerahkan penentuan harga sepenuhnya kepada mekanisme pasar, mengurangi campur tangan pemerintah dalam perekonomian misalnya dengan melakukan privatisasi, membebaskan arus modal dan tenaga kerja dari dan ke luar-negeri, dan sebagainya.
Menurut Chomsky lagi, konsensus tersebut telah menjadikan Bank Dunia dan IMF sebagai pemerintahan dunia de facto dari sebuah kekaisaran global yang baru (Chomsky, Profit Over People, 1998).
Deskripsi di atas mengingatkan kita bahwa pemerintah nasional tidaklah independen melainkan mencerminkan kekuasaan yang lebih besar di luar. Hal ini sudah sejak lama disadari sebenarnya, Adam Smith misalnya pernah mengatakan bahwa ‘arsitek utama’ kebijakan ekonomi di Inggris adalah ‘pedagang dan pabrikan’ yang memanfaatkan kekuasaan negara untuk melayani kepentingan mereka sendiri.
Menurut Smith, kepentingan nasional pada dasar tidak ada alias delusi. Di dalam istilah ‘nasional’ itu terdapat konflik kepentingan yang tajam sekali. Untuk memahami suatu kebijakan dan akibat-akibatnya kita perlu memahami siapa yang sesungguhnya berkuasa dan bagaimana kekuasaan itu diselenggarakan.
Jebakan Neoliberalisme
Dalam Buku Putih yang ditulisnya ketika masih mahasiswa RR menyatakan penolakannya kepada dominasi ekonomi asing (Jepang). Penolakan RR terhadap Neo-liberalisme berakar dari sikap nasionalis yang sama.
RR memahami bahwa menerima prinsip-prinsip kemanusiaan yang universal, seperti misalnya HAM, tidak berarti menolak keunikan dan kekhasan kita sebagai bangsa. RR merasa bahwa nilai-nilai kebangsaan bisa hancur akibat tekanan nilai-nilai liberal yang masuk bersama dengan utang-utang asing.
Mengapa demikian? Secara prinsipiil kebijakan neo-liberal memberikan hak yang sama kepada siapapun orang di seluruh penjuru dunia untuk menguasai aset dan sumberdaya milik bangsa Indonesia. Mereka bisa datang ke Indonesia membeli aset atau mendapatkan hak menggunakan sumberdaya Indonesia; atas semua itu mereka memperoleh semua hak yang juga dimiliki warga negara.
Tidak ada pembatasan apapun kepada investor asing ini, mereka boleh menjual produk itu ke luar negeri dan uang yang dihasilkan boleh disimpan di luar negeri. Mereka boleh mengeluarkan dan memasukan uangnya kapan saja, tanpa pembatasan.
Sifat liberal dari kebijakan pemerintah telah merambah kemana-mana termasuk ke kehidupan sosial. Misalnya saja menurut PP No.8/2016 tentang organisasi kemasyarakatan, warga asing boleh membentuk ormas di Indonesia. Pemerintah pun semakin memudahkan masuknya tenaga kerja asing di tengah pengangguran yang semakin memburuk.
Melalui Permenaker Nomor 35 Tahun 2015 pemerintah membatalkan kewajiban TKA untuk bisa berbahasa Indonesia. Lalu dalam Perpres No 20/2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing pemerintah membolehkan masuknya TKA untuk pekerjaan-pekerjaan kasar.
Jadi secara umum modal asing yang masuk ke Indonesia, baik dalam bentuk utang atau PMA, tidak bermanfaat bagi tenaga kerja domestik apalagi untuk hal yang lebih subtle seperti alih-teknologi.
Rizal Ramli jauh-jauh hari telah mengingatkan bahwa utang luar negeri tidak akan memakmurkan bangsa. RR menekankan pentingnya memanfaatkan kreativitas dan keunggulan yang dimiiliki oleh anak bangsa.
Rizal Ramli tidak sekadar omong, ia telah membuktikannya. Sebagai Menko Perekonomian dalam dua tahun masa jabatan singkat Presiden Gus Dur, Rizal berhasil menaikkan pertumbuhan ekonomi dari negatif menjadi positif 4,5%, menstabilkan ekonomi, mengurangi utang dan mencapai kesenjangan ekonomi terendah sepanjang zaman, dengan mencatat rasio Gini 0,31.
Ekonomi Konstitusional dan Ekonomi Neoliberal
Nasionalisme yang diperjuangkan oleh Rizal Ramli sejalan dengan suatu mazhab ekonomi yang disebut Ekonomi Konstitusional. Mazhab ini menekankan perlunya praktek ekonomi sebagai bentuk pengamalan atas nilai-nilai yang terkandung dalam konstitusi suatu negara.
Menurut Hendri Saparini di dalam UUD 1945 terdapat enam pasal, yaitu Pasal (23), (27), (28), (31), (33) dan (34), yang menjadi landasan dari Ekonomi Konstitusional Indonesia. Ke enam pasal tersebut keseluruhannya saling terkait dan harus dimaknai secara bersama-sama.
Satu pasal mengatur paradigma pengelolaan ekonomi, sedangkan lima pasal lainnya mengatur paradigma kewajiban sosial negara terhadap rakyat.
Dengan memaknai keseluruhannya sebagai suatu kesatuan maka dapat dimenegerti mengapa negara harus menguasai sumberdaya alam (SDA). Tentu saja karena tugas sosial-ekonomi negara terhadap rakyat sangat berat sehingga akan mengandalkan SDA sebagai sumber pembiayaannya.
Mandat Ekonomi Konstitusi ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai Ekonomi Neo-liberal yang justru menuntut negara lepas-tangan dari urusan ekonomi. Saya menduga ketegangan di antara kedua mazhab ini akan semakin memuncak dalam tahun politik sekarang ini. Tahun pollitik ini akan menjadi arena pembuktian sudah seberapa jauh sebetulnya neoliberalisme berakar dalam tubuh masyarakat kita?
Oleh Radhar Triabaskoro, aktivis 80, mantan anggota KPU Jabar