KedaiPena.com – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly menjelaskan hal-hal yang keliru dipahami pada sejumlah pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam pertemuan rutin dengan American-Indonesian Chamber of Commerce secara virtual, Jumat (13/1/2023), Yasonna menyampaikan lima poin terkait isu yang diperdebatkan dan menimbulkan kekhawatiran tersebut.
Salah satunya terkait pasal-pasal tentang perzinahan yang merupakan delik aduan mutlak. Yasonna mengatakan tetap menghormati privasi dan menjamin tidak adanya perubahan perlakuan bagi orang asing yang masuk ke Indonesia.
Sebab dalam KUHP baru, proses hukum akan berlaku apabila adanya pengaduan dari pihak yang berhak, yakni pasangan yang sah, orang tua, dan anak.
“Pihak lain tidak boleh mengajukan pengaduan, atau bahkan ‘menjadi hakim’ atas nama kesusilaan. Ini pada akhirnya akan mencabut peraturan kontroversial tentang kohabitasi yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah,” ujarnya.
Ia menilai dalam pasal tersebut tidak ada perubahan yang substantif dibandingkan KUHP yang lama, perbedaan hanya terletak pada penambahan pihak yang berhak melakukan pengaduan.
Hanya saja terjadi penafsiran yang salah serta tersebar secara luas menjadikan ketentuan baru tersebut dinilai memberikan dampak yang negatif bagi sektor pariwisata dan investasi di Indonesia.
Selain itu, Yasonna juga menjelaskan tentang hukuman mati. Dijelaskannya bahwa KUHP yang baru memiliki pendekatan baru sebagai kompromi antara kelompok retensionis dan kaum abolisionis dalam menjatuhkan pidana mati.
Dalam KUHP yang baru, pidana mati merupakan pidana alternatif dengan masa percobaan 10 tahun, yang dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup atau pidana tetap berdasarkan penilaian objektif atas perilaku baik narapidana.
Selanjutnya ia juga meluruskan persepsi terkait kebebasan berekspresi. Yasonna mengataan bahwa KUHP telah dengan jelas membedakan tindakan antara kritik dan penghinaan.
Melakukan kritik yang berlandaskan atas kepentingan umum bukan kejahatan, namun penghinaan yang terhadap siapa pun adalah kejahatan rasial yang dapat dilaporkan oleh individu yang diserang.
“Norma ini sebenarnya diterapkan di banyak negara. KUHP baru mengaturnya sebagai delik aduan, yang hanya bisa diajukan oleh yang bersangkutan, bukan oleh masyarakat atau simpatisan dan relawan,” ujarnya.
KUHP, kata Yasonna, mencakup dua inti kejahatan, yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Sanksinya diproses berdasarkan metode Delphi Internasional, yaitu proses yang melibatkan pendapat atau keputusan kelompok oleh panel ahli.
“Kejahatan luar biasa terhadap kemanusiaan merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan akan dirujuk ke pengadilan HAM Indonesia,” ujarnya.
Terakhir, Yasonna menegaskan, KUHP yang baru juga tidak mendiskriminasi perempuan, anak-anak dan kelompok minoritas lainnya, termasuk agama atau kepercayaan apapun.
Hal tersebut karena semua ketentuan yang relevan dari KUHP sebelumnya disempurnakan, mengakomodasi prinsip-prinsip hukum yang berlaku secara universal seperti Kovenan Internasional tentang Sipil dan Hak Politik (New York Convention 1966).
Yasonna mengatakan bahwa KUHP yang baru memiliki masa tenggang tiga tahun untuk kemudian dapat berlaku secara efektif. Saat ini, sebagai masa transisi dilakukan diskusi dengan berbagai pemangku kepentingan, untuk meminimalisir pro dan kontra.
“Kami juga akan menyiapkan berbagai peraturan pelaksana KUHP, guna meminimalisir potensi penyalahgunaan wewenang oleh penegak hukum,” jelas Yasonna.
Ia menyebut butuh proses dan waktu yang panjang untuk mengubah KUHP lama warisan kekuasaan kolonial Belanda. Proses tersebut seiring dengan beragamnya masyarakat di Indonesia yang membawa nilai, budaya dan norma kehidupannya masing-masing.
“Setelah 77 tahun Indonesia merdeka, kita dapat mengadopsi KUHP kita sendiri, yang disahkan oleh DPR RI pada Selasa, 6 Desember 2022. Prosesnya sudah berlangsung sejak tahun 1963, kami membutuhkan waktu hampir 60 tahun untuk mengubah KUHP lama warisan kekuasaan kolonial,” ungkapnya.
Yasonna berharap KUHP yang baru menjadi reformasi hukum pidana dengan pendekatan sistem pemidanaan yang berbeda. Mengedepankan keadilan korektif, keadilan rehabilitatif, dan keadilan restoratif sebagai sanksi pidana alternatif selain pidana penjara berupa denda, kerja sosial dan pengawasan. Menggantikan KUHP Kolonial Belanda yang selama ini diterapkan secara kaku dan tidak memiliki sanksi alternatif selain pidana penjara.
“Dengan keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan, antara hak asasi manusia dan kewajiban manusia, antara tindak pidana dan sikap mental pelaku, berpedoman pada Ideologi Negara Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan UUD 1945,” tambahnya.
Untuk diketahui, pertemuan dengan American-Indonesian Chamber of Commerce dilakukan sebagai upaya menghilangkan kekhawatiran para pelaku usaha, karena adanya anggapan yang keliru bahwa KUHP yang baru akan membawa dampak negatif terhadap para investor asing di Indonesia.
Pertemuan yang berbasis di New York, USA tersebut beranggotakan para pelaku usaha dan investor asing yang memiliki kepentingan bisnis di Indonesia.
Laporan: Muhammad Hafidh