KedaiPena.Com – Anggota Komisi VII DPR RI, Harry Poernomo beranggapan bahwa keputusan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang akan mengkaji status Freeport merupakan bukti daya tawar perusahaan tersebut selalu lebih kuat dari pemerintah.
Demikian dikatakannya menanggapi keputusan Sri Mulyani atas keberatan yang dilayangkan oleh Freeport perlihal kepastian investasi pasca berubahnya status dari Kontrak Karya menjad Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
“Seperti biasa Freeport ini selalu merasa lebih kuat daya tawarnya daripada pemerintah kita. Kita sudah memberi banyak kepada mereka, tapi mereka minta lebih banyak lagi,” kata dia kepada KedaiPena.com, di Jakarta, Selasa (14/2).
Dia pun menjelaskan, bila pada akhirnya Sri Mulyani kembali mengubah status Freeport, maka itu akan sangat menyimpang dan melanggar Undang-undang Mineral dan Batu Bara tahun 2009 (Minerba).
Pasalnya, perubahan kontrak karya ke izin usaha pertambangan khusus adalah sebuah inisiatif agar lulusan KK di satu sisi dapat mentaati kewajiban UU nomor 4 tahun 2009, yaitu membangun smelter.
“Pemerintah harus tetap konsisten dengan UUD 45 dan UU Minerba. Kalau sangat diperlukan buat Perppu supaya tidak ada penyimpangan terhadap UU Minerba,” jelas dia.
“Walaupun semua tergantung pemerintah kita. Tapi saya harap sesuai UU Dan PP 1/2017 dengan berubah menjadi IUPK,” pungkas dia.
Seperti diketahui, 10 Februari PT Freeport Indonesia resmi menjadi pemegang IUPK dari yang sebelumnya berstatus kontrak karya (KK) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba).
Perubahan status menjadi pemegang IUPK itu menyusul keluarnya Peraturan Menteri Energi Nomor 6 Tahun 2016 turunan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 yang pada intinya hanya mengizinkan perusahaan tambang pemegang KK untuk melakukan ekspor konsentrat apabila berganti menjadi pemegang IUPK.
Akan tetapi, sebelum berpindah menjadi pemegang IUPK, Freeport mengirimkan surat ke Kementerian ESDM guna meminta keringanan dan jaminan. Di antaranya adalah jaminan kepastian hukum serta kebijakan fiskal atau perpajakan yang sifatnya ‘Nail Down’.
Laporan: Muhammad Hafidh