KedaiPena.Com – Terus tingginya angka kematian ibu di Indonesia, bahkan termasuk yang tinggi di Asia, merupakan salah satu wajah buruk dari persoalan perempuan di Indonesia yang berpilin-kelindan, diantaranya, dengan persoalan kemiskinan, beban ganda pekerjaan, misoginisme (sebuah pandangan bahwa perempuan itu makhluk sekunder setelah laki-laki) yang menghinggapi kaum perempuan. Hal itu belum juga tertangani secara progresif hingga dengan saat ini.
Sehingga tidak bisa tidak, komitmen super serius dan tindakan massif dan nyata super hebat harus dilakukan secara sinergis oleh seluruh pemangku kepentingan yang ada, baik itu pemerintah pusat, pemerintah daerah, masyarakat, dan dunia usaha.
Namun komitmen dan langkah-langkah nyata tersebut, tentunya juga juga harus diletakkan dalam kerangka perjuangan untuk terus telaten menjinakkan kecongkakkan ideologi patriarki, yang menjadi akar ketimpangan relasi antara laki-laki dan perempuan yang berdampak pada pengabaian hak-hak perempuan.
Caranya dengan terus-menerus menginjeksi sebuah model pemahaman dan praktik baik kesetaraan yang otentik-kodrati antara laki-laki dan perempuan kepada semua lebih banyak kaum laki-laki dan perempuan itu sendiri. Hingga nantinya sampai ke sebuah titik yang menjamin hadirnya era kesetaraan sejati relasi laki-laki dan perempuan itu sendiri.
Pandangan itu disampaikan Direktur Eksekutif Jaringan Anak Nusantara (JARANAN) Nanang Djamaludin dan Managing Director Indonesia Sehat Amira Lidya Bakrie pada Safari Pendidikan Keayahbundaan dalam rangka memperingati Hari Perempuan Sedunia 2017, bertema “Menjadikan Spirit Hari Perempuan Sedunia sebagai Momentum Menekan Serius Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesiaâ€.
Acara tersebut digelar di RPTRA Jatinegara Rabu (8/3) oleh Gerakan Hidup Sehat (GHS), Indonesia Sehat Amira, dan JARANAN. Selain dihadiri para perempuan pegiat sosial wilayah setempat, juga dihadiri para perempuan dari wilayah lain. Pada acara yang dikemas sederhana namun meriah itu, terlihat penuh senyum bahagia di wajah peserta, karena diselingi juga dengan game-game dan pembagian aneka doorprize yang menarik dari panitia.
Dalam praktik keseharian, papar Nanang, beroperasinya ideologi patriarki yang kadung terbenam kuat di memori bawah sadar banyak individu dalam masyarakat, mewujud dalam cara pandang dan cara tindak kaum laki-laki terhadap perempuan yang menyubordinasikan banyak peran kaum perempuan. Sampai-sampai beragam jenis pekerjaaan yang ada di mastarakat pun seakan-akan berjenis kelamin.
“Dalam hal pekerjaan mendidik dan mengasuh anak anak di rumah, misalnya, dianggapnya itu tanggungjawab perempuan saja. Sehingga yang hadir pada program Safari Pendidikan Keayahbundaan yang rutin kami gelar di RPTRA-RPTRA pun selalu para bunda yang cantik-cantik. Para ayahnya pada ke mana sih, bun?†tanya Nanang yang disambut gelak tawa para ibu di acara itu.
Runyamnya lagi, sambungnya, karena patriarki ini terus ditransfer dari satu generasi ke generasi berikutnya, lalu seakan diamini banyak kaum perempuan itu sendiri, lantaran disangkanya hal itu “given†atau bersifat kodrati pemberian langsung Sang Maha Pencipta.
“Padahal sebenarnya itu adalah sebuah konstruksi sosial yang terus terkonsolidir dalam lini masa sejarah kemasyarakatan dalam bentuk penyifatan-penyifataÂn sosial terhadap kaum perempuan. Dan lebih banyak penyifatan-penyifataÂn sosial itu yang bukan kodrati pemberian Sang Maha Pencipta,†jelas Nanang yang juga konsultan keayahbundaan dan kota layak anak itu.
Untuk itu, ia menekankan, tugas sejarah seluruh kaum perempuan untuk bersinergi menjinakkan kecongkakan ideologi patriarki ini secara cantik dan elegan. Diantaranya, dengan terus-menerus membangun dialog tak berkesudahan lewat cara-cara menyenangkan dengan kaum laki-laki tentang kemitraan sejajar atau kesetaraan dalam peran di tengah sejarah kemanusiaan.
Sementara itu, Lidya Bakrie, mengajak kaum perempuan untuk bersama-sama bersinergi dengan seluruh pemangku kepentingan, baik pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan dunia usaha untuk mengambil langkah-langkah nyata menekan angka kematian ibu yang amat mengkhawatirkan.
“Saya melihat sebenarnya banyak hal-hal penting yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam hal menekan angka kematian ibu. Namun sepertinya dari segi kebijakan dan praktik-praktik di lapangan, hal-hal penting itu tidak berjalan. Padahal nyawa para ibu atau perempuan Indonesia yang menjadi taruhannya akibat kebijakan sektor kesehatan yang tidak berpihak kepada kaum ibu hamil,†ujarnya.
Pada lingkungan yang lebih kecil, di forum-forum komunitas warga seperti PKK dan Posyandu misalnya, Lidya berharap “empat terlalu†yang menyumbang pada tingginya angka kematian ibu bisa disosialisasikan secara lebih gencar . Yakni hamil terlalu muda (diusia anak), hamil terlalu tua, hamil terlalu rapat dengan jarak anak sebelumnya, hamil terlalu banyak.
“Setelah target penurunan angka kematian ibu di Indonesia lewat agenda global Millenium Development Goals (MDGs) gagal tercapai di tahun 2015 lalu, dan program Sustainable Developments Goals (SDGs yang harusnya dijalankan pada tahun 2016 lalu ternyata belum juga berjalan, maka mari kita di tingkat akar rumput melakukan apapun yang bisa kita lakukan, sekecil apapun itu, untuk membantu menekan angka kematian ibu yang masih belum ditangani serius oleh pemerintah,†pungkas Lidya yang juga Ketua Gerakan Hidup Sehat itu.
Laporan: Muhammad Ibnu Abbas