PERJALANAN ke Baduy Dalam kemarin membuat otak dan hatiku berdebat nggak karuan. Keletihan badan berjalan empat jam naik turun bukit menuju Desa Cibeo dan empat jam keluar dari sana jadi terlupakan.
Yang ku temui di Desa Cibeo, 29 tahun yang lalu, masih tak berubah kondisinya. Anak-anak berlarian di antara 108 rumah yang terbuat dari kayu, bambu tanpa paku, dan beratap rumbia. Pakaian mereka pun masih sama; kain hitam, baju putih, ikat kepala putih.
Sudah pada butek warna bajunya, karena memang hanya beberapa yang mereka punya. Sementara sehari-hari main dan sekolahnya ke kebun, kali dan sekitaran rumah.
Yang membuatku galau nggak jelas adalah soal keteguhan mereka memegang adat yang sangat kuat di tengah perubahan di dunia yang luar biasa besar dan cepatnya.
Bayangkan, bagi anak-anak ini, bersekolah beda konsep dengan anak lainnya. Yang mereka pelajari adalah cara berkebun, menjahit baju pakai tangan karena memang nggak boleh pakai mesin, dan memasak apa yang bisa mereka dapat di sekitar kampung mereka.
Membaca? Menulis? Ah, nggak ada dalam daftar pelajaran karena hidup mereka sudah cukup dengan apa yang ada di sana. Kita kan membaca untuk menambah pengetahuan, dan menulis antara lain untuk berkomunikasi. Ada 600 penduduk dari 120 KK disana, dan mereka happy dengan segala apa yang ada.
Eh nggak juga deng. Beberapa memilih keluar dari Baduy Dalam dengan berbagai alasan. Mursid, misalnya. Ayah 1 anak usia 24 tahun ini merasa ingin sekali melihat dunia dan menjelajah Indonesia.
Dengan tinggal di Baduy Dalam, berarti ke mana-mana harus jalan kaki, tidak boleh pakai selop, sendal apalagi sepatu, dan hanya bisa berkebun untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Ayah Mursid yang menjadi Jero di Desa Cibeo saja, jalan kaki ketika diundang SBY dan Jokowi ke Istana Negara dalam rangka 17-an. Bayangkan kalau ke Yogyakarta yang membuat Mursid sangat terkesan itu juga harus ditempuh berjalan tanpa alas kaki.
Berkecamuk di kepala dan dadaku, mengapa harus susah ketika segala kemudahan sudah tersedia. Ada sepeda, motor, mobil, kereta api dan pesawat untuk ditumpangi. Kenapa harus jalan kaki?
“Memang begitu adat disini,” kata Mursid.
Maka dia memilih tinggal di Baduy Luar, menanggalkan ikat kepala putihnya, bolak-balik ke Jakarta bahkan sampai ke Jogja untuk berdagang madu dan kain tenun Baduy yang banyak peminatnya. Naik angkot dan kereta tentu saja, dengan sepatu kets yang nyaman di kakinya.
Terbayang olehku, betapa nyaman hidup di Baduy Dalam. Nggak ada gejolak politik apalagi tembak-tembakan, nggak ada kekhawatiran karena nonton berita kerusuhan di televisi, atau dengar kehebohan di radio.
Tak perlu hitung-hitung uang di dompet karena tertarik beli baju, tas atau sepatu baru. Tapi apakah aku sanggup nggak ke mana-mana, sementara hobiku ‘malala’. Dalam bahasa Minang, ‘malala’ artinya jalan-jalan, berkelana atau berkeliaran.
Ah, jalani saja hidup ini ya. Tuhan sudah kasih tugas yang berbeda untuk masing-masing jiwa.
Dan saudara-saudara kita di Baduy memang diturunkan untuk menjadi pelajaran bagi kita soal keteguhan dan ketetapan menjaga kemurnian nilai-nilai adab manusia yang ada, di tengah bentangan dunia yang terus berubah.
Oleh Jurnalis Senior Rahmi Hidayati