Artikel ini ditulis oleh Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro.
Menyandang jabatan akademik profesor atau guru besar itu tidak ringan bebannya. Berat pertanggungjawabannya secara akademik keilmuwan.
Mengutip Pasal 49 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, berikut adalah sejumlah kewajiban dan wewenang dari seorang guru besar atau profesor:
(1) Profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi yang mempunyai kewenangan membimbing calon doktor;
(2) Profesor memiliki kewajiban khusus menulis buku dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya untuk mencerahkan masyarakat;
(3) Profesor yang memiliki karya ilmiah atau karya monumental lainnya yang sangat istimewa dalam bidangnya dan mendapat pengakuan internasional dapat diangkat menjadi profesor paripurna.
Sekali lagi, menjadi Profesor itu berat, soalnya bukan sekedar memiliki tanggungjawab intelektual melainkan juga tanggungjawab moral.
Bisa saja, profesor mengeluarkan teori “ndakik-ndakik“, tetapi mahasiswa akan melihat itu hanyalah ‘Nato’ (No Action Talk Only) saat melihat Professor tak sejalan antara perkataan dan perilakunya.
Menjadi profesor apalagi profesor radikal, itu jauh lebih sulit lagi. Nalar kebenaran harus tunduk pada logika ilmu, bukan logika kekuasaan.
Saat terjadi benturan antara ilmu dan kekuasaan, profesor radikal harus memilih setia pada ilmu dan membersamainya dengan segala konsekuensinya, bukan mengabdi dan mengemis pada kekuasaan.
Akibatnya, kadangkala, bukan hanya dialienasi oleh kekuasaan bahkan rekan sejawat pendidik pun ikut menjauhi dirinya karena takut distigma dan terpapar radikal.
Bukan karena tak percaya pada nalar ilmu, tapi karena takut pada persekusi kekuasaan yang bisa setiap saat merampasnya capaian yang dirintis dengan ilmu selama puluhan tahun.
Menjadi Profesor radikal ini ibarat Guru yang memiliki kewajiban “digugu lan ditiru”. Bukan “wagu tur saru“. Tetap menjaga dedikasi, berani membela kebenaran dan keadilan meskipun berisiko untuk dikriminalisasikan dan dipersekusi jabatannya.
Coba, nalar ilmu mana yang bisa dibenarkan, seorang profesor pengajar Pancasila plus Filsafat Pancasila hingga nyaris seperempat abad, dipersekusi jabatannya karena tuduhan anti Pancasila. Naif bukan?
Tapi itulah resiko menjadi Profesor radikal, harus siap kehilangan jabatan demi kesetiaan pada visi meruhanikan ilmu. Menjadi garda kebenaran dan keadilan, walau harus terkoyak dan kehilangan jabatan.
Kalau hanya bermodal Rasisme, Islamphobia dan Xenophobia, malah mendapatkan jabatan, itu sih gampang sekali. Tidak perlu menjadi profesor, “Dilan” saja sanggup untuk melakoni semua itu.
Open Mind itu terbuka pada semua, bukan hanya kepada budaya dan tradisi Barat, melainkan juga pada budaya dan tradisi intelektual agama Islam, agamanya sendiri.
Ajaran Islam, telah terpatri menjadi kebiasaan yang bersumber dari dialektika intelektual dari sejumlah dalil, hingga mampu meng-istimbath hukum sebagai dasar pijakan amal.
Janganlah terlalu membanggakan Barat, tapi tidak bangga pada budaya dan tradisi intelektual agamanya sendiri. Islam memiliki tradisi intelektual yang kokoh, dalam meng-istimbath dalil-dalil syar’i hingga sampai pada kesimpulan wajibnya menutup aurat bagi setiap muslimah, apapun statusnya, baik menjadi mahasiswi maupun bukan.
“Sing salah bakal seleh“, itu adalah peribahasa yang dapat diterapkan bagi setiap diri yang mampu menginsyafi kesalahan. Bukan berapologi atau mengidentifikasi diri menjadi korban kejahatan, itu tidak layak, Tuan dan Puan.
Apalagi, standar Profesor itu lebih ketat. Tak ada yang menuntut seorang Profesor lebih dari yang lain, tetapi keinsyafan dirilah yang wajib menjadikan ‘wibawa gelar’ menjadi bintang pemandu (leitztern) dalam setiap langkah dan tutur.
Mulutmu harimaumu, adalah gambaran betapa pentingnya menjaga lisan dan betapa dahsyatnya bencana akibat kesalahan lisan.
Saya berempati atas apa yang menimpa Profesor Budi Susanto Purwokartiko (BSP). Saran saya, terima setiap takdir dari Allah SWT sebagai wujud keridhoan, fokus saja pada perbaikan diri. Sebab sebanyak apapun klarifikasi dan pembelaan diri, tak akan diterima sebagai sebuah kebenaran, melainkan hanya akan dianggap sebagai dalih pembenar dan konfirmasi kesombongan.
Meski tak begitu saja dapat menghapus unsur pidananya, bulan ini adalah bulan Syawal dan sudah menjadi tradisi masyarakat di Indonesia pasca puasa untuk saling meminta maaf.
Jadi, sungguh mulia jika seseorang yang patut diduga telah berbuat dzalim kepada seseorang apalagi terhadap kaum muslimah yang disebut sebagai “manusia gurun” secara sadar dan ikhlas meminta maaf. Bukankah begitu, Puan dan Tuan?
Tabik.
[***]