KedaiPena.Com – Dari semua sampah yang ke TPA (‘landfills’) sekitar 70% organik yang bisa terurai (kompos). Sementara, sekitar 15-20% adalah plastik yang tidak bisa terurai.
Problemnya 15-20% sampah plastik konvensional yang tidak terurai selama 500-1000 tahun, jadi problem besar termasuk salah satu alasan besar terjadinya longsor TPA Luwigajah di Bandung yang mengakibatkan 167 orang meninggal dunia
Demikiam disampaikan Puput TD Putra, aktivis Koalisi Pemantau Plastik Ramah Lingkungan Indonesia (KPPL-I).
“Tragedi yang dijadikan peringatan Hari Sampah Nasional setiap 21 Feb untuk mengingat malapetaka longsornya TPA Leuwigajah,” kata dia, ditulis Selasa (23/7/2019).
UU Sampah tahun 2008 juga mengharuskan semua sampah yang ke TPA harus terurai di alam termasuk 15-20% sampah plastik.
Sampah plastik yang tidak terurai memang menjadi masalah serius untuk diselesaikan secara holistik
Maka penting semua sampah plastik ke TPA harus bisa terurai.
“Tapi, pertanyaan sederhananya apa bisa kita menghilangkan pembungkus dari plastik waktu beli sayur-sayuran, buah-buahan, jajanan basah dan lain sebagainya? Mengurangi dan ‘do not overused yes’. Tapi menghilangkan akan susah dan tidak bijak,” tegas dia.
Putra, sapaannya melanjutkan, dikatakan tidak bijak karena akan timbul probem lebih besar lagi. Pertama, soal ‘hygienic issue’, karna plastik-plastik itu untuk memproteksi makanan. Kedua, ‘shelf life’, makanan akan sangat pendek kalau tidak ada plastik ‘packaging’ yang memadai.
“Sekarang saya perkirakan 40 persen makanan yang kita panen di hulu, tidak sampai ke meja kita langsung kalau tanpa ada ‘packaging plastic’ untuk ‘extend the shelf life’ dari makanan-makanan tersebut,” sambung dia.
“Jadi penting dan sudah benar pengunaan plastik-plastik yang ramah lingkungan. Sebiasa mungkin pakai plastik bisa terurai di TPA, sesuai dengan regulasi pengolahan sampah, UU 18/2008, sampah yang sampai ke TPA harus terurai. Tertib di darat bersih di laut,” tandas dia.
Laporan: Muhammad Lutfi