Artikel ini ditulis oleh Syafril Sjofyan Pemerhati Kebijakan Publik, Aktivis Pergerakan 77-78, Sekjen FKP2B.
Media “menyebarkan kehebatan” Jokowi sewaktu menjadi Walikota Solo. Walikota “terbaik” didunia. Entah darimana julukan tersebut. Mudah bagi media untuk mempabrikasi. Konon untuk mendapatkan julukan international, sangat mudah. Semudah mendapatkan gelar akademis oleh para elit.
Sangat cepat viral ketika Jokowi menggunakan mobil “Esemka” sebagai mobil dinas walikota Solo. Ditulis merk Esemka karena katanya dibuat anak-anak SMK.
Mobil katanya dari dorongan Jokowi. Tentu sangat menarik. Karena rakyat bangga jika ada mobil nasional. Bisa seperti di Malaysia.
Bahkan Media TV milik Surya Paloh, memunculkan Jokowi. Mobil tersebut dipasarkan secara langsung oleh Jokowi. Katanya sudah ada pesanan masuk sebanyak 600 mobil Esemka.
Jokowi “memasarkan” mobil Esemka dengan cara sama tapi berbeda dengan memasarkan IKN masa kini kepada para Investor. Pesanan 600 mobil Esemka. Ternyata zonk alias nihil.
Mobil Dinas Jokowi merk Esemka hanya satu-satunya. Ternyata persis dengan buatan China. Mobil dinas Esemka tersebut ditepung tawari dengan air kendi 7 rupa, secara langsung dilakukan Jokowi.
Mirip sama tapi beda dengan cara tepung tawar IKN dengan kendi dari air dan tanah dari berbagai provinsi. Juga dilakukan oleh Jokowi sendiri.
Dengan modal pencitraan media tentang Walikota “terhebat” di dunia, mobil Esemka, Potret kesederhanaan bersahaja, bahan kemeja, celana dan sepatu Jokowi dilabel harga murah. Konon Hasyim adik kandung Prabowo kepincut. “Membujuk” abangnya.
Prabowo pun “merayu” Megawati untuk bekerja sama dengan partainya mencalonkan Jokowi sebagai Gubernur DKI berpasangan dengan Ahok.
Konon waktu itu Megawati beserta suaminya alm. Taufik Kiemas sudah punya calon. Pertahana Gubernur DKI Jakarta Fauzi Bowo yang akan dipasangkan dengan Rano Karno.
Akibat “rayuan maut dan pencitraan media” meluluhkan hati pasangan “pemilik” PDI Perjuangan tersebut. Jadilah Jokowi dan Ahok Gubernur-Wakil Gubernur DKI.
Kilas balik kehebohan 2012-2013. Selanjutnya anda sudah tahu. Dua tahun jadi Gubernur DKI Jakarta. Mulai dikembangan issue Jokowi menjadi calon presiden.
Sesungguhnya dalam waktu pendek tersebut belum kelihatan kinerja dan prestasi Jokowi di DKI Jakarta. Relawan Jokowi terbentuk bagai cendawan di musim hujan. Entah dari mana dana nya. Begitu juga lembaga survei bagai kerakap bermunculan. Jokowi akan menang jika jadi capres. Menurut hasil survei.
Mereka para relawan bahkan berani demo ke Kebagusan kediaman Megawati. Ketika itu Megawati mereka hujat melalui sosmed. Facebook dan Twitter baru muncul dan populer.
Para Relawan pendukung Jokowi memanfaatkan sosmed. Berbagai julukan negatif diberikan oleh mereka kepada Megawati. Agar rakyat tidak mendukung Megawati.
Bahkan “pemilik” media nasional berpengaruh “mendatangi” Megawati menjelaskan. Megawati akan kalah melawan Prabowo.
Satu-satunya yang bisa mengalahkan adalah Jokowi. Konon mereka juga mengungkap berbagai hasil survei dari lembaga mereka untuk meyakinkan. Seperti yang anda ketahui pasangan suami isteri pemilik PDI Perjuangan, akhirnya mengalah.
Konon Megawati masih punya keinginan untuk maju jadi Capres pada Pilpres 2014. Patut dicatat beliau pernah menjabat Presiden hanya dalam waktu singkat 2,5 tahun. Setelah Gusdur di lengserkan. Artinya Megawati didukung oleh alm. suaminya tidak setuju mencalonkan orang lain selain dirinya.
Rupanya kerja sama pemegang modal, plus pencitraan media, hasil survei dan tekanan relawan sangat masif. Membuat Megawati dan Taufik Kiemas mengalah. Takluk.
Pilpres Tahun 2014 jadilah Jokowi jadi Presiden didampingi JK sebagai Wakil Presiden. Prabowo yang maju jadi capres kalah. Prabowo yang mengadang-gadang Jokowi dan adiknya Hasyim ikut “memodali” Jokowi menjadi gubernur gigit jari.
Dari mediapun kita ketahui Luhut Binsar Panjaitan sudah punya “hubungan bisnis” dengan anak Jokowi yang masih belia, ketika Jokowi masih Walikota Solo. Dari awal rupanya mereka sudah sangat lekat. Sampai sekarang.
Bisnis anak-anak Jokowi mengurita demikian juga bisnisnya LBP. Seperti kita ketahui “kedekatan” mereka Jokowi dan LBP dengan Negara China Komunis “sangat mesra”. Sudah bukan lagi rahasia.
Heboh 2022-2023. Sepuluh Tahun kemudian. Hampir mirip terjadi. Ganjar Pranowo yang belum selesai jabatannya sebagai Gubernur Jateng. Walaupun tidak ada kinerja yang menonjol dan prestasi yang membanggakan. Bahkan tingkat kemiskinan meningkat dan pertumbuhan ekonominya rendah selama dua periode.
Lembaga survei selalu framing hasil Ganjar selalu di tiga besar, kadang tertinggi. Entah dari mana dananya.
Baru-baru ini Mendagri Tito Karnavian mendaulat Jateng yang digawangi Ganjar Pranowo berkinerja terbaik di Indonesia. Tujuannya sama pencitraan walaupun terkesan membodohi akal sehat rakyat.
Istana termasuk LBP melalui Asosiasi Desa aktif promo Ganjar Pranowo. Bahkan beberapa kali Jokowi mengumpulkan relawannya memperkenalkan Ganjar sebagai capres.
Ketika itu dimunculkan julukan sirambut putih, karena selalu memikirkan Indonesia katanya. Suatu ketika di GBK dia mengumpulkan relawannya.
Ganjar memang berambut putih. Sama seperti kemunculan Jokowi tahun 2013. Ganjar juga muncul dengan pencitraan melalui sosmed dan “rekayasa” hasil survei.
Di pihak lain, elit PDI Perjuangan aktif mengkampanyekan Puan Maharani sebagai capres. Berbagai modus dilancarkan. Spanduk Puan bertebaran dimana-mana.
Catat Puan Maharani adalah putri kandung Megawati dengan alm. Taufik Kiemas. Memang aneh hasil survei Puan mentok dibawah 5 %. Padahal PDIP setiap Pemilu 2004, 2009, 2014, 2019 selalu memperoleh suara tetap antara 18-20%.
Artinya dengan modal suara captive merupakan suara militans pendukung tetap/setia PDI Perjuangan. Puan sebagai anak pemilik PDI Perjuangan tentunya sudah mempunyai modal sosial yang sama antara 18-20%.
Siapa yang mengatur, hasil survei. Selalu memenangkan Ganjar. Konon beberapa pemilik survei “rutin diundang” istana, termasuk buzzer dan influencer.
Bahkan setelah selesai dua periode Jokowi tetap “merawat” relawannya. Entah dari mana dananya. Jokowi tidak membubarkan relawannya walaupun Jokowi secara konsitusi sudah tidak bisa lagi maju sebagai calon presiden.
Sebenarnya, dia sudah tidak membutuhkan. Tapi sebagai kelompok penekan perlu. Rupanya dengan cara sama dengan sepuluh tahun yang lalu ini menjadi kelompok “penekan” bagi Megawati.
Akhirnya kembali Megawati “melupakan” keinginannya untuk memunculkan anaknya menjadi presiden. Mungkin ini kesempatan terakhir bagi dirinya dan anaknya karena beliau semakin uzur.
Sama halnya ketika tahun 2013 ketika memberikan kesempatan kepada Jokowi dan “melupakan” keinginan dirinya menjadi Presiden.
Lalu bagaimana dengan Prabowo, “sangat dekat” dengan Megawati. Kita saksikan di media betapa “mesra” hubungan mereka. Begitu juga dengan Jokowi, Prabowo sempat “memuja-muja” Jokowi dan anak-anaknya. Hal yang sama terjadi Prabowo kembali gigit jari.
Sejarah berulang. Big scenario. Siapa dalangnya? Lakon wayang tinggal dimainkan. Apalagi jika petugas partai gampang “diatur” baik oleh partainya maupun oleh sang dalang. Katanya sih. Beda jika pemilik/anak pemilik atau petinggi partai dijadikan capres, dalang susah mengatur lakon.
Indonesia sangat kaya SDA. Tapi fakta bukan untuk rakyatnya. Dua periode Jokowi berkuasa siapa Negara Super Power yang diuntungkan dari kekayaan SDA. Baca juga komentar Faisal Basri tentang kekayaan tambang yang “dirampok” ke China. Itulah dalang sebenarnya. Sesunguhnya. Kaki tangan
Dalang sangat banyak. Baik berbentuk oligarki ekonomi (mereka main dua kaki) juga berupa elit partai dan elit Istana. Intelnya apalagi, sangat lihai. Susah membedakan karena wajahnya sesama Asia.
Jika 2024 mereka menang lagi, kedaulatan rakyat sesuatu yang susah dijangkau. Jauh panggang dari api. Indonesia bukan akan tetapi telah dijajah.
[***]