‘COMPULSORY Education’ (Wajib Belajar) adalah program yang mewajibkan anak pada rentang usia tertentu untuk mengikuti program pendidikan tertentu. Hampir setiap negara menerapkan program wajib belajar.
Ada yang menerapkan Wajib Belajar 6, 9, 12 tahun, dan sebagainya (lihat data UNESCO).
Wajib belajar tidak hanya berarti setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan tertentu. Akan tetapi, juga berarti pemerintah wajib menyediakan akses yang memadai agar setiap warga negara bisa mengikuti pendidikan, tidak terkecuali.
Ketika sebuah negara menerapkan program wajib belajar, biasanya di jenjang pendidikan itu, setiap warga negara bisa mengikutinya secara gratis.
Di Indonesia, wajib belajar pertama kali diterapkan pada tahun 1984, yaitu Program Wajib Belajar 6 tahun. Tidak banyak yang tahu, Rizal Ramli (RR) memegang peran penting sehingga akhirnya program ini berlaku di seluruh Indonesia.
Ketika masih menjadi mahasiswa tingkat II di Institut Teknologi Bandung (ITB), RR memenangkan sebuah kompetisi menulis. Pemenang kompetisi itu menerima hadiah mengikuti kuliah Asian Studies di Sophia University, Jepang, selama 30 hari.
Itu adalah pengalaman pertamanya ke luar negeri. Tentu saja, di sela-sela waktu kuliah ia sempatkan berkeliling Jepang. RR sempat ikut tinggal bersama petani, melihat industri Jepang, dan melakukan berbagai kegiatan lainnya.
Jalan-jalan ke luar negeri bukannya membuat RR senang, melainkan gelisah. Mengapa negara sekecil Jepang bisa memastikan bahwa rakyatnya cukup makan? Mengapa angka kesejahteraannya tinggi? Di sisi lain, Indonesia memiliki alam yang jauh lebih kaya, tetapi masih banyak penduduknya yang kelaparan.
RR juga mulai menyadari, ia masih belum mengenal Indonesia ketika itu. RR besar di Bogor dan melanjutkan studi di Bandung. Pengetahuannya tentang Indonesia lebih banyak didapat dari pergaulan di sekolah, kampus, dan dari buku.
Sepulang dari Jepang, RR muda memutuskan untuk melakukan perjalanan untuk mengenal Indonesia. Ia mengajak seorang sahabatnya (alm. Irzadi Mirwan atau Adi) untuk menyusuri pantai utara Jawa sampai Bali Utara. RR dan Adi bepergian dengan ‘backpacking’, naik apa saja. Kadang naik kereta, kadang menumpang truk.
Pengalaman yang paling berkesan bagi RR muda selama perjalanan itu adalah ketika sampai di sebuah pantai di Tegal. Di sana RR bertemu dengan seorang nelayan, dan anak remajanya yang bernama Sugriwa. RR dan Adi ikut bersama Ayahnya Sugriwa mencari ikan di bagan.
Bagan adalah sebuah struktur bangunan di tengah laut, tempat nelayan biasa mencari ikan. Berempat, mereka menunggu di bagan, diterpa angin malam yang dingin. Mulai dari malam hingga pukul lima pagi. Selama itu, Ayahnya Sugriwa hanya mendapatkan 3 ember kecil ikan.
Ayah Sugriwa membawa dua bungkus nasi. Beliau pun memilih beberapa ikan kecil untuk dimasak. RR dan Adi sebenarnya sangat lapar, tapi tidak enak untuk meminta makan. Namun, Ayah Sugriwa bersikeras agar nasi tersebut dimakan bersama-sama.
RR begitu tersentuh. Seorang nelayan miskin tetap mau berbagi dengan dua orang mahasiswa backpacker. Selama makan, RR dan Adi melanjutkan perbincangan dengan Ayah Sugriwa.
Ayah Sugriwa bercerita, anaknya yang berusia sekitar 12 tahun tidak pernah bersekolah. Bukan karena Sugriwa tidak mau sekolah. Si anak malah sangat ingin. Alasan biayalah yang menyebabkan si anak tidak pernah bisa bersekolah.
Hal ini mengingatkan RR tentang apa yang ia pelajari dari kunjungan ke Jepang. Setelah Restorasi Meiji (1868), Jepang mulai menerapkan Program Wajib Belajar. Itulah pertama kalinya pemerintah secara resmi mengintervensi sistem pendidikan, yang memungkinkan setiap warga negaranya memperoleh pendidikan.
Di Indonesia, belum ada program wajib belajar. “Mungkin salah satu penyebab kemiskinan di Indonesia adalah karena kurangnya pendidikan?” pikir RR muda.
Tentu, di kemudian hari, RR belajar bahwa masalah kemiskinan di Indonesia tidak hanya disebabkan oleh masalah pendidikan. Namun, sejak mahasiswa, RR sudah melihat kekurangan dalam bidang pendidikan menjadi salah satu penyebab kemiskinan di Indonesia.
Sepulang dari perjalanan menyusuri pantai utara Jawa, RR mengajak beberapa teman-teman mahasiswa untuk menganalisis kondisi pendidikan di Indonesia.
Beberapa ahli pendidikan diundang berceramah tentang pendidikan ke kampus ITB. Ternyata, sekitar 7 sampai 8 juta anak usia sekolah tidak bersekolah karena tidak mampu.
RR pun mengajak Dewan Mahasiswa se-Bandung untuk melakukan Gerakan Anti Kebodohan (1976-1977). Tahun 1977 adalah tahun pemilu. Salah satu tujuan Gerakan Anti Kebodohan adalah agar isi kampanye pemilu lebih dari sekadar pencitraan politik saja, tapi memang membahas isu-isu strategis, khususnya pendidikan.
Sebagai bagian dari Gerakan Anti Kebodohan, para mahasiswa mengundang Menteri Pendidikan saat itu, Teuku Mohammad Syarif Thayeb, untuk mendorong dibentuknya Program Wajib Belajar 6 tahun.
Mahasiswa juga melakukan demonstrasi ke DPR agar isu pendidikan menjadi salah satu isu Pemilu yang utama. Lama kelamaan yang terlibat di Gerakan Anti Kebodohan makin banyak. Antara lain mahasiswa se-Jogjakarta dan Jakarta.
Penyair W.S. Rendra pun ikut berpartisipasi. Ia datang ke ITB dan membacakan sebuah puisi tentang pendidikan yang berjudul “Sajak Sebatang Lisong”. Rendra pun mengusulkan para mahasiswa untuk berdiskusi dengan Sjumandjaja, seorang sutradara film.
Sjumandjaja pun membuat sebuah film berjudul “Yang Muda Yang Bercinta”. Meskipun film itu tentang dua mahasiswa yang jatuh cinta, ada juga selipan mengenai mahasiswa yang gelisah dengan kondisi Indonesia. Puisi “Sajak Sebatang Lisong” pun diselipkan di dalam film tersebut.
Akhirnya, tahun 1984, Pemerintah mencanangkan program Wajib Belajar 6 tahun. Program ini terus berlanjut hingga sekarang, dengan penambahan Wajib Belajar 9 tahun. Tentu saja dalam pelaksanaannya, Program Wajib Belajar masih perlu ditingkatkan dan terus dievaluasi.
Seorang nelayan dan anaknya Sugriwa menjadi salah satu faktor yang telah mengetuk hati RR untuk memperjuangkan adanya perbaikan kebijakan di bidang pendidikan.
Salah satunya dengan adanya Program Wajib Belajar. Sejak masih mahasiswa, pendidikan telah menjadi perhatian RR melalui Gerakan Anti Kebodohan dan aksi-aksi lanjutannya.
Oleh Alea Eka Putri, Pemerhati Pendidikan