Ditulis Oleh : Pengamat Energi Inas N Zubir
SEBENARNYA pertalite bukanlah BBM bersubsidi, karena didalam APBN tidak diatur, melainkan hanya solar saja. Lalu, apakah harga pertalite sudah sesuai dengan harga keekonomian?
Mari kita hitung!
Pertalite (RON 90) menurut ESDM adalah BBM yang merupakan transisi dari premium (RON 88) ke BBM ramah lingkungan seperti RON 92 (pertamax) s/d RON 98 (pertamax turbo). Baik premium maupun pertalite adalah BBM yang hanya diproduksi oleh kilang-kilang Pertamina saja, sehingga tidak ada harga publikasi internasional-nya baik MOPS maupun Argus, sehingga digunakanlah formula HIP pertalite = 99,21% harga HIP Mogas 92.
Harga publikasi MOPS (Mean of Platts Singapore) untuk Mogas RON 92 hari ini adalah USD. 107.21 dengan freigt USD. 3,-per barrel. Jika rate dollar pada hari ini adalah Rp. 14.890,- maka Harga Index Pasar (HIP) Mogas RON 92 adalah ((107.21+3)x14.890)/159)= Rp. 10.321,- per liter. Sehingga harga pertalite adalah 99,21% x 10,321= Rp. 10.240,- per liter
Pajak yang dibebankan untuk BBM adalah terdiri dari PPN 11%, PPH 3% dan PBBKB 5% (pajak daerah) = Rp. 1.946,- per liter
Berdasarkan Permen ESDM No. 62/2020, badan usaha dapat memungut biaya pengadaan, biaya penyimpanan dan biaya distribusi untuk pertalite sebesar Rp. 1.800,- dan margin 10% per liter, yakni Rp. 1024,-.
Jadi seharusnya harga keekonomian pertalite adalah Rp. 15.010,- per liter. Dengan harga resmi pertalite Rp. 7.650,- maka sebenarnya Pertamina menanggung beban sebesar Rp. 7.360,- di setiap penjualam per liter pertalite yang kemudian dijadikan kompensasi.
Jadi kalau rencana pemerintah menaikan harga pertalite jadi Rp. 10.000,- maka berarti Pertamina masih menanggung beban sebesar Rp. 5.010,- per liter-nya dimana kemudian akan dikompensasikan oleh pemerintah!.
Persoalan-nya adalah kepastian waktu mengenai pembayaran kompensasi ini, karena nomenklatur KOMPENSASI BBM tidak ada di APBN 2022 maupun Perpres 98/2022, sehingga menyebabkan hutang pemerintah kepada Pertamina semakin bengkak, dimana pada hari ini sudah mencapai lebih dari Rp. 200 triliun.
Oleh karena itu, sebaiknya pertalite tidak dijadikan BBM penugasan melainkan agar ditetapkan sebagai BBM tertentu yang mendapatkan subsidi, misalnya ditetapkan dalam APBN adalah Rp. 5.000,- per liter, sehingga tidak menjadi beban bagi Pertamina.
Walaupun kompensasi dan subsidi adalah sama-sama akan dibiayai oleh APBN, tapi subsidi lebih memiliki kepastian.
(***)