PRESIDENTIAL dan parliamentary treshold yang berlaku sejak pemilu dan pilpres 2004 telah berkali-kalo digugat ke Mahkamah Konstitusi dan digagalkan terus oleh lembaga tersebut.
Setidak-tidaknya ada tiga pihak yang telah pernah mengajukan gugatan kepada MK untuk yaitu Yusril Ihza Mahendra, Effendi Ghazali dan Rocky Gerung. Namun semuanya dikalahkan oleh MK.
Padahal nyata benar bahwa treshold tersebut secara substansial bertentangan dengan UUD 45 pasal 6a yang tidak mensyaratkan sama sekali jumlah kursi parpol yang mendukung calon presiden.
Atau pasal-pasal lain dari konstitusi itu juga tidak ada yang mensyaratkan jumlah kursi parpol untuk bisa duduk di DPR (parliamentary treshold).
Dengan demikian pencantuman treshold yang pertama kalinya dalam UU 23/2003 kemudian berubah menjadi UU no 42/2008 dan berubah lagi menjadi UU no 7/2017 yang semuanya mengatur antara lain soal treshold, bertentangan dan melanggar UUD 45.
Namun elit politik memang menghendaki untuk menghalang-halangi munculnya putra-putra terbaik bangsa yang menjadi capres alternatif.
Karena mereka tidak dapat dikendalikan oleh elit politik, dan MK dengan kewenangannya mendukung penuh kemauan elit politik ini.
MK memberikan argumentasi hukum yang seolah-olah legal dan mendukung legitimasi treshold tersebut.
Patut dicatat bahwa ada dua orang hakim MK dari sembilan orang yang tidak setuju dengan keputusan MK yang mendukung penetapan treshold atau ambang batas itu dan mengajukan dissenting opinion yaitu Saldi Isra dan Suhartoyo.
Artinya kedua orang hakim ini tidak bertanggung jawab secara moral atas berlakunya treshold yang mengakibatkan maraknya uang mahar politik.
Pada gilirannya uang mahar politik tersebut menimbulkan maraknya korupsi di Indonesia, karena UU Pilkada juga sejiwa dengan itu.
Sehingga para pemimpin yang terpilih mempunyai dorongan yang kuat untuk melakukan korupsi demi mengembalikan uang yang telah disetorkannya sebagai mahar politik ditambah dengan keuntungannya.
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa MK yang telah berkali-kali menggagalkan gugatan terhadap presidential dan parliamentary treshold adalah biang kerok terjadinya uang mahar politik dan korupsi di seluruh Indonesia.
Karena itu, untuk menghilangkan akar masalah korupsi di Indonesia, maka MK harus menghilangkan pasal-pasal tentang presidential dan parliamentary treshold dalam UU Pemilu dan yang mensyaratkan prosentase dukungan parpol untuk calon kepala daerah dalam UU Pilkada menjadi nol persen.
Oleh Abdulrachim K, Analis Kebijakan Publik