KAMI sudah mencoba mengumpukan ahli tata negara untuk mendiskusikan dan mencari solusi atas problem sistem konstitusi saat ini. Meski, mengundang  ahli tata negara itu bagaikan mengangkat batu besar ke atas bukit. Hanya sedikit profesor tata negara yang rendah hati dalam urusan ini.
Problem konstitusi ini yang berat mengganjal kinerja Presiden, sehebat apapun Presiden itu. Inilah agenda prioritas kalau Indonesia sungguh mau berubah. Saya kira perlu kebesaran jiwa pendukung Jokowi untuk memahami kompleksitas masalah ini, agar tidak membabi-buta membela tanpa memahami masalah besar yang dihadapi Presiden.
Cita-cita pendiri negara kita dengan dicapainya kemerdekaan antara lain untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi semua rakyat. Setelah 70-an tahun kemerdekaan cita-cita tersebut bukannya makin mendekat tapi malah makin menjauh dan meredup.
Separuh penduduk Indonesia masih hidup dengan pendapatan di bawah 2 USD/hari/kapita. Segelintir manusia hidup dengan kemakmuran luar biasa. Ada 40-an orang punya kekayaan lebih dari Rp1000 triliun. Ada 4 orang terkaya setara dengan 100 juta harta orang miskin.
Ini sebuah ironi dan tragedi di tengah melimpahnya kekayaan alam Indonesia. Ada yang sering dikesampingkan oleh politisi dan ahli ekonomi karena dihantui tuduhan rasialis bahwa sesungguhnya dari berbagai catatan sejarah salah satu tujuan kemerdekaan itu adalah untuk mengangkat derajat kaum inlander atau pribumi atau bumi putera. Karena nasib mereka yang dianiaya oleh penjajahan Belanda dengan menempatkan mereka sebagai warganegara kelas tiga di negerinya sendiri.
Ini bukan soal rasialisme tapi ini menyangkut keadilan politik dan keadilan ekonomi bagi mereka. Namun apa yang terjadi nasib kaum inlander atau pribumi tetaplah menjadi kelas tiga secara ekonomi meskipun sudah 70 tahun merdeka.
Apakah realitas itu hanya kesalahan kebijakan lenguasa? Atau semata karena penyimpangan dalam penegakan aturan main? Saya kira bukan semata karena masalah masalah tersebut.
Henry Veltemeyer menyatakan: “Proses akumulasi kekayaan di satu sisi, Â penghisapan serta pemiskinan di sisi lain, bukan terjadi secara alamiah tetapi berdasarkan suatu desain kebijakan politik ekonomi yang kini kita kenal sebagai neoliberalisme dan globalisasi kapitalis”.
Jadi ada masalah masalah mendasar berkaitan dengan faham dan sistem dalam kita melaksanakan amanat Konstitusi Proklamasi 1945 khususnya dalam bidang ekonomi. Kalau memang jalan, faham dan sistem yang kita pilih on the track maka seharusnya pemerataan kesejahteraan dan keadilan ini makin mendekat. Bukannya makin menjauh dan meredup, menjadikan mayoritas rakyat kehilangan harapan. Problem dan kontradiksi ini harusnya menjadi agenda utama kalau trisakti mau dilaksanakan oleh penguasa baru secara konsekuen dan konsisten.
Makin banyak orang yang dipenjarakan makin meningkat jenis, kuantitas dan kualitas kejahatan di tingkat bawah maupun yang dilakukan elit, korupsi dan kejahatan kerah putih. Secara teori mestinya makin banyak yang masuk penjara makin banyak yang takut  berbuat jahat. Bagaimana menjelaskan realitas demikian? Ini sesuatu yang kompleks untuk dirinci dalam ruang terbatas ini. Secara sederhana kita bisa simpulkan telah terjadi kerusakan dalam sistem nilai karena ada yang keliru dalam pendidikan, termasuk pendidikan agama. Kesalahan dalam sistem hukum dan penegakannya, sistem budaya dan lain-lain, sehingga outputnya menghasilkan manusia-manusia yang kehilangan kemanusiaannya.
Di negara yang relatif sehat sistemnya, Â ekonomi tumbuh dari hasil kerja keras rakyatnya secara produktif karena pertanian, pariwisata, industri dan lain-lain tumbuh sehat. Misalnya di Korea, Jepang, Cina, Malaysia dan Thailand dan lain-lain. Mayoritas rakyatnya makan dari keringat mereka secara benar.
Mereka tumbuh, memakai istilah almarhum Prof Dr Hartojo Wignyowijoto, dari ekonomi front office. Namun di Indonesia, diduga sebagian rakyatnya hidup dari korupsi dan  perputaran uang korupsi, terutama saat pilkada, pileg, pilpres, pilkades, di mana banyak uang gelap berputar.
Sebagian hidup dari percikan jual beli narkoba, sebagian dari jual beli manusia, prostitusi dan TKW, sebagian dari uang penyelundupan, perjudian, preman dan lainnya, yang oleh Prof Hartojo Wignyowijoto disebut senagai ekonomi back office.
Kita tidak tahu seberapa besar ekonomi back office ini menopang ekonomi Indonesia. Baru-baru ini sebuah lembaga menyiarkan uang gelap berputar di Indonesia terus meningkat. Tahun 2014 saha sekitar Rp250 triliun. Ini menjelaskan bgmana orang yang tidak kerja keras tapi bisa hidup makmur. Yang jelas makin besar sumbangan ekonomi back office berarti makin besar kerusakan moral dan kerusakan sistem dalam masyarakat Indonesia.
Apa yang kami beberkan di atas, merupakan indikasi kegagalan sistem demokrasi liberal, yang sebenarnya kita sudah belajar dari kegagalan demokrasi liberal tahun 1950 sampai dengan 1959 berdasarkan UUD 1950. Sebuah sistem yang telah dikritik secara pedas oleh Soekarno dengan kalimatnya yang terkenal; “Berilah bangsa ini satu demokrasi yang tidak jegal-jegalan. Sebab demokrasi yang membiarkan seribu macam tujuan bagi golongan atau perorangan akan menenggelamkan kepentingan nasional dalam arus malapetaka,” ujar Presiden Soekarno dalam pidatonya tahun 1957.
Kritiknya makin pedas terhadap demokrasi liberal, yang dinilainya sebagai demokrasi dengan politik rongrong-merongrong, rebut-merebut, jegal-menjegal dan fitnah-memfitnah.
Sekitar tahun 1953 setelah berhenti dari KSAD (pasca 17 Oktober 1952) Nasution menulis kritik terhadap  demokrasi liberal. “Bahwa tangan yang harus memegang aparatur itu, yakni kekuasaan politik, adalah seharusnya teguh. Akan tetapi umum mengetahui bahwa pemerintah kita adalah labil, karena belum pernah diadakan pemilihan umum dan adanya berpuluh puluh partai politik. Tiap pemerintah harus berkoalisi dan disusun dari selusin partai, sehingga kelahirannya berdasarkan kompromis”.
“Maka itu tak mungkin ada gezag (wibawa) tak mungkin ada kekuasaan yg tegas dan  teguh, karena tiada satu partaipun yang dapat memerintah”.
“Dan untuk memperbaiki aparatur negara perlu adanya kekuasaan politik yang tegas. Yang menjadi syarat mutlak usaha usaha stabilisasi keamanan negara”.
“Rakyat mengharapkan pimpinan dari Dwitunggal Soekarno Hatta yang disegani, dijunjung dan dihormati oleh seantero, akan tetapi Dwitunggal itu tak berdaya karena menurut UUDS 50 mereka cuma perlambang dan bukan penanggungjawab pemerintahan”.
“Kekuasaan memerintah oleh UUDS 50 diserahkan ke partai-partai yang berbentuk sistem parlementer”.
Dilansir dari buku “Memenuhi Panggilan Tugas”, jilid 3 hal 245.
Dalam halaman 252 Nasution menulis; ” Sistem pemilu dan konstitusi kita tahun 50-an merintangi slagordening (pengikatan persatuan semua kekuatan). Sistem ini selalu meluangkan kesempatan bagi masing-masing kelompok bahkan masing masing tokoh untuk kepentingan sempit. Tidak mungkin tertegak suatu grandstrategi, suatu strategi besar dengan kepemimpinan yang bernilai kenegarawanan”.
Oleh M. Hatta Taliwang, Direktur Institut Soekarno Hatta (ISH)