Artikel ini ditulis oleh Arief Gunawan, Pemerhati Sejarah.
Selama 11 bulan, Agustus 2015-Juli 2016, di kabinet Jokowi pada dasarnya Rizal Ramli banyak membantu dan menyelamatkan bekas walikota Solo itu dari tekanan ekonomi dan politik.
Karena Rizal Ramli percaya program Trisakti dan Nawacita benar-benar akan dijalankan. Itulah sebabnya di antara para menteri Rizal Ramli paling banyak melakukan terobosan dan memberikan banyak ‘legacy’.
Namun keberadaan Rizal Ramli di kabinet ternyata membuat tidak nyaman oligarki, para anasir korup, pengpeng (pejabat merangkap pengusaha), para taipan, dan partai politik yang melanggengkan praktek demokrasi kriminal.
Hal inilah yang menjelaskan mengapa Rizal Ramli akhirnya di-‘reshuffle’ dari kabinet pada bulan Juli 2016.
Pembelaan Rizal Ramli kepada nelayan di Pantai Utara Jakarta yang menjadi korban reklamasi dan warga Kampung Akuarium yang menjadi korban penggusuran Ahok kembali menjadi salah satu titik perhatian rakyat.
Pembelaannya tersebut mendapatkan perlawanan dari Ahok dan oligark, terutama para taipan yang paling berkepentingan dengan proyek tersebut.
Penghentian izin reklamasi dilakukan Rizal Ramli berdasarkan pertimbangan yang solid dan faktual.
Proyek reklamasi telah menguruk kawasan Pantai Utara Jakarta untuk dijadikan 17 pulau. Yakni Pulau A, B, C, D, E, F, G, H, I, J, K, L, M, N, O, P, dan Q.
Pelaksanaannya melanggar berbagai peraturan, antara lain tidak didasari oleh kajian lingkungan hidup, sehingga merugikan kehidupan nelayan terutama dalam mencari nafkah, merusak ekosistem, hingga berisiko pada jaringan kabel bawah laut. Titik persoalan terberat terutama terjadi di Pulau G.
Proyek yang melibatkan sejumlah taipan yang merupakan pemilik perusahaan-perusahaan pengembang ini memposisikan Rizal Ramli berhadapan dengan kekuatan uang yang berpengaruh sangat kuat terhadap kekuasaan yang sedang berlangsung.
Reklamasi sebenarnya merupakan hal yang biasa dan lazim dilakukan di sejumlah negara. Namun Rizal Ramli berprinsip reklamasi harus sama-sama menguntungkan pihak yang terkait di dalamnya, yaitu pemerintah, masyarakat, dan pihak swasta.
Ia menolak swasta bertindak semena-mena, mendikte, dan menabrak berbagai aturan tentang reklamasi yang seharusnya dipatuhi.
Sebelum pemerintah memutuskan membatalkan reklamasi Pulau G, Rizal Ramli dalam kapasitasnya sebagai Menko Maritim dan Sumber Daya telah menggelar rapat-rapat koordinasi bersama dengan kementerian yang terkait dengan reklamasi.
Di antaranya dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, Menteri Perhubungan Ignasius Djonan, dan Gubernur DKI Jakarta Ahok (Basuki Tjahaja Purnama).
Kepada Rizal Ramli semula Ahok mengaku senang perkara reklamasi Pulau G diambil alih oleh pemerintah pusat. Ahok mengaku Rizal Ramli lebih mengerti dan berpengalaman.
‘’Pak Ahok mengatakan dia ‘’gila’’, tapi saya lebih ‘’gila’’ daripada Ahok. Jadi, apapun keputusan dari Komite Gabungan, akan kami setujui,’’ kata Rizal Ramli mengutip perkataan Ahok.
Komite Gabungan tersebut terdiri dari para pejabat di lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Perhubungan serta Pemda DKI Jakarta.
Komite inilah yang ditugaskan membahas persoalan reklamasi dan menyampaikan keputusan atas proyek tersebut.
Setelah pemerintah yang terdiri dari Komite Gabungan dan Rizal Ramli sebagai Menko Maritim dan Sumber Daya meninjau lokasi pulau reklamasi, yakni Pulau C, D, dan G.
Proyek reklamasi di Pulau G dihentikan, karena terjadi pelanggaran dalam pembangunannya, dengan kategori berat. Sedangkan dalam kasus Pulau C dan D, hanya terjadi pelanggaran kategori sedang.
‘’Kami tidak mau debat kusir dengan pengembang Pulau G. Saya tanya pengembang: ini mau manut negara atau tidak? Kalau tidak manut kami sikat,’’ tandas Rizal Ramli saat meninjau lokasi.
Direksi Pulau G, C, dan D akhirnya mau membongkar. Namun hanya beberapa waktu setelah proyek reklamasi Pulau G diputuskan untuk dibatalkan, Ahok tidak konsisten dengan ucapannya dan justru menyurati Presiden Jokowi berkaitan dengan keputusan tersebut.
Ahok beralasan surat untuk presiden itu dikirim hanya untuk memastikan, apakah Keppres Reklamasi kalah oleh Peraturan Menteri (Permen) dari meteri yang mencoba menghentikannya. Ia berpegang pada Keppres Nomor 52 Tahun 1995 dan menganggap penghentian reklamasi harus dihentikan oleh presiden.
Di tengah kontroversi dan banyaknya penolakan dari berbagai elemen masyarakat terhadap proyek reklamasi ini, beberapa media massa asing termasuk media Tiongkok cukup gencar mengiklankan apartemen-apartemen yang sedang dibangun di atas pulau reklamasi tersebut kepada konsumen di luar negeri. Iklan serupa juga muncul di beberapa media dalam negeri.
Masalah reklamasi Pantai Utara Jakarta ini sangat menyita perhatian publik dan media massa. Bahkan dikaitkan dengan isu ‘reshuffle’ kabinet. Di-‘reshuffle’-nya Rizal Ramli dari kabinet bukan hanya diyakini sebagai akibat sikap kritis Rizal Ramli terhadap persoalan reklamasi ini.
Tidak sedikit yang menganggap reklamasi Pantai Utara Jakarta adalah bagian dari proyek raksasa ‘One Belt One Road’ (OBOR) yang dicanangkan pemerintah komunis China sebagai strategi untuk membangkitkan Jalur Sutera atau Jalur Sutera Maritim abad 21 di Asia Tenggara.
OBOR mengintegrasikan pembangunan infrastruktur dan investasi di 70-an negara (ada yang menyebut 152 negara) mencakup Asia, Eropa, Afrika, Timur Tengah, Amerika Serikat, termasuk Indonesia di wilayah Asia Tenggara. Target penyelesaian program ini disebut-sebut dijadwalkan selesai tahun 2049.
Menurut mantan juru bicara Presiden Gus Dur yang juga Koordinator Gerakan Indonesia Bersih (GIB), Adhie Massardi, dapat dipahami kalau publik menganggap penghentian proyek reklamasi yang dilakukan oleh Rizal Ramli dikaitkan sebagai gangguan terhadap proyek OBOR pemerintah komunis China.
“Penghentian reklamasi memunculkan reaksi balik yang besar. Inilah juga yang membuat Rizal Ramli dikeluarkan dari kabinet,” tegas Adhie Massardi.
Detik-detik pencopotan Rizal Ramli dari kabinet berlangsung pada Rabu malam, 26 Juli 2016. Rizal Ramli dipanggil ke Istana Negara setelah sempat menghadiri acara Indonesia Lawyers Club (ILC), TV One, di Hotel Borobudur, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Tema ILC malam itu sangat provokatif, ‘’Rizal Ramli Vs Ahok: Berhakkah Menko Stop Reklamasi?’’.
Rizal Ramli hadir di acara itu hanya sekitar 30 menit dan langsung menjadi narasumber pembuka dengan inti menjelaskan keputusan pemerintah mencabut izin proyek reklamasi. Setelah selesai ia pamit kepada ‘host’ Karni Ilyas dan ‘audience’, karena harus bergegas ke Istana Negara untuk menemui Jokowi.
Rizal Ramli pun meluncur. Saat itu jam menunjukkan waktu sekitar pukul 21. 00 WIB. Tidak ada tanda-tanda bahwa kedatangan Rizal Ramli ke Istana malam itu ternyata untuk ‘’dieksekusi’’ (di-‘reshuffle’).
Meskipun isu reklamasi berkembang cukup panas di masyarakat namun tidak ada rumor atau spekulasi Rizal Ramli akan di-‘reshuffle’. Publik umumnya malah menganggap perjuangan Rizal Ramli membela nasib rakyat Pantai Utara Jakarta ini akan mendapatkan dukungan penuh dari presiden.
Di kalangan wartawan saat itu juga berkembang kabar Rizal Ramli akan digeser ke Lapangan Banteng, menduduki pos sebagai Menko Perekonomian menggantikan Darmin Nasution.
Di salah satu ruangan Istana Jokowi menyampaikan keputusannya dengan didampingki JK yang duduk di bangku belakang. Hadirnya JK ini seakan ingin memastikan ‘reshuffle’ terhadap Rizal Ramli berjalan mulus.
Peristiwa di-‘reshuffle’-nya Rizal Ramli ini akhirnya membenarkan bahwa kekuasaan oligarki, pengpeng, dan kekuasaan uang para pemodal berpengaruh sangat dahsyat di istana. Mereka terganggu dan merasa dihalangi oleh keputusan Rizal Ramli yang menghentikan reklamasi Pantai Utara Jakarta.
Esok paginya, Kamis 27 Juli 2016, sekitar pukul 08.30 WIB, penulis berkunjung ke kediaman Rizal Ramli. Kami sarapan dalam suasana biasa saja. Tak banyak cerita yang disampaikan mengenai kejadian yang berlangsung di istana beberapa jam sebelumnya. Di sela-sela sarapan beberapa kali panggilan masuk ke ponsel Rizal Ramli. Percakapan yang terdengar hanya obrolan ringan yang diselingi gelak tawa.
Tidak nampak darinya raut wajah seperti orang yang baru kehilangan jabatan. Ia duduk di kursi makan bercelana pendek dan kaos, menikmati sarapan dengan santainya.
Rizal Ramli bukan baru pertamakali jadi menteri. Kisah Rizal Ramli setiapkali jadi menteri adalah kisah perjuangan membela rakyat. Sehingga baginya ‘reshuffle’ adalah bagian dari risiko perjuangan dalam membela rakyat.
Bagi Rizal Ramli di dalam atau di luar pemerintahan sama saja, ia tetap lokomotif perubahan. Ketika tokoh pergerakan seperti Rizal Ramli menjadi menteri, maka ia bukan lagi menteri biasa yang bermental pegawai atau pesuruh.
Rizal Ramli menteri pejuang, kisahnya dapat ditelusuri sejak menjadi menteri di era pemerintahan Presiden Gus Dur.
[***]