BUNGA, imbal hasil, atau yield surat utang Indonesia masih memegang record sebagai yang termahal di antara enam negara di ASEAN (ASEAN-6).
Untuk surat utang bertenor 10 tahun, pemerintah Indonesia memberikan yield 7,89%. Sementara pemerintah Filipina hanya 3,5%, Vietnam 3,05%, Malaysia 2,87%, Thailand 1,18%, dan Singapura 0,9%.
Artinya Indonesia adalah negara yang paling royal kepada investor pasar uang. Pertanyaannya, apakah ini wajar? Bila berdasarkan peringkat utang (credit rating), yang mengukur resiko pengembalian utang suatu negara, pemerintah Indonesia bukan yang paling beresiko.
Yang paling beresiko, sehingga diberikan credit rating paling rendah (berdasarkan lembaga Moody’s) adalah Vietnam, di Baa3 –masuk sebagai speculative grade.
Indonesia dan Filipina memiliki peringkat utang yang sama, Baa2 –medium grade. Thailand sedikit di atas, Baa1 –medium grade.
Malaysia diperingkat lebih baik lagi, A3 –upper medium grade, dan Singapura adalah peringkat yang terbaik, Aaa –highest quality.
Mengapa Vietnam sebagai negara yang paling beresiko dalam pengembalian utang dapat memberikan yield surat utang lebih murah dari Indonesia?
Atau kenapa Filipina yang sama resiko kreditnya dengan Indonesia dapat memberikan yield surat utang juga lebih murah Indonesia?
Logikanya, semakin beresiko suatu negara, investor dikompensasi dengan yield semakin mahal. Tapi ini tidak terjadi kepada kasus Indonesia dengan Vietnam atau dengan Filipina.
Ada yang bilang besaran yield ini tergantung kebijakan bank sentral masing-masing negara.
Karena Kementerian Keuangan Indonesia merumuskan besaran kupon (bunga yang pembayarannya diberikan secara periodik dalam 6 bulan atau 1 tahun) dihitung dari suku bunga Bank Indonesia ditambahkan spread tetap.
Baik, coba kita periksa suku bunga acuan bank sentral masing-masing negara ASEAN-6. Ternyata faktanya tidak juga.
Diurutkan dari suku bunga bank sentral yang tertinggi hingga terendah: Vietnam 5%, Indonesia 4,5%, Filipina 2,75%, Malaysia 2,5%, Singapura 1,26%, dan Thailand 0,75%.
Ada 2 negara, Vietnam dan Singapura, yang dapat memberikan yield surat utang yang besarnya di bawah suku bunga bank sentral masing-masing negara.
Lalu mau membandingkan apa lagi? GDP per Kapita? GDP per Kapita Indonesia (USD 4.160) masih di atas Filipina (USD 3.400) dan Vietnam (USD 2.185). Tetapi memang di bawah Thailand (USD 6.600), Malaysia (USD 12.800), dan Singapura.
Bila dibandingkan dengan Vietnam dan Filipina saja, apa wajar negara yang lebih makmur memberikan yield surat utang lebih mahal dari negara yang kurang makmur? Jelas tidak masuk ke dalam logika.
Semua perbandingan, dari credit rating, central bank rate, hingga GDP per Kapita, menunjukkan besar yield surat utang Indonesia tidak wajar di antara negara ASEAN-6.
Seharusnya Indonesia memiliki yield surat utang yang lebih murah dari Vietnam dan setara dengan Filipina. Namun faktanya yield yang diberikan Indonesia lebih mahal 3-4% di atas kedua negara tersebut.
Selisih 1% saja dalam perhitungan bunga surat utang sangatlah besar, bisa rugi puluhan triliun rupiah, dan kelak ditanggung oleh anak cucu Bangsa Indonesia hingga puluhan tahun ke depan.
Menilik besarnya potensi kerugian, wajar kiranya bila orang menjadi bertanya-tanya, apakah terdapat moral hazard di sini?
Apakah ada “main mata” antara Pemerintah dengan para manajer investasi? Apakah ada unsur kick back kepada pengambil kebijakan di pemerintah Indonesia, di balik tingginya yield surat utang? Hanya aparat hukum yang dapat menjawabnya.
Oleh Gede Sandra, Peneliti Pergerakan Kedaulatan Rakyat