Artikel ini ditulis oleh Tamsil Linrung, Anggota DPD RI.
Ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold (PT) tidak hanya menggerogoti demokrasi, tetapi juga mengamputasi amanat konstitusi.
Meski seringkali menjadi polemik, namun segala upaya korektif terhadap ambang batas pencalonan presiden ini tak pernah mempan. Segenap gugatan ditolak, semua langkah hukum dimentahkan, dan seluruh analisa pakar menguap terbawa angin.
Kita tidak mengerti, kekuatan apa di balik aturan ambang batas pencalonan presiden ini. Di belakangnya, konon, oligarki berkelindan dengan sejumlah klan politik, bahu-membahu mempertahankan presidential threshold.
Tujuannya, sebagai siasat meloloskan pasangan capres-cawapres partai politik tertentu, sekaligus mengebiri pasangan kandidat dari parpol lain.
Indonesia bukan milik kelompok tertentu. Indonesia milik kita, dibangun di atas pondasi demokrasi dan hukum. Prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat menggaransi agar proses pengambilan keputusan akomodatif terhadap peran serta masyarakat. Sedangkan hukum menjadi aturan main.
Hukum harus dimaknai sebagai kesatuan hirarkis norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menyatakan, pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.
Bunyi dan maknanya terang, sehingga minim potensi dipersepsikan keliru. Tegasnya, konstitusi membebaskan parpol memilih satu dari dua alternatif, hendak mengusung calon sendiri atau memilih bergabung bersama parpol lainnya.
Tetapi aturan presidential threshold dalam Pasal 222 UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menginterpretasi berbeda. Untuk dapat mengusung calonnya sendiri, Parpol wajib memenuhi kuota minimal 20% dari jumlah kursi di DPR atau 25% suara sah nasional. Kalkulasi suara ini berbasis pada pemilu anggota DPR sebelumnya.
Terlihat jelas, ada pertentangan antara dua pasal di atas. Dan karena konstitusi adalah sumber hukum tertinggi, maka aturan yang bertentangan di bawah harus dipandang inkonstitusional.
Inkonstitusionalitas presidential threshold sekurangnya ada tiga.
Pertama, presidential threshold mengekang kebebasan parpol mengajukan pasangan calon secara mandiri atau bersama, yang oleh UUD 1945, parpol justru diberi keleluasaan.
Kedua, angka 20% jumlah kursi DPR dan 25% terasa ajaib karena muncul secara tiba-tiba. Angka ajaib ini tidak punya cantolan kepada UUD 1945.
Ketiga, jumlah minimal kursi DPR atau suara sah nasiaonal disebut didasarkan pada pemilu sebelumnya.
Ambil contoh Pilpres 2019. Dasar hitung-hitungan kuota partai untuk mengusung pasangan calon presiden berangkat dari hasil Pemilu 2014. Padahal, hasil Pemilu ini telah digunakan untuk pencalonan presiden 2014.
Jadi, satu tiket dipakai untuk dua even berbeda. Lagi pula, bila kalkulasi suara didasarkan pada Pemilu periode sebelumnya, lalu bagaimana jika ada partai baru dalam rentang 5 tahun belakangan?
Bagaimana dengan hak konstitusional mereka mengajukan calon? Jawabannya, hak konstitusional ini harus bertekuk lutut dalam kendali presidential threshold.
DPD selaku lembaga perwakilan rakyat tentu memiliki beban moral untuk ikut andil meluruskan kekeliruan presidential threshold.
Ini sebuah kekeliruan berjamaah yang kemungkinan besar disadari oleh semua jamaahnya. Namun, langkah dan kepentingan politik jangka pendeklah yang mengharuskan sebagian pihak memunggungi fakta, lalu menundukkan hati pada kebatilan.
Saya tak bermaksud mengatakan putusan Mahkamah Konstitusi yang berkali-kali menolak uji materi pasal 222 UU Pemilu adalah batil.
Bila dicermati, putusan penolakan MK diwarnai pertimbangan open legal policy, yang berarti kebijakan mengenai pasal dimaksud merupakan kewenangan pembentuk UU alias DPR.
Selain itu, putusan MK juga disertai dissenting opinion. Pada uji materi pasal 222 UU Pemilu yang diajukan Rhoma Irama, Hakim Suhartoyo dan Saldi Isra berpendapat berbeda. Keduanya menilai ambang batas presiden 20% tidak adil.
Sedangkan dalam putusan uji materi yang diajukan Rizal Ramli, ada empat hakim setuju gugatan pemohon, yakni Suhartoyo, Saldi Isra, Manahan MP Sitompul, dan Enny Nurbaningsih.
Sebagai hukum yang mengikat, yang menjadi acuan tentu saja amar putusan MK, bukan pendapat perseorangan hakim. Namun, situasi di atas kiranya memberi gambaran tersendiri tentang presidential threshold.
Artinya, sangat beralasan DPD memutuskan melawan hegemoni presidential threshold dengan menawarkan gagasan ambang batas 0 persen, sebagaimana amanat konstitusi.
Senapas dengan langkah tersebut, DPD sekaligus mencoba merumuskan rekonstruksi model penguatan sistem presidensiil melalui upaya alternatif pengajuan calon presiden dan wakil presiden non partai atau perseorangan.
Ide itu setidaknya berangkat dari dua pertimbangan. Pertama, sebagai upaya DPD membuka keran seluas-luasnya bagi partisipasi politik anak negeri untuk berkompetisi bagi kemajuan bangsa.
UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu mendefenisikan pemilu sebagai sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.
Melalui pemilu, rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi menyerahkan kedaulatannya kepada lembaga negara.
DPD menjadi salah satu pemegang amanat itu, sehingga menjadi kewajiban DPD menghadirkan sistem pelaksanaan pemilu yang secara konsisten memijak UUD 1945.
Presidential threshold nyata mengebiri peluang putra-putri terbaik bangsa menjadi calon pemimpin negeri. Sebaliknya, calon perseorangan mengusung semangat meluaskan alternatif pilihan rakyat dalam menemukan pemimpinnya.
Memang, yang harus dirumuskan kemudian adalah syarat calon presiden independen. Bobot, kualifikasi, dan prosedurnya harus sebanding dengan syarat calon presiden yang diusung parpol.
Misalnya saja, bila calon presiden partai atau gabungan partai otomatis telah mendapat rekomendasi dan jaminan parpol, maka untuk sebanding dengan syarat ini, calon presiden independen harus melalui fit and proper test.
Kedua, kalau usulan calon non partai dapat kita setujui, maka DPD diharapkan dapat mengajukan calon presidennya sendiri.
Dulu, sebelum amandemen UUD 1945, presiden dan wakil presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. MPR saat itu terdiri atas DPR dan Utusan Daerah serta Utusan Golongan.
Artinya, baik DPR selaku Anggota MPR maupun Anggota MPR dari unsur Utusan Daerah sama-sama memiliki hak mengajukan calon.
DPD RI lahir melalui amandemen ketiga, menggantikan Utusan Daerah. Meski Utusan Daerah tidak persis sama dengan DPD, namun hak untuk menentukan tata kelembagaan di Indonesia seharusnya tidak diamputasi. Termasuk hak mengajukan Capres-Cawapres.
Lagipula, DPD memiliki legitimasi kuat karena dipilih oleh rakyat satu provinsi. Dengan begitu, hak DPD mengajukan calon sendiri adalah rasional.
Kini, semua berpulang pada satu hal, yakni terbukanya kotak Pandora bernama amandemen UUD 1945. Di sanalah semua perjuangan ini bermula.
[***]