‪AWAL bulan ini publik terkaget dan semakin heran dengan rilis baru Pertamina bahwa dalam waktu dekat dengan PT Bumi Sarana Migas (BSM) akan mendirikan komplek energi di Bojonegara, Banten. Proyek ini terdiri dari kegiatan pembangunan terminal LNG dengan Unit Regasifikasi dan membangun PLTGU 1000 sampai 2000 MW. ‬
‪Adapun pembangunan PLTGU ini di luar Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) jangka 2016 sampai dengan 2035, yang telah ditetapkan oleh Menteri ESDM, atas usulan PLN pada medio tahun 2016.‬
‪Begitulah ucapan lengkap Vice President LNG Pertamina Didik Sasongko dengan yakinnya. Padahal kalau kita mau merunut asal-usul awalnya, proyek terminal LNG di Banten ini pun sejak awal sudah sangat kontroversial. ‬
‪Pada tanggal 13 April 2015 lalu, bertempat di kantor pusat Pertamina, telah ditandatangani Head Of Agreement (HOA) antara PT Pertamina (Persero) dengan PT Bumi Sarana Migas (BSM) untuk melanjuti MOU yang pernah dibuat oleh mantan Direktur Pengembangan Investasi dan Manajemen Resiko Pertamina Fuad Afdal pada tanggal 12 mei 2014.‬
‪PT BSM adalah sebuah perusahaan yang tergabung dalam Kalla Group yang dipimpin oleh Solihin Kalla. Perusahaan ini khusus bekerjasama dalam pembangunan terminal penerima gas alam cair (LNG Receiving Terminal) di Bojonegara, Banten. ‬
‪Terminal ini berkapasitas 500 MMSCFD, atau setara dengan 4 juta ton. Kerja sama kedua belah pihak telah dituangkan melalui penandatangan pokok-pokok erjanjian (HoA) Utilisasi Terminal LNG Bojonegara. ‬
‪Penandatangan dilakukan oleh Direktur Energi Baru dan Terbarukan Pertamina Yenni Andayani dan Solihin Kalla selaku Direksi PT Bumi Sarana Migas, yang disaksikan oleh Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto. ‬
‪Menurut Dwi, pembangunan infrastruktur menjadi syarat utama dalam rangka memanfaatkan bahan bakar gas. “Karena jika infrastruktur sudah terpasang maka akan tercipta permintaan,†kata Dwi Soetjipto dalam keterangan tertulis. ‬
‪Dwi mengatakan, pembangunan terminal LNG Bojonegara ini diharapkan akan diikuti dengan pembangunan infrastruktur lainnya. Terutama pembangkit listrik, sebagai kekuatan untuk membangun industri energi gas di wilayah Jawa Bagian Barat. ‬
‪Dalam kesempatan yang sama, Solihin menyatakan siap berkomitmen menggarap proyek terminal LNG. “Mudah-mudahan kami bisa penuhi proyek ini dalam tiga tahun sehingga bisa bersama-sama membangun industri gas dalam negeri,†ujarnya. ‬
‪Proyek pembangunan terminal gas cair ini sendiri telah dimulai melalui tahapan pra-studi kelayakan untuk pembangunan land base. Sebelumnya, kedua belah pihak sudah mengadakan studi bersama mengenai rencana pembangunan “land base receiving terminal LNG” Bojonegara. ‬
‪Dihubungi terpisah, Vice President Corporate Communication Pertamina, Wianda Pusponegoro membenarkan PT Bumi Sarana Migas adalah perusahaan milik Solihin Kalla. ‬
‪Meski Solihin merupakan anak dari Wakil Presiden Jusuf Kalla, Wianda mengatakan, kerjasama ini murni kerjasama bisnis tanpa campur tangan pemerintah. ‬
‪Pertanyaan apakah benar begitu? Bukankah JK dengan Ahmad Faisal dan Arie Soemarno sebelumnya sudah beberapa kali bertemu secara informal dengan mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan di Hotel Dharmawangsa? ‬
‪Bahkan menurut informasi banyak pihak, termasuk beberapa pejabat di bawah direksi Pertamina, menilai bahwa proyek ini sarat dengan dugaan “tekanan politik” dan “faith a compli”. ‬
‪Hal mana pernah merebak ramai dibicarakan dalam media sosial karena mantan Dirut Pertamina Karen Agustiawan tidak merasa nyaman dengan manuver JK pada saat itu dan memilih mengundurkan diri dari posisi Dirut Pertamina. ‬
‪Namun mengapa Dwi Sucipto merasa sebaliknya saat ini, ada apa gerangan? ‬
‪“Kebetulan kalau nggak salah mereka PT. Bumi Sarana Migas itu memiliki lahan di lokasi Bojonegara merupakan bekas lahan PT Golden Key (aset BPPN yang disita dari Edy tanzil). Jadi ini pengembangan bisnis mereka untuk memasok gas ke kawasan tersebut,†jelas Wianda. ‬
‪Meski Wianda mengatakan bahwa sebelum melaksanakan kerjasama tersebut, Pertamina melakukan uji kelayakan terlebih dahulu, namun banyak pihak yang berkeyakinan bahwa Pertamina tidak atau belum melakukan uji kelayakan terhadap BSM terlebih dahulu. ‬
‪Seharusnya untuk menentukan ‘strategic partner’, Pertamina melakukan tender terlebih dahulu sebelum menunjuk PT BSM. Dalam operasional sehari-hari BSM tampak dikomandani langsung oleh Solihin Kalla, namun di belakang Solihin bercokolah nama seperti Ari Sumarno (mantan Managing Director Petral tahun 2004 dan Dirut Pertamina tahun 2007 sampai 5 Febuari 2009, yang juga kakak kandung dari Meneg BUMN Rini Soemarno). Selain itu ada nama Ahmad Faisal (mantan Direktur Pemasaran Pertamina).‬
‪Kedua tokoh inilah sudah sangat piawai soal dimana letak daging, tulang dan tebalnya daki di semua proses bisnis Pertamina. Inilah diduga sebagai otak dari inisiator dari kerjasama tersebut. Karena tanpa kerjasama dengan Pertamina, PT BSM bukanlah perusahaan apa-apa, baru saja didirikan pada tahun 2014 dengan modal Rp40 miliar tercatat dalam akte keputusan rapat 03 tanggal 15 juli 2014 oleh Notaris M. Natsir Taif SH di Kabupaten Maros Sulawesi Selatan. ‬
‪Itulah sebabnya Pertamina dianggap vital dan sebagai penentu untuk diajak kerjasama, sebelum mengundang partner Jepang seperti Tokyo Gas dan Mitsui (yang juga konco lama Ari Sumarno seperti yang disuarakan beberapa pengusaha Jepang di Indonesia). ‬
‪Merebaknya info sangat menarik beberapa waktu yang lalu, Komisaris Utama PT Nusantara Gas Service yang merupakan operator yang ditunjuk oleh PT BSM ( PT PMA dengan Izin Prinsip Penanaman Modal nmr 1740/1/IP/PMA/2014), Ari Soemarno sangat gundah, pasalnya sampai dengan waktu yang ditargetkan, yakni bulan Juni 2016, proyek terminal gas di Bojonegara senilai US$700 juta ini “belum juga bisa dieksekusi” atau dalam bahasa proyeknya belum bisa dilakukan ” FID (Final Investment Decision)”. ‬
‪Pertamina sebagai pihak yang sangat penting dalam mata rantai bisnis terminal LNG ini, masih bertahan belum mau menandatangani TUA (Terminal Usage Agreement). Dapatlah dipahami keengganan Pertamina ini tentunya sangat beralasan, karena Pertamina belum punya kepastian sumber pasokan LNG-nya, sekaligus juga belum punya siapa pembeli gas hasil regasifikasi tersebut sebagai dasar penentuan layak tidaknya investasi ini dilakukan. ‬
‪Pasokan LNG Pertamina yang diharapkan dari negara Amerika Serikat hanyalah sekitar 1,5 juta ton per tahun, itupun sebagian sudah dijual ke trader internasional, yaitu Shell dan Total. Oleh karena itu, Pertamina masih harus mencari sumber pasokan LNG agar bisa mencapai 3,75-4 juta ton per tahun atau 500 MMSCFD. ‬
‪Pasokan domestik seperti dari LNG Tangguh ternyata lebih diutamakan diberikan langsung kepada PLN, sehingga Pertamina “gigit jari ” tidak mendapatkan pasokan LNG setetespun dari lapangan Tangguh.‬
‪Hal inilah menambah Pertamina semakin enggan untuk menandatangani TUA. Dari sisi pembeli gas, PLN yang diharapkan sebagai pembeli gas hasil regasifikasi juga tidak mau membeli gas dari PT BSM ini. PLN lebih suka membangun FSRU guna memenuhi kebutuhan mereka di Muara Karang, Muara Tawar, dan Tanjung Priok. ‬
‪Pembeli gas lain seperti industri di Jawa Barat juga tidak tergarap dengan baik oleh Pertamina, karena beberapa faktor yang memang tidak mendukung penjualan gas hasil regasifikasi PT BSM. Misalnya masih adanya kapasitas lebih dari FSRU Jawa Barat yang bisa dipasok ke Jawa Barat, persaingan pembangunan pipa dengan PGN dan para trader gas, serta adanya pasokan gas dari lapangan marginal hulu di Jawa Barat. ‬
‪Dua sisi masalah dalam rantai bisnis (pasokan LNG dan permintaan gas) inilah yang mungkin membuat Pertamina belum bisa menandatangani TUA dengan PT BSM. Infonya berkali-kali rapat para petinggi Pertamina di Tokyo untuk finalisasi dokumen bersama para partner (Tokyo Gas, Mitsui, BSM, JBIC, dan para pihak lain) gagal untuk mencapai kesepakatan. ‬
‪Pejabat sekelas Direktur dan Senior VP Pertamina-pun sudah berkali-kali kena “semprot” Ari Soemarno, yang selalu hadir dalam rapat bersama Solihin Kalla, karena tertundanya proyek ini. Adapun alasan lain, mengapa Pertamina enggan untuk menandatangani TUA adalah bahwa Pertamina hanya akan diberi jatah saham hanya 10% dalam perusahaan ‘joint venture’ yang akan dibentuk untuk menjalankan terminal LNG ini. ‬
‪Sementara di lain pihak, 100% beban pasokan dan beban off-take di sisi permintaan, semuanya dibebankan kepada Pertamina. Atau dengan kata lain, Pertamina menjamin 100% pembayaran utang ke Lender senilai sekitar US$ 600 juta, karena TUA itulah yang dijaminkan kepada Lender agar dana pinjaman bisa cair. ‬
‪Tentu hal ini sangat merugikan Pertamina. Sebaliknya, proyek ini sangat menguntungkan PT BSM, Tokyo Gas, dan Mitsui. Akibat situasi tak menentu atas proyek terminal LNG ini selanjutnya mendorong Menteri BUMN untuk turun tangan. Direktur Utama PLN kena semprot , sehingga PLN diperintahkan utk membeli gas hasil regasifikasi BSM. ‬
‪Hasilnya, PLN secara mengejutkan telah manyatakan sanggup membeli semua gas sebesar 500 MMSCFD. Belakangan diketahui bahwa PLN berencana membangun kompleks pembangkit listrik terpadu PLTGU di Banten dengan kapasitas 2.000 MW, yang sampai saat ini belum masuk dalam RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) mereka, artinya bahwa pembangunan kompleks pembangkit ini belum pernah dikonsultasikan dengan pihak kementerian ESDM. ‬
‪Secara teoritis PLTGU dengan kapasitas 2.000 MW juga belum dapat menyerap seluruh gas dengan kapasitas 500 MMSCFD. Katakanlah kapasitas PLTG nya adalah 1.600 MW, maka gas yg diperlukan barulah 200 MMSCFD (follower) dan 300 MMSCFD (base load). Sebenarnya apakah yg terjadi dalam pengembangan terminal penerima LNG di Bojonegara ini? Sangat menarik dicermati. Kajian yang andal belum pernah dilakukan, sehingga penentuan kapasitas hanyalah berdasarkan ambisi perorangan atau group di pihak BSM. ‬
‪Bukan hanya 500 MMSCFD yang ingin mereka bangun namun bahkan mencapai 1.000 MMSCFD, seperti terlihat dalam beberapa penjelasan BSM kepada potensial partner mereka, tentulah sah-sah saja membangun infrastruktur gas yang besar, dan tentunya akan berguna untuk kepentingan bangsa. ‬
‪Namun haruslah diingat , ini semua menjadi tidak sah, kalau tujuannya hanya untuk menguntungkan pihak tertentu saja, apalagi dengan memperalat dua BUMN terbesar di tanah air, Pertamina dan PLN. Sudah semestinya Pertamina dan atau PLN lah yg menjadi pemegang saham mayoritas dalam perusahaan “joint venture” yang hendak disiapkan ini, bukanlah PT BSM. ‬
‪Pantasnya BSM sebagai pemilik tanah seharusnya cukup diberi saham senilai tanah yang akan dipakai. Tentunya 10-15% saham sudah sangat memadai. Melihat potensi kerugian yang akan dialami oleh Pertamina dan PLN dalam rencana bisnis ini.‬
‪Dan seharusnya semua penegak hukum, khususnya KPK dengan segala kewenangannya bisa masuk segera untuk melakukan tindakan pencegahan, yaitu meminta Direksi Pertamina dengan tim tehnisnya memaparkan semua kajian atas FS yang dibuat oleh PT BSM apakah sudah mengikuti kaidah proses bisnis yang wajar dilakukan oleh Pertamina selama ini dan sejauh mana analisa resiko bisnis yang telah dibuat itu sudah mengkaji semua parameter resikonya bagi Pertamina. ‬
‪Bilamana penegak hukum abai terhadap adanya informasi potensi kerugian yang akan dialami oleh Pertamina dan PLN terkait rencana bisnis ini tetap akan dilanjutkan oleh Direksi Pertamina dengan pertimbangan seolah olah dengan berbagai cara dibuat proyek ini menjadi sangat penting dan harus dieksekusi segara dan dikemudian hari timbul masalah yang berakibat membuat keuangan Pertamina merugi, maka tidaklah salah apabila publik akan memberikan stigma kerugian yang dialami oleh Pertamina diduga ada peran serta penegak hukum yang abai terhadap informasi ini. ‬
‪Sehingga Direksi Pertamina jangan cepat berbangga hati terhadap rilis bahwa Pertamina pada tahun ini menempati posisi kedua di dunia di antara perusahaan oil & gas dalam kemampuan memberi laba perusahaan sebesar USD 1, 8 miliar dibawah Exxon Mobil. ‬
‪Akan tetapi kalau model sistem investasi seperti ini tetap dilakukan, termasuk dugaan mark up pembelian kapal oleh Pertamina Trans Kontinental, tender yang kurang transparan di ISC yang menghasilkan upaya suplai minyak ” ZaTipu ” pada medio September 2016, dan pembelian saham beberapa blok Migas di luar negeri yang kemahalan, yang dilakukan dengan dugaan akal-akalan (semua akan saya bedah pada tulisan mendatang). ‬
‪Jika demikian halnya dimana kalau semua proses bisnis dilakukan dengan transparan berdasarkan kajian yang komprenhensif dan sangat mempertimbangkan faktor resiko usaha yang benar , maka bisa jadi tidak tertutup kemungkinan bahwa Pertamina sejatinya sudah sejak lama bisa menempati urutan teratas perusahan migas didunia. ‬
‪Seharusnya Pertamina juga mempertimbangkan beberapa hal terkait rencana proyek ini , khususnya di Jawa Barat dan di Banten tidak hanya PT BSM saja yang rencananya memiliki fasilitas storage LNG, ada PT NEPI (berpatner dengan Vitol) akan membangun terminal penerima LPG di daerah pelabuhan Serang Banten, dan sesuai rencana pasokan yang juga telah beberapa kali mendapatkan alokasi LNG ada juga PT. Dian Kemala Energy yang akan memasok ke kawasan industri di Cilegon atau Banten dan ke PLN. ‬
‪Di samping itu fasilitas FSRU yang sejak lebih kurang 5 tahun lalu beroperasi dgn kapasitas sekitar 500 MMSCFD atau 4 juta Ton LNG, dimana sampai saat ini belum pernah utilisasi rate per tahunnya mencapai 70%, bahkan hanya bercokol di 60-65% kapasitasnya , masih ada ruang 35% yang belum bisa diserap. Belum lagi kapasitas FSRU PGN Lampung yang belum sampai 40% tergunakan, yang juga menyalurkan gas ke Jawa Barat. ‬
‪Dengan kata lain apakah bisa dengan serta merta menyulap membangun industri dan listrik berkapasitas 500 MMSCFD dalam tempo 3-4 tahun lagi kedepan ?. Jadi intinya janganlah menimpakan kerugian kepada Pertamina di kemudian hari karena akibat salah pengambilan keputusan dan kenyataan “throughput” atau penyerapan dan pengambilannya jauh lebih rendah dari target utilisasi yang dibebankan. Artinya tidak serta merta seperti yang telah disampaikan Dirut Pertamina Dwi Soetjipto yang mengatakan bahwa kalau sudah dibangun infrastruktur nanti industri akan mendekat, “ibarat semut mengerumuni gula”. ‬
‪Lihatlah contoh Pipa Arun-Belawan, apakah semutnya datang di sepanjang pipa, ternyata tidak, itulah perlunya dilakukan kajian Pre-FS dan FS. Atau bisa jadi proyek PT BSM ini jangan jangan tujuan besarnya hanyalah untuk “mengamankan penyaluran gas dari LNG BSM” sehingga Pertamina sangat getol dan ngebet untuk mengakuisisi PGN, yaaa ? Sehingga nantinya bisa menghalau FSRU PGN Lampung, memindahkan atau menutup FSRU Muara Karang yang notabene sahamnya dimiliki PGN sekitar 35%, atau bisa juga mengalihkan penyaluran gas yang biasanya dari Sumatera bagian Selatan ke Jawa bagian Barat untuk dialihkan ke wilayah lain? Kalaulah seperti itu benar tujuannya malah akan menambah potensi kerugian yang lebih besar baik untuk Pertamina maupun untuk skala nasional. ‬
‪Oleh karena itu rencana yang sangat getol diusung oleh Rini Soemarno soal merger PGN-Pertagas atau akuisisi PGN oleh Pertamina perlu dikaji oleh semua pihak untuk dapat diketahui motifnya, apakah benar untuk kepentingan Nasional atau hanya kepentingan kelompok tertentu. ‬
‪Oleh Pengamat Energi dari CERI, Yusri Usman‬