“BARANG siapa yang menghendaki kemerdekaan buat umum, maka ia harus sedia dan ikhlas untuk menderita kehilangan kemerdekaan diri-(nya) sendiri.”
Dari Penjara ke Penjara, Tan Malaka
Kalimat tersebut tampak jujur yang teramat dalam dari penulisnya, Tan Malaka. Betapa tidak, pria yang memiliki nama Ibrahim itu rela hidup dalam pelarian.
Bukan tanpa alasan. Kondisi untuk merebut revolusi memaksanya untuk terus berjalan dari satu tempat ke tempat lain guna memperjuangkan kemerdekaan sekaligus menghindari penangkapan terhadap dirinya. Siasatnya agar ia bisa terus hidup dan berjuang adalah dengan berpindah pindah dan menggunakan nama berbeda.
Apa yang digaungkan oleh Tan Malaka dianggap berbahaya dan dirinya menjadi incaran.
Alasan itu yang menjadi landasan Tan Malaka selalu hidup sendiri, berpindah-pindah dan memiliki nama berbeda di setiap tempatnya.
Ia menjadi sangat hati-hati bepergian, waspada di setiap kondisi dan itu menjadikannya sangat misterius. Hal penting yang disediakannya adalah kisahnya itu dan juga tulisan-tulisannya yang memiliki nilai tinggi.
Asmara di Jalan Sunyi
Tan Malaka berasal dari Suliki, Sumatera Barat, putra tanah air ini, founding father bangsa ini. Ia merupakan anak dari pasangan Rasad Caniago dan Sinah Simabur. Keluarganya dipandang oleh masyarakat sekitar.
Ada yang menarik dari kisah asmara Tan Malaka. Tan muda sempat jatuh hati kepada Syarifah. Namun kemudian ia dihadapkan pada dua pilihan; pertama, ia menerima gelar adat (Gelar Datuk) dan kedua ia menikah.
Jiwa revolusionernya sudah muncul saat itu. Pilihannya untuk menerima penobatan Gelar Datuk merupakan menjadi salah satu isyarat alam.
Sepeninggal Tan meninggalkan Wanita Idaman, Syarifah akhirnya dipersunting oleh Bupati Cianjur yang telag memiliki dua istri.
Dari berbagai sumber didapat Tan juga sempat kembali jatuh hati. Kali ini ia memiliki hubungan kepada wanita Filipina.
Di Filipina, Tan menggunakan nama Elias Fuentes. Nasib kurang baik juga harus diterima Tan. Hubungannya harus kandas lantaran Tan tertangkap oleh intelijen dan dideportasi ke Luar Filipina.
Tan kemudian pergi ke Tiongkok. Saat itu, Ia menghubungi Alimin dan siap ditugaskan oleh Komintern. Alimin memberi tugas untuk pergi ke Burma. Namun, dalam perjalanan ia kembali ditangkap dan ditahan selama dua bulan. Setelah keluar dari tahanan, Tan pergi ke Amoy Xiamen. Di sana ia mendirikan sekolah bahasa Asing.
Selama di Amoy ini, Tan menggunakan nama Ong Soong Lee. Saat itu, Tan kerap didatangi seorang wanita berinisial AP untuk belajar Bahasa Inggris. Selain itu, Tan juga menjadi tempat curhat nya AP.
Tidak lama, pada 1937 Tan kemudian pergi ke Malaya dan meninggalkan kisahnya bersama wanita berinisial AP itu. Di Malaya, ia memakai nama Hasan Ghazali.
Di tahun 1942 Dan melihat ada kesempatan untuk pulang ke Indonesia. Pada saat itu, ia masih menutup diri dan sangat hati-hati. Baru di tahun 1945 ia membuka diri dan bertemu kawan-kawan lama, salah satunya Ahmad Soebarjo.
Saat berkunjung ke rumah Ahmad Soetardjo inilah Tan bertemu dengan Paramitha, keponakan Ahmad Soebardjo. Hubungan mereka cukup dekat. Namun, lantaran urusan perjuangan lebih menyita waktu Tan, asmara menjadi hal yang dinomorsekiankan.
Tercatat, Paramitha adalah wanita terakhir yang dekat dengan Tan. Setelah itu Ia kembali berjalan bergerilya dan sampai di tahun 1949 di Jawa Timur, Saat ia meregang nyawa di ujung senapan bangsanya sendiri.
Sampai akhir hayatnya Sang Bapak Republik ini tercatat tidak pernah menikah, hidup sendiri dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dan dengan nama yang berbeda.
Harry Poeze ‘Bertemu’ Tan Malaka
Semakin hari, semakin bermunculan tulisan tentang Pak Ibrahim. Sosoknya yang terbilang “misterius”, membuat sulit untuk menguak detail kehidupannya, termasuk dengan tahun lahir dan keluarganya.
Fragmen-fragmen keutuhannya mulai dikembangkan oleh sosok Harry A. Poeze di tahun 70an saat menempuh pendidikan di Belanda. Dalam mata kuliahnya, Harry mendapatkan nama Tan Malaka kerap disebut sebagai penentang kolonialisme Belanda tanpa diketahui riwayat hidupnya seperti apa. Sejak saat itu, ia mulai tertarik dan mendalami sosok Sang Pacar Merah.
Kurang lebih 50 tahun, Poeze mewaqafkan diri untuk mencari tahu siapa Tan Malaka. Pertama kali datang ke Indonesia pada tahun 1980an, Poeze menuliskan keterangan di visa miliknya untuk penelitian Revolusi Indonesia. Sebab, jika nama Tan yang disematkan, kemungkinan besar akan dipersulit atau bahkan dilarang sama sekali untuk datang ke Indonesia.
Nama Tan di era Orde Baru masuk daftar hitam, begitu juga dengan tulisan-tulisan sosok yang pernah tinggal di Bayah selama dua tahun itu.
Sekali lagi, betapa misteriusnya hidup Tan Malaka, sangat sulit untuk bisa mengetahui siapa sebenarnya sang Empu Madilog itu.
Di beberapa tulisan dan sumber diketahui tahun lahirnya berbeda. Namun, sejauh ini, karya telaah dan tulis Poeze lah yang bisa dijadikan rujukan utama untuk menguak siapa Tan. Di nisan yang telah diperbaharui setelah penelitian Poeze, tertulis tahun lahirnya adalah 1894 dan meninggal pada 21 Februari 1949.
Penelitian Poeze menunjukkan bahwa Tan Malaka ditangkap saat bergerilya di Jawa Timur oleh pasukan Batalyon Brawijaya di bawah grup yang dipimpin Soekotjo (pada saat penangkapan Tan Malaka, pangkatnya Letnan Dua) dan dieksekusi pada 21 Februari 1949.
Antara Tan Malaka, Tjokroaminoto, Soekotjo dan Maia Estianti
“Leeeelakiiiii buaya darat, buset, aku tertipu lagi..” adalah penggalan salah satu lagu Ratu berjudul Lelaki Buaya Darat yang sempat naik daun di belantika musik tanah air.
Beberapa tahun yang lalu, di dunia televisi Indonesia mulai bermunculan program musik yang berisikan musisi dan lagu beraliran pop.
Ratu sendiri merupakan nama grup yang digawangi oleh Maia dan Pinkan Mambo yang kemudian digantikan oleh Mulan Kwok dan MeyChan. Saat itu saya tahu namanya sebagai Maia Ahmad yang kemudian menjadi akrab didengar sebagai Maia Estianty setelah dirinya bercerai dengan Pentolan Dewa, Ahmad Dhani yang kini beristri mantan personil Ratu itu sendiri, Mulan Kwok, atau kini dikenal dengan Mulan Jameela.
Sekian tahun setelah masa itu, kekaguman kita kepada bangsa ini semakin besar. Karena kebesarannya, sampai-sampai kita tidak akan tahu begitu saja garis sejarah tanpa membaca sana-sini. Dan itu membuat semakin sadar bahwa saya semakin banyak tidak tahu sejarah dan sekelumit persoalan masa lalu, dan tentunya, semakin banyak pula benang kusut yang menumpuk dengan persoalan politik hari ini.
Tanpa membaca, mungkin kita tidak akan pernah tahu bahwa dulu Ir. Soekarno pernah menikah dengan Oetari, Putri dari HOS Tjokroaminoto, yang kemudian bercerai, dan Koesno itu lanjut merajut kisah dengan sang Ibu Kosnya yang bersuami Pak Sanoesi saat Soekarno dan Oetari tinggal di Bandung, Inggit Garnasih.
Dan tanpa membaca, kita mungkin tidak pernah tahu bahwa Maia Estianty Merupakan anak dari cucu HOS Tjokroaminoto, Ir. Harjono Sigit yang menjadi Rektor Institut Teknologi Surabaya dalam kurun waktu 1982-1986.
Dan lagi, tanpa membaca, kita tidak akan pernah tahu kediaman HOS Tjokroaminoto di Surabaya sempat difungsikan sebagai tempat kos oleh Soekotjo, Walikota Surabaya yang pada saat menjadi tentara berpangkat Letnan Dua pernah bertindak menghabisi nyawa Tan Malaka, sosok penting dalam berdirinya Republik ini sekaligus menjadi salah satu sosok yang dikagumi oleh Soekarno.
Sangat menarik jika kita tahu siap dan seperti apa bangsa kita, terlebih sosok Tan Malaka.
The Month of Tan Malaka.
Oleh Muhammad Seftia Permana, Aktivis, Tinggal di Bandung