Artikel ini ditulis oleh Hendrajit, Pemerhati Geopolitik.
Perjalanan dan pengembaraan Ibnu Battuta ke beberapa negara selama 30 tahun sejak 1325, telah menggugah kita untuk mengenali keistimewaan dan keutamaan suatu tempat, para tokoh spiritual maupun intelektualnya, dan keajaiban-keajaiban tempat yang dikunjunginya.
Ketika berada di Mesir, dan sedang bersiap untuk meneruskan perjalanan ke Mekkah, Arab Saudi, Battuta sempat diingatkan oleh seorang sayid, Syarif Abdalla bin Hassani, agar dalam perjalanan menuju Mekkah, agar kembali dulu ke Kairo.
Dan dari sana menuju Suriah, dan baru setelah itu, ke Mekkah. Menempuh jalur utara.
Namun Battuta yang sejatinya orang yang cerdas dan cendekia, usianya yang baru 21 tahun terlalu condong pada penalaran dan belum peka menangkap tanda-tanda.
Beliau memutuskan mengambil jalan pintas jalur selatan, menuju kota Aydhab, kota pelabuhan yang dengan cepat bisa menyebrang dengan kapal, menuju Jeddah, lalu ke kota Hijaz. Dan dari situ dengan cepat menuju Mekkah.
Namun penyesalan tiada guna. Setibanya di Aydhab keluarga dari marga Beja, keluarga yang berkuasa di tempat itu, yang mendiami bukit-bukit di balik kota, sedang memberontak melawan gubernur dari kerajaan Mamluk, yang berkuasa di Mesir.
Alhasil, para pemberontak telah menenggelamkan beberapa buah kapal di pelabuhan. Dalam suasana permusuhan itu, tak ada seorang pun berani memasang layar dengan tujuan Jeddah.
Dengan begitu, Battuta tak punya pilihan kecuali melangkah kembali ke Kairo dan meneruskan perjalanan yang dianjurkan Sharif Abdalla bin Hassani.
Menempuh jalur utara, dengan kembali ke Kairo. Dengan demikian menuju ke Mekkah, dari Suriah melangkah menuju Mekkah.
Ada apa dengan kota Aydhab sehingga seorang syech guru menyarankan Battuta jangan menempuh alur selatan sehingga harus melewati kota Aydhab?
Ada apa dengan geo-spiritual atau karakteristik geografia kota Aydhab. Adakah sesuatu yang yang tidak beres dengan kota Aydhab sebagai living space atau ruang hidup?
Jawabannya ada pada rihlah, atau laporan perjalanan Ibnu Zubayr, seorang pengelana pendahulu Battuta, satu abad sebelumnya.
Zubayr menulis: “Cukup bagimu mengetahui sebuah tempat yang segalanya diimpor, malahan termasuk air, dan ini (karena rasa pahit), sehingga tidak sebanding dengan rasa haus”.
“Kita telah hidup di antara udara yang meluluhkan badan dan air yang mengubah perut menjadi berselera makan (maksudnya beliau, air yang rasa payau dan pahit itu, bikin rasa haus hilang, dan malah jadi lapar ingin makan). Payaunya air, dan panasnya udara,” sambung Zubayr.
Iklim yang panas dan lingkungan yang tandus, itulah pesan yang mau disampaikan Zubayr. Namun ketika saya menyitir tulisan Zubayr ini, saya justru tersengat dengan kalimat pembukanya: “Cukup bagimu mengetahui sebuah tempat yang segalanya diimpor.”
Segalanya impor, menandakan bukan saja ketergantungan ekonomi pada asing, melainkan juga menyebabkan macetnya peradaban.
Berarti kota Aydhab mengalami krisis kebudayaan dan spiritual. Sehingga sebagai living space atau ruang hidup, mengandung energi negatif.
Namun secara rasional bukannya tak bisa dijelaskan. Sebuah negara yang apa apa impor: berarti tak ada produksi, tak ada produksi berarti miskin ide dan kreativitas.
Tak ada ide dan kreativitas, sebuah bangsa miskin prakarsa dan daya upaya.
[***]