Artikel ini ditulis oleh ekonom, Didik J. Rachbini.
Enny panggilan akrab Enny Sri Hartati memang mengukuhkan karirnya sebagai ekonom sejak muda.
Asal muasal semangatnya menti karir dalam bidang ekonomi tersebut bermula
sejak masa mahasiswa, yang menjadi redaksi majalah Eden, majalah mahasiswa kampus Universitas Diponegoro.
Melalui majalah mahasiswa Eden ini, Enny mengenal INDEF dan setelah lulus menceburkan diri sebagai peneliti INDEF, menjadi direktur selama hampir satu dekade dan kemudian menjadi peneliti senior.
Hampir seluruh karirnya memang diniatkan untuk menjadi ekonomi, yang kritis di dalam wadah lembaga pemikir INDEF.
Memang pada saat yang sama Enny menjadi dosen tetap di Universitas Trisakti. Tetapi kegiatan mengajarnya dihentikan demi untuk mengembangkan diri di INDEF bersama rekan-rekannya, sekaligus membangun INDEF itu sendiri menjadi lebih besar.
Pada akhir 1990-an ketika INDEF baru berdiri, Enny mengidolakan Faisal Basri, ekonom pendiri Indef yang sudah dikenal luas sebagai dosen UI dan sebagai ekonom nasional.
Dari Semarang Enny datang ke Jakarta untuk menemui Faisal Basri, sekaligus melakukan wawancara untuk majalahnya. INDEF baru berumur 2 tahun ketika itu dan pindah kantor dari Jalan Kartanegara, yang elit, ke jalan Wijayakarta, lokasi suatu perumahan di sekitar Jalan Tendean.
Di kantor inilah Enny terus menerus berhubungan dengan INDEF, menekuni riset-riset bidang ekonomi, dan lambat laun dikenal secara nasional sebagai ekonom nasional karena banyak menyampaikan pemikirannya di ruang publik.
Sebagai ekonom, Enny menuliskan
pemikirannya di berbagai media. Dan sebagai ekonom nasional, Enny dipilih oleh harian Kompas sebagai ekonom yang rutin menuliskan analisa-analisa tentang perkembangan ekonomi terkini.
Hanya beberapa ekonom saja yang dipilih harian ini untuk menjadi kolumnis dan analis tetapnya di halaman depan. Hal itu merupakan penghargaan yang tinggi dan pengakuan terhadap kepakaran Enny.
Regenerasi INDEF sempat terhambat dari generasi pertama ke generasi berikutnya. Masalah hambatan regenerasi ini selalu terjadi di lembaga think tank bukan pemerintah.
Sudah belasan atau bahkan puluhan lembaga think tank yang tutup tidak melakukan aktivitasnya karena gagal dalam menjalankan regenerasi.
Tetapi INDEF terus berkembang semakin maju karena peranan Enny, yang memimpin INDEF selama satu dekade.
Enny adalah transmisi regenerasi di Indef sampai INDEF sendiri berkembang sampai seperti sekarang ini.
Puluhan ekonom bergabung di INDEF melakukan kegiatan riset dan akademik, sembari memainkan peranan kritis terhadap kebijakan-kebijakan ekonomi.
Banyak Enny-Enny yang lain akan menggantikan peranannya, yang datang dari generasi di bawahnya.
Tidak hanya keluarganya dan keluarga besar INDEF yang kehilangan, tetapi juga para ekonom, wartawan dan kerabat akademis merasa sangat kehilangan atas kepergian ekonom Enny Sri Hartati.
Sebenarnya, Enny terlalu muda untuk pergi, tetapi takdir dan ketentuan Allah SWT tetap berlaku, tidak dapat dihentikan.
Bagi kami, proses dan langkah kepergian itu terjadi begitu cepat. Semua tidak menduga karena 2-3 hari sebelumnya Enny masih semangat menyampaikan pandangan dan pemikirannya di media massa, media daring dan berbagai forum lainnya.
Dua hari lalu, rabu 30 Juni 2021 Enny dibawa ke rumah sakit dengan saturasi sangat rendah 70, Ibu Hendri dkk berkeliling mencari di Jakarta penuh. Akhirnya bisa mendapatkan tempat di Rumah Sakit Islam Pondok Kopi Jakarta.
Tetapi oksigen tidak ada dan harus mencari di tempat lain dan akhirnya didapat dari Saleh Husin, mantan
Menperin. Dengan oksigen kuat dari terapi Dr. Slamet Budiarto, akhirnya naik menjadi 92.
Hari Kamis 1 Juni 2021 dini hari, sekitar jam 01.41 malam, Enny berkomunikasi dengan rekan-rekannya di INDEF dan sempai mengirim pesan kepada Faisal Basri mengabarkan kondisinya drop jatuh ke saturasi 77.
Masa kritis belum berhasil dilewati, akhirnya Enny pergi karena takdir Allah SWT.
[***]