Artikel ini ditulis oleh Herdi Sahrasad, aktivis senior dan dosen Sekolah Pasca Sarjana Universitas Paramadina.
Bang saya, Daniel Dhakidae (DD) adalah aktivis Forum Demokrasi (Fordem) pimpinan KH Abdurrahman Wahid yang konsisten atau persisten mengkritik feodalisme, bapakisme dan otoriterianisme (KKN) rezim Orde Baru Pak Harto.
Kami biasa berkumpul di Fordem-nya Gus Dur pada masa-masa despotisme Orba begitu kuatnya. Gus Dur dan DD serta kami biasa ngobrol dan guyon sembari menyindir atau meledek Orba yang ganjil dan penuh korup itu di kantor Marsillam Simanjuntak Gondangdia Lama Jakarta.
Selain DD, kami biasanya berdialog dan ngobrol di Fordem itu bersama Mas Bondan Gunawan, Rahman Tolleng, Marsillam Simanjuntak, Rocky Gerung, Ulil Abshar Abdalla, Chotibul Umam Wiranu (Mantan Ketum GP Ansor) dan lain-lain.
DD adalah seorang scholar, social scientist, dan inteligensia yang kaya pengalaman. Ia sebagai aktivis pergerakan dan sebagai peneliti, penulis, penerjemah yang sangat handal.
Pemikirannya sangat tajam, apalagi jika berbicara soal Orde Baru Soeharto dan segenap tetek bengek maupun perniknya.
Berpulangnya Bang DD, mantan Kepala Litbang Kompas dan Pemimpin Redaksi ”Prisma”, bagi kalangan aktivis publik dan jurnalis sangat mengejutkan. Berita duka meninggalkan duka mendalam.
Bang DD sangat concern dengan demokrasi, kemanusiaan dan banyak sekali kisah dan cerita suka duka yang sudah beliau sampaikan kepada kami selama mengelola ”Prisma ” bertahun-tahun masa Orde Baru.
Pengalamannya sebagai Kepala Litbang Kompas pun sangat menarik karena menjadikan Koran Kompas itu industri pengetahuan.
Bang Daniel makin saya kenal karena sering diajak Bang Hariman Siregar (HS, tokoh Malari 1974) kumpul dalam acara peringatan Malari pada masa Orde Baru Soeharto, maupun Indemo (Indonesia Democracy Monirotor) pasca Reformasi 1998.
Saya tahu persahabatan HS dan DD sudah sangat lama. Bahkan dari sorotan mata DD kepada HS, tersimpan respek, kasih dan rasa eman-nya yang mendalam kepada tokoh Malari itu.
DD juga bilang pada saya, bahwa nyaris tidak ada tokoh aktivis gerakan mahasiwa yang paling keras memprotes Orde Baru dan paling paham soal politik pergerakan selain HS. Dia yang dikenal sangat berani, ‘’nekad’’ dan melintas batas rasionalitas pada masanya.
Pada masa Orde Baru maupun reformasi dua puluh tahun ini, Bang DD sering menjadi mentor atau pembicara dalam forum Humanika dan Gerakan Kebangsaan pimpinan Bursah Zarnubi (mantan Ketua Fraksi PBR di DPR-RI) yang tak lelah menggembleng mahasiswa dan aktivis Kelompok Cipayung Plus.
Dalam perjalanan INDEMO ke Bogor dengan satu bus untuk melayat ke almarhum Komaruddin mantan aktivis ITB, saya ngobrol dan bertanya kepada DD bagaimana ceritanya majalah Prisma memuat tulisan Hersri, Joebar Ayub, SI Puradisastra dan penulis eks Lekra lainnya.
DD menceritakan pada waktu itu rezim Orde Baru memang menekan Prisma agar tidak memberi tempat bagi para penulis eks Lekra/PKI, namun Dewan Redaksi Prisma tetap memperjuangkan hak mereka untuk menulis di majalah ilmiah populer terbitan LP3ES paling terkemuka itu.
Tentu saja Prisma mengalami tekanan dan intimidasi atau bahkan interogasi oleh aparat rezim waktu itu, namun DD bilang mereka tetap teguh memuat tulisan para intelektual eks Lekra itu karena pertimbangan prinsip kualitas dan obyektif serta hak asasi manusia yang harus Prisma tegakkan.
Ini soal prinsip intelektualisme, kebebasan dan HAM yang menjadi perjuangan Prisma sebagai media kaum inteligensia dan aktivis pergerakan.
Majalah Prisma sendiri baru saya kenal dan baca ketika saya menjadi mahasiswa tingkat dua Studi Rusia FS Unpad 1983/1984 dan bergabung ke HMI cabang Bandung yang keras menolak otoriterisme Orba dan asas tunggal Pancasila waktu itu.
Saya sejak remaja tak mengenal Prisma. Sebagai penyair remaja, saya membaca majalah Basis dan Horison sejak SMP/SMA.
Seperti dicatat oleh Manuel Kasiepo, ketika mahasiswa di UGM, DD bergabung dalam kelompok terbatas grup diskusi bersama Ashadi Siregar, Peter Hagul, dan lainnya yang aktif menerbitkan Jurnal Mingguan SENDI. Peter Hagul kemudian menjadi Pemred pertama koran kampus ‘Gelora Mahasiswa’.
Setelah tamat dari Fisipol UGM Yogyakarta, DD bergabung dengan Jurnal Prisma (LP3ES) tahun 1976. Kita semua tahu, di Prisma-lah, sosok DD sebagai intelektual pemikir kritis semakin terbentuk dan sekaligus semakin dikenal luas melalui tulisan-tulisannya di jurnal ini.
Memang, bergabungnya DD ke Prisma/LP3ES membuatnya makin banyak sparing partner untuk diskusi dan mematangkan intelektualismenya.
Saya pertama berjumpa DD di LP3ES kurun 1987/88-an, dan sempat ngobrol sebentar, waktu itu saya wartawan proletar, muda dan anak jalanan.
Saya juga mendengar rencana keberangkatannya studi ke Cornell University, AS. Sampai kemudian saya lama tak jumpa lagi.
Di LP3ES, saya melihat DD ramah dan rendah hati dan dia juga respek pada para seniornya Mas Nono Anwar Makarim, Ismid Hadad, Dawam Rahardjo, Aswab Mahasin, Goenawan Mohamad dan lainnya, yang merupakan keluarga besar LP3ES.
Di sana saya juga berjumpa bang Rustam Ibrahim, Vedi R Hadiz, Fachry Ali, Didik J. Rachbini dan lainnta. DD sendiri hampir seluruh hidupnya “diwakafkan” ke LP3ES dan Prisma.
Didik J Rachbini, Ketua Dewan Pengurus Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) mencatat bahwa DD sangat egaliter dan feodalisme gaya Orde Baru sangat dibencinya sehingga dia menjadi intelektual yang keras terhadap pemerintahan Orde Baru.
Soal feodalisme itu, DD punya pengalaman langsung yang menyakitkan bagaimana dirinya dan para aktivis mahasiswa lainnya ditekan, direpresi rezim Soeharto yang menggabungkan ekonomi terpimpin dan feodalisme terpimpin itu, sebagai bentuk paling sempurna dari kuasa Soeharto pasca jatuhnya Demokrasi Terpimpin era Bung Karno.
Tak heran jika DD sangat marah dan meledak kekecewaannya atas pembredelan majalah Tempo dan seingat saya dia berdemo bersama kami para wartawan muda dan aktivis pada 1994 sebagai protes keras atas otoriterisme Orba Soeharto itu.
Sebagai dosen Universitas Paramadina, saya memakai buku DD Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru (2003) sebagai bahan mengajar. Saya sampaikan hal itu pada DD dan dia senyum serta menyampaikan terimakasihnya.
Mestinya saya yang harus berterimakasih karena bukunya memperkaya mahasiswa wawasan saya. Buku itu sendiri sudah hilang dan saya harus membelinya lagi entah dimana.
Saya juga memakai esai-esainya untuk buku tetralogi saya sebagai editor/penulis, guna mengajar bagi mahasiswa saya di Universitas Paramadina
DD juga menulis buku, Menerjang Badai Kekuasaan (2015).
DD bersama Vedi R. Hadi juga penyunting buku Social Science and Power in Indonesia (2005). DD juga menerjemahkan beberapa buku serius, di antaranya karya Harry J. Benda, Bulan Sabit dan Matahari Terbit: Islam di Indonesia pada Masa Pendudukan Jepang (1980); buku Maurice Duverger, Sosiologi Politik (1985); buku Wright Mills, The Sociological Imagination; dan buku Benedict R.O.G. Anderson, Imagined Communitites (2008).
Bang Daniel Dhakidae telah berbuat banyak bagi bangsa ini dengan dedikasinya sebagai inteligensia, aktivis dan jurnalis. Saya ingin menutup tulisan kecil ini dengan kalimat Bang Hariman Siregar bahwa ”Sahabat kita bung Daniel Dhakidae telah meninggal dunia, hidupnya sudah berakhir, tetapi pemikirannya tetap Hidup’’.
Dalam ungkapan bang DD sendiri, seperti dipetik Agus Tanzil Syahruzah atau Ibong Syahruzah, cucu pahlawan nasional H. Agus Salim,’’,Vita brevis, Dignitas longa, “Hidup manusia pendek, tapi harkatnya melampaui umur”.
[***]