Artikel ini ditulis oleh Herdi Sahrasad, Dosen di Sekolah Pascasarjana Universitas Paramadina Jakarta.
ITHACA, New York, musim gugur 1994. Suatu ketika, Prof. Benedict Richard O’Gorman Anderson atau Pak Ben Anderson mengajak kami (Herdi Sahrasad, Simon Saefudin dan Luthfi Yazid) menyusuri pagi yang berwajah merah-biru-hijau-ungu-putih-bening di Ithaca.
Sambil ngobrol soal aksi/gerakan para “gangster” (intelektual dan aktivis Indonesia) yang bersikap kritis dan pro-demokrasi, menolak/emoh otoritarianisme-praetorianisme.
Sungguh, suasana hangat dan cerah subuh itu membangunkan ku, Oktober 1994, dan membuat saya betah jalan-jalan di pagi hari.
Tulisan ini saya goreskan berdasarkan apa yang masih kuingat dari kenangan kami dengan Indonesianis Prof. Ben Anderson di Cornell 1994.
Dengan harapan bisa memberi spirit dan makna pada masyarakat Gusdurian, komunitas Nurcholish Madjid Society (NCMS) dan anak-anak bangsa di negeri kita yang underdog, kurang beruntung dan marginal di era pandemi corona ini.
Wow, daun-daun warna merah kuning jingga dalam kilau matahari berguguran dan cahaya matari merengkuh hutan pohon Mapel di sekitar Universitas Cornell yang didirikan oleh Ezra Cornell ldua-tiga abad lalu itu.
Ada sebuah sungai berbatuan, tajam melingkar, di lingkungan kampus Cornell, dimana, menurut cerita Pak Ben, sejumlah mahasiswa konon memilih bunuh diri terjun bebas di sana.
Kenapa Pak Ben? “Yah karena gagal ujian masuk atau gagal jadi sarjana,” ujarnya. “Saya kalau ke sini sendiri merinding Pak Ben,” kataku. “Apalagi kalau senja senyap atau mahgrib, menakutkan juga,” imbuh Simon.
Aneh? Ganjil? Maybe. Sungai itu punya misteri, cerita “muram & miris” di tengah hening pagi itu. Bisa merintih dan ngeri ngeri sedap kita kalau sendirian menatap tajam ke dalamnya, dari sisi tepian yang sunyi.
Lantas, karena pengin tahu Ithaca, dengan mobilnya yang “gayeng” dan cukup terawat, Prof Benedict Richard O’Gorman Anderson atau Ben Anderson membawa kami keliling kota kesayangannya itu.
Sesekali tancap gas kenceng. Sembari satu tangan memegang setir, jari-jemari Pak Ben menunjukkan tempat-tempat yang bernilai, bercorak lokal atau bersejarah di kota mungil berpenduduk sekitar 30 ribu orang itu. “Indah tenan ya, Ithaca,” kata Simon.
“Di sini nyaman, nggak ada Saritem,” selorohku. Pak Ben tergelak dan terkekeh. Dia ingat Saritem di kawasan Bandung dan karikatur Binaria di koran lusuh Pos Kota. Saya lihat dia geli dan semangat, apalagi dia senang berdiskusi dan ngobrol dengan anak-anak muda underdog macam kami yang “badung plus mbeling”, berlogat Jawa medhok Bagelen (Herdi), Cirebon (Simon) dan Malang Jati (Luthfi) dengan tawa ngakak.
Soalnya kita ngomong yang mungkin memang menarik bagi Pak Ben: dari gebyar kirab remaja Mbak Tutut dan dawuh Raja Cendana sampai guyonan Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid), pasemon/sindiran CakNu (Prof. Nurcholish Madjid) sampai “gempuran” Gerakan Mahasiswa ITB 1977/78 dan para “gangster” Gerakan Mahasiswa Malari 1974.
Ben Anderson menyebut Gus Dur dan Cak Nur menjadi tokoh pluralis dan pembaharu Islam yang ikhlas dan berpolitik untuk tujuan mulia yakni memperjuangkan dan menegakkan martabat manusia dan hak asasinya dengan bingkai religiusitas dan pluralisme, dengan tujuan mengamalkan agama/keyakinan masing-masing insan di Indonesia bagi maslahat, keadaban dan kebahagiaan bersama.
Nah, yang juga menarik adalah soal perlawanan gerakan mahasiswa terhadap Orba Pak Harto. Dalam kenyataannya, aksi mahasiswa itu dikalahkan semua sama tangan cengkiling dari ABRI-nya Pak Harto waktu itu. Yah nggak Pak Ben? “Iyalah” katanya.
“Eh, kalian, tahu nggak artinya ‘cengkiling’? Cengkiling itu kebiasaan buruk doyan nempeleng, memukul dan ngantemin orang lain yang dianggap salah atau keliru atau menghambat pembangunan. “Payah banget itu, padahal gaji prajurit/perwira itu kan dari uang rakyat termasuk dari kalian lho,” kata Pak Ben tergelak.
“Tapi, wong ABRI kok dilawan, yok bonyok,” seloroh Pak Ben. Gayeng tenan obrolan kayak gitu bagi Pak Ben. Dan dia pun tergelak tawalah.
Tapi dengan serius Pak Ben kasih cerita tentang “gerakan mahasiswa atau kaum muda” di Indonesia era Orde Baru Pak Harto.
Ben Anderson sangat percaya pada kekuatan kaum muda untuk melakukan perubahan, dan disertasi PhD-nya di Cornell tentang Revolusi Pemuda telah menyingkapkan peran nyata kaum muda dalam kemerdekaan RI 1945, setelah sebelumnya berperan penting dalam Sumpah Pemuda Oktober 1928.
Pemberontakan anak-anak muda dalam gerakan melawan kolonial Belanda adalah cerita yang menyegarkan pikiran dan jiwanya yang anti-penindasan dan anti-dehumanisasi.
Lantas, bandingkan coba, bagaimana dengan mahasiswa/anak muda masa kini (reformasi era Jokowi), wah payah, dicengkiling-cekam oligarki dan pemodal/bandar bercapital.
Ben Anderson sangat menaruh harapan pada mahasiswa/kaum muda, dia mencintai kaum muda, apalagi yang miskin/tersisih dan kekuatan anak muda terbukti mampu mendobrak perubahan di Indonesia pasca colonial.
“Yah di masa 1966 itu, ada gerakan mahasiswa yang berperan meski sebetulnya militer yang dominan dan kemudian berkuasa. Tapi saya pengin kalian cerita soal anak muda zaman kalian,” katanya.
Saya bilang mahasiswa kalah terus dan demokrasi mati di tangan kekuasaan Pak Harto, pembredelan Tempo, Detik dan Editor mengkonfirmasi begitu represif dan teganya otoriterisme rezim militocracy waktu itu. Namun anehnya, Orba Pak Harto takut dengan berita dan tulisan di media massa/surat kabar/majalah, takut dengan selebaran.
Sebetulnya Tempo justru mendukung modernisasi Orde Baru yang secara guyonan disebut Pak Ben sebagai Orde Haji Bajinguk. Harusnya Orba berterimakasih pada Tempo dan media lain sebagai media yang punya kontrol sosial dan anti-KKN rezim Orba itu, tapi malah dibredel tahun 1994, yang membuat Goenawan Mohamad dkk dan kami, para aktivis dan jurnalis/LSM, harus melawan rezim praetorian yang emoh demokrasi dan anti-oposisi itu.
“Dulu waktu Malari 1974, harian Kami, Kompas, Indonesia Raya, Pedoman dan lainnga juga diberangus,” kata Ben.
Pada aksi Gerakan Mahasiswa 1977/78, harian Pedoman dan Kompas juga dibredel, namun Kompas boleh terbit lagi dengan syarat tertentu.
“Jadi, pembredelan Tempo (Detik dan Editor) pada 1994 itu merupakan sejarah yang berulang,” katanya.
Kini, era reformasi, tak boleh ada pembredelan lagi.
Ben Anderson melihat, Orba lebih percaya laras bedil dan modal untuk membangun mimpinya sendiri. Nasionalismenya elitis-birokratis-developmentalis yang kaku, lebih mendukung untuk kepentingan para elite penguasa dan diri mereka sendiri sepuasnya.
“Kesalahan utama nasionalisme Indonesia adalah menomorsatukan negara (elite), state, seperti pada kasus rezim Orba Soeharto itu,” katanya.
Ben Anderson menyinggung soal mahasiswa ITB, dan dia sudah menerjemahkan buku putih ITB 1978. Dan menurut pengakuannya, anak-anak muda ITB itu berani dan berpikir jauh ke depan, mereka menguasai rencana, gagasan, pikiran maupun aksi praksisnya.
“Ada kepeloporan Soekarno ya di ITB, Ir. Djuanda, Sutami dan lainnya, saya kira itu jadi contoh bagi mereka,” katanya.
Kami jadi ingat gerakan mahasiswa Malari 1974 dan Demo Mahasiswa 1977/78 di ITB, UGM, UI, UNPAD dan nyaris seluruh kampus negeri/swasta di Tanah Air.
Laporan media menyebut, Hariman Siregar masih terjun ke ITB waktu itu, ada undangan Dewan Mahasiswa ITB, meski dia belum lama keluar dari penjara.
“Anak muda gangter Malari (1974) itu memang nekat,” kata Ben Anderson.
Namun, asal tahu saja, terpilihnya Jenderal Soeharto sebagai Presiden Republik Indonesia untuk ketiga kali pada tahun 1977, menimbulkan keresahan dan kekecewaan di kalangan mahasiswa masa itu.
Telah tumbuh kesadaran bahwa pemerintah sudah otoriter. Otoriterisme itu menghambat pikiran progresif dan inovatif sementara korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) sudah merajalela, dan nama pedagang kakap Liem Soe Liong sudah dikenal mahasiswa sebagai cukong raksasa di Indonesia.
Berbagai kampus di Indonesia bergejolak, mahasiswa mengadakan demo dan protes bertalu-talu. Secara terang-terangan, mereka menyatakan mosi tidak percaya dan tidak menghendaki Soeharto kembali menjadi Presiden Republik Indonesia.
Demonstrasi-demonstrasi mahasiswa 1978 tercatat sebagai demonstrasi terbesar dalam sejarah 32 tahun Orde Baru. Diawali dengan didudukinya Institut Teknologi Bandung (ITB) oleh ABRI dan ditangkapnya pimpinan-pimpinan mahasiswa ITB seperti Heri Akhmadi, Rizal Ramli, Indro Cahyono, Ramles Manampang Silalahi, Abdul Rachim, dll.
Penangkapan juga dilakukan terhadap ratusan pimpinan mahasiswa di Jakarta, Yogyakarta, Medan, Palembang dan Makassar ditahan/dipenjara sekitar 1,5 tahun. (Alea Eka Putri, 2020).
Alea Eka Putri, seorang penulis bebas, bahkan mencatat bahwa Presiden Soeharto justru sangat marah karena terbitnya pemikiran intelektual berupa sebuah buku berjudul “Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978” yang berisi pemikiran mahasiswa mengenai kondisi Indonesia saat itu. Mereka adalah Rizal Ramli, Irzadi Mirwan, Abdul Rachim, dan Joseph Manurung.
Buku ini diterbitkan oleh Dewan Mahasiswa ITB yang saat itu diketuai oleh Heri Akhmadi. Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978 itu tak mungkin ada tanpa aktivitas intelektualisme oleh Dewan Mahasiswa ITB (DM-ITB) di zaman itu.
“Kami masih ketemu sama Rizal Ramli, Heri Akhmadi, Indro Cahyono, Pak Ben dalam berbagai diskusi, jumpa pers atau forum publik,” kata saya.
“Itu Ir. Heri Akhmadi (mantan Ketua DM ITB, kini Dubes RI untuk Jepang) dulu kasih nama anak lelakinya kalo gak salah Gempur Soeharto, Pak Ben tahukan?” kata Simon.
“Iya saya denger gitu, wah konon katanya juga ada aktivis ITB yang bayi perempuannya diberi nama anti-Tien Soeharto segala?” Ben bertanya. “Konon ada yang bilang gitu,” jawabku.
Ben bilang ada aktivis ITB (Rizal Ramli) lulus PhD dari sekolah ekonomi di Boston University. “Yang lainnya pada kemana?” dia bertanya.
Namun Ben mendengar kabar, para aktivis ITB itu sudah pada kerja sambil gerilya untuk antisipasi babak akhir orde baru, yang menurut Prof Don Emmerson, rezim Pak Harto itu ala kuasa Mangkurat I Mataram di masa lalu.
Kembali ke DM ITB, para aktivis mahasiswa ITB itu, mulai dari membaca lalu berdiskusi dan kemudian merumuskannya ke dalam tulisan menjadi buku berjudul Buku Putih Perjuangan Mahasiswa 1978.
Buku itu menggunakan berbagai sumber dari surat kabar, majalah, buku, serta dokumen resmi pemerintah, seperti “Rencana Pembangunan Lima Tahun Kedua 74/75-78/79”. Lahirlah sebuah buku dari tangan mahasiswa berupa kajian mendalam mengenai kondisi Indonesia saat itu. (Alea Eka Putri, 2020).
Saya jadi ingat, mantan tokoh DM-ITB Rizal Raml (RR) pun mengakui pada saya bahwa Prof Ben Anderson berjasa menerjemahkan “Buku Putih Perjuangan Mahasisw” DM-ITB Januari 1978.
“Buku itu, di mana saya, Irzadi Mirwan Alm, Abd Rachim dan Josef Manurung tulis bersama, terjemahan Inggrisnya dilakukan oleh Ben Anderson, yang lebih bagus dari aslinya karena dilengkapi footnotes pelengkap. Ben kritis dan hebat,” kata RR, mantan Menko Kemaritiman pada era Presiden Jokowi/reformasi.
Ben memang sudah menjadikan Indonesia sebagai bagian penting dalam hidupnya, dia mencintai bangsa dan negara kita.
“Ben ilmuwan yang hebat, cinta dan komit kepada bangsa Indonesia,” ucap RR, Menko Ekuin Presiden GusDur/era Reformasi.
Benedict Anderson sendiri menyampaikan bahwa, buku ini sangat penting karena merupakan kritik sistematis pertama mengenai kebijakan Orde Baru di Indonesia (Anderson & Ecklund,1978).
Saking pentingnya, Benedict Anderson membantu menerjemahkan buku tersebut ke dalam bahasa Inggris lalu menerbitkannya di Jurnal Indonesia terbitan Cornell University. Tak hanya itu, buku ini kemudian diterjemahkan ke delapan bahasa, antara lain bahasa Belanda, Jepang, China dan lainnya. (Alea Eka Putri, 2020).
Ben Anderson bertanya pada kami bagaimana kabar Hariman Siregar, Arief Budiman, Rizal Ramli dan kawan-kawan, apa mereka pada 1994 itu masih tetap jadi gangster gerakan aktivis/intelektual?
“Mereka sama kita terlibat demo protes menolak pembungkaman dan pembredelan Tempo dan (Detik & Editor). Masih aktif dan sering kumpul sama mahasiswa, diskusi dan mengatur aksi diam-diam sebab gak enak sama penguasa kalau ketahuan,” jawab saya spontan.
“Oh, berarti gangster intelektual/aktivis1970-an masih pada gak puas sama Orba yang represif ya. Dan itu isu Kedong Ombo, waduk Nipah, korupsi elite dan lainnya, harusnya jadi isu publik juga, bukan hanya pembredelan pers,” kata Ben Anderson.
Anderson percaya, selama ketimpangan dan ketidakadilan meluas, maka potensi mahasiswa sebagai kekuatan gerakan melawan rezim tetap terbuka.
Ben menyebut gerakan kaum muda/mahasiswa memang dikhawatirkan bisa mengguncang pemerintah kalau kondisi obyektifnya sudah ada dan jadi keprihatinan banyak orang. Ben berpesan, kalau ada selebaran-selebaran gelap di masa Orba itu, maka jangan dibuang tapi dikumpulkan untuk dianalisis, dikaji. Mungkin ada gunanya nanti.
Kami pulang Oktober 1994 dari New York, dan tak ketemu Pak Ben Anderson lagi. Dan terbukti kemudian, Ben Anderson menyaksikan dari layar televisi di Ithaca, kelak dimana Orde Haji Bajinguk tumbang pada Mei 1998. Dan pasca Orba, dia dizinkan datang ke Indonesia.
Saya masih kirim sapa dan sepatah kata via medsos (Facebook) ke rekan-rekan Cornell melalui kebaikan Ben Abel, putra dayak Kalimantan Tengah yang dekat dengan Ben Anderson dan menjadi librarian di perpustakaan Cornell dan Binghamton, kalau tak salah ingat.
Ketika Pak Ben Anderson wafat di Batu, Malang, Jawa Timur, Sabtu (12/12/2015), dalam akun Facebooknya, penerbit Marjin Kiri, mengabarkan bahwa Minggu pagi, jenazah Anderson dibawa ke Surabaya dari Malang, dan, sesuai permintaannya, Ben Anderson dikremasi dan abunya disebarkan di Laut Jawa. Dan itu pun bukti lagi bahwa Ben Anderson sangat mencintai Indonesia.
Di suasana Ramadhan 2021 ini, marilah kita berdoa untuk beliau. Pak Ben sudah mendedikasikan hidupnya untuk Indonesia, sepantasnya kita kenang, apresiasi dan hormati. Lahu Al-Fatehah.
[***]