KedaiPena.Com – Almarhumah Herawati Moelyono Ramli adalah istri Rizal Ramli. Mereka pertama kali bertemu saat Rizal menonton Hera di sebuah konser di Institute Teknologi Bandung (ITB).
Waktu itu, Hera tampil memainkan Fur Ellise, karya Beethoven dengan piano. Rizal pun jatuh hati dan segera melakukan pendekatan.
Hera memiliki kepribadian yang sangat berbeda dengan Rizal yang frankly speaking. Hera seorang yang sangat kalem dan hati-hati dalam bicara dan sangat memikirkan perasaan orang lain.
Namun, keduanya punya banyak nilai yang sama. Keduanya sangat mencintai Indonesia dan sangat peduli pada sesama.
Selama Rizal Ramli dipenjara karena menuliskan buku putih yang mengkritik pemerintahan Soeharto, Hera datang ke penjara setiap hari.
Ia membawakan makanan juga kliping-kliping gambar, puisi, dan artikel dari koran untuk dibaca oleh Rizal.
Tahun 1982 Rizal dan Hera pun menikah dan di kemudian hari dikarunia tiga orang anak, Dhitta Puti Sarasvati Ramli, Dipo Satria Ramli, dan Daisy Orlana Ramli. Tahun 2006 Hera meninggal dunia karena penyakit kanker.
Bagi Rizal, Hera tidak akan pernah bisa dilupakannya. Bagi anak-anak dan teman-temanya, Hera juga meninggalkan kesan yang sangat dalam.
Sekilas Perjalanan Hidup Hera
Hera dilahirkan di Surabaya pada 16 April 1956. Seperti yang telah diceritakan sebelumnya, Hera berkuliah di ITB. Kalau Rizal mengambil jurusan Fisika, Hera mengambil jurusan Matematika (tahun 1975).
Tahun 1976 Hera memutuskan untuk berpindah jurusan, mengambil jurusan arsitektur karena punya kecintaan terhadap seni. Memang, hobinya menggambar, melukis, dan bermain piano. Jurusan arsitektur dianggap lebih pas baginya.
Tahun 1982, Hera menikah dengan Rizal. Saat itu Hera masih berkuliah, menyelesaikan tugas akhirnya di bawah bimbingan (alm) Ir. Achmad No’eman Djamhari, pendiri Masjid Salman ITB dan Prof Yuswadi Saliya, pendiri Biro Arsitek terkenal AT-6.
Selama proses penyelesaian tugas akhir bahkan sampai sidang, Hera mengandung putri pertama mereka, Dhitta, yang kemudian lahir pada 17 Agustus 1983.
Tahun 1984, anak kedua mereka, Dipo Satria Ramli, lahir. Beberapa bulan setelah kelahiran Dipo, Rizal mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan S2 di Boston University.
Ia harus berangkat duluan ke Amerika Serikat. Setelahnya, Hera pun menyusul ke Amerika Serikat, sendirian mengurus dua anak yang masih bayi.
Di Boston, Hera sempat bekerja di sebuah biro arsitektur bernama Brown and Rowe, milik seorang dosen arsitektur di Boston School of Architecture.
Oleh karena kinerjanya yang baik, Hera direkomendasikan oleh sang dosen untuk melanjutkan kuliah S2 di Harvard University di bidang arsitektur dan landscape.
Hera berkuliah sambil bekerja dan mengurus dua orang anaknya, Dhitta dan Dipo. Kedua anak itu sering ia ajak menemaninya bekerja di studio Gund and Hall, Harvard dan di studio Brown & Rowe.
Hera dan Rizal sangat sibuk. Kedua anak mereka diajarkan mandiri sedari kecil. Bahkan saat balita, anak-anaknya diajarkan membuat makanan sendiri, setidaknya bisa membuat roti isi selai, ataupun memotong ketimun, dan mengambil susu yang selalu disediakan di kulkas.
Tahun 1991, Rizal dan keluarga kembali ke Jakarta. Hera pun kemudian bekerja di biro arsitektur. Pertama di PT Wiratman kemudian di PT Sumarecon. Dan di akhir hidupnya, Hera mendirikan biro arsitek sendiri yang bernama PT Daffodil.
Sebagai seorang arsitek, Hera banyak mendesain rumah. Namun, juga ada beberapa karya lainnya, seperti Mendesain Planning Mega Kuningan, dan Hutan Buatan di Kebun Binatang Ragunan.
Hera Sebagai Seorang Ibu
Sebagai seorang Ibu, Hera sangat all out menunjukkan kasih sayangnya. Meskipun bekerja, Hera tidak pernah absen menunjukkan cintanya pada keluarganya.
Ketika harus berpergian keluar kota, Hera akan membuat catatan perjalanan berisi tulisan dan gambar mengenai perasaan dan pikirannya selama perjalanan.
Catatan ini akan diberikan kepada anak-anaknya sehingga anak-anaknya tahu ibunya selalu mengingat mereka.
Agar punya waktu berkualitas dengan anak-anaknya, sesekali Hera akan menyempatkan menjemput salah satu anaknya sepulang sekolah secara bergantian.
Misalnya, mengajak makan siang, jalan-jalan dan juga kadang menemani bekerja. Ini memungkinkan Hera ngobrol berdua saja dengan si anak, sehingga anak-anaknya selalu merasa istimewa.
Hera sangat peduli dengan pendidikan anak-anaknya, bukan hanya di sekolah, tetapi juga di rumah. Ketika Dhitta dan Dipo masih balita, Hera bergantian dengan Rizal membacakan mereka buku cerita. Setiap hari.
Saat liburan, Hera akan mengusulkan agar anak-anaknya memperoleh pengalaman baru. Misalnya, dengan belajar keterampilan baru atau bekerja. Ketika liburan, Dhitta pernah diminta magang di sebuah NGO, menjadi asisten untuk melakukan pekerjaan kesekretariatan.
Dipo pernah diminta menjadi supir untuk mengantar bahan bangunan ke lokasi proyek. Daisy, si bungsu, pernah diminta menjaga toko perhiasan.
Hera Seorang Aktivis Sosial
Berbeda dengan Rizal yang merupakan aktivis politik, Hera juga seorang aktivis, tetapi lebih banyak bergerak di bidang sosial.
Selama hidupnya, Hera telah mendukung berbagai komunitas, khususnya yang bergerak di bidang pendidikan. Saat masih mahasiswa di ITB, Hera menjadi reader yang senantiasa membacakan buku untuk anak-anak tuna netra.
Di waktu luangnya, Hera mengajar ibu-ibu di daerah Lembang mengenai caranya memasak makanan sehat.
Setelah bekerja sebagai arsitek profesional, kegiatan-kegiatan Hera banyak dilakukan di akhir pekan, misalnya dengan aktif di Gerakan Nasional Orang Tua Asuh (GNOTA), mendirikan taman bacaan bagi masyarakat, mengedarkan kotak berisi beragam buku anak ke anak jalanan, terbang ke Poso untuk menghibur anak-anak di daerah konflik, dan sebagainya.
Hera juga sangat peduli pada aktivis-aktivis muda yang sering bekerja sama dengan Rizal. Ketika ada aktivis perempuan (atau istri aktivis laki-laki) yang melahirkan, Hera akan mengajak Dhitta untuk membeli seperangkat perlengkapan bayi untuk dikirimkan ke rumah mereka.
Saat banyak mahasiswa turun ke jalanan pada tahun 1998, Hera membantu mengumpulkan nasi bungkus untuk dikirimkan pada aktivis-aktivis yang menduduki Gedung MPR/DPR.
Sejak awal pernikahannya dengan Rizal, rumah mereka hampir selalu dikunjungi berbagai tamu. Mulai dari sesama teman pergerakan, wartawan, dan berbagai teman-teman lainnya.
Beberapa orang sangat berkesan di hati Hera. Misalnya, Jaksa Agung Lopa yang sangat getol melakukan pemberantasan korupsi. Hera tidak segan-segan untuk bangun malam dan bertahajud khusus untuknya agar dimudahkan Allah SWT dalam perjuangan memberantas korupsi.
Ketika Hera Mengidap Kanker
Hera pada awalnya mengidap penyakit kanker payudara yang kemudian juga menyebar menjadi kanker rahim. Untuk mengobatinya, Hera menjalani proses kemoterapi, bahkan sampai kepalanya harus botak karena pengaruh obat-obatan.
Konon katanya proses yang dijalani Hera sangat menyakitkan, namun Hera mampu bertahan hidup sampai stadium terakhir. Selama sakit Hera tidak pernah sehari pun berhenti menunjukkan cintanya kepada sesama.
Untuk mendukung sesama penderita kanker, Hera sempat mendirikan sebuah cancer support group. Hera datang ke beberapa rumah sakit, berkenalan dengan penderita-penderita kanker lainnya, mengajak mereka bertemu dan saling berbagi.
Hera mengkliping kumpulan-kumpulan artikel mengenai penyakit kanker dan cara menghadapinya. Kliping-kliping ini difotokopi dan dibagikan kepada penderita kanker yang bergabung dalam cancer support group tersebut. Hera menemani teman-teman penderita kanker yang lain ketika mereka kemoterapi.
Setelah Hera meninggal, ada sebuah cerita menarik. Salah seorang keponakan Hera melamar seorang perempuan untuk menjadi istrinya. Lamarannya di kota Bandung. Setelah proses lamaran, calon mertua si keponakan menyampaikan bahwa beliau mengenal Hera.
Ternyata dia mengenal Hera di rumah sakit. Meskipun Hera tinggal di Jakarta, setiap kali beliau akan kemoterapi di Bandung, Hera akan datang dan menemaninya kemoterapi.
Begitulah, Hera. Sosok yang sangat istimewa karena kecintaannya pada sesama. Tak heran Rizal pun selalu mencintainya.
Laporan: Sulistyawan