KedaiPena.com – National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) melaporkan ditemukan bukti keberadaan gelombang panas laut di dasar samudera. Pada tahun 2013-2016, laporan mengenai The Blob sudah sangat memprihatinkan dan menjadi berita utama di berbagai negara. Dijelaskan, The Blob adalah sebutan untuk kondisi yang menggambarkan laut sebagai gelombang panas yang menghancurkan secara besar-besaran di Samudera Pasifik timur laut.
Saat perairan lepas pantai barat AS menghangat, ekosistem pun berubah. Terumbu karang memutih secara massal, dan lebih dari satu juta burung mati di seluruh Amerika Utara.
Selama ini, fungsi lautan yang turut menyerap panas Bumi, seringkali terabaikan. Padahal, laut menyerap sekitar 90 persen kelebihan panas yang dihasilkan oleh emisi karbon buatan manusia. Selama abad terakhir, tercatat peningkatan suhu Bumi sekitar 1,5 derajat celcius. Dan tercatat gelombang panas laut menjadi sekitar 50 persen lebih sering terjadi dalam dekade terakhir.
Peneliti Ahli Utama Bidang Oseanografi Terapan dan Manajemen Pesisir, Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA), BRIN, Widodo Setiyo Pranowo menyatakan gelombang panas laut atau Marine Heat Wave (MHW) adalah suatu penjalaran massa air laut yang suhunya diatas rata-rata normal musiman pada area ekosistem laut tertentu.
“Dikatakan abnormal apabila suhu laut tersebut 0,5 hingga 5 derajat celsius lebih tinggi dari suhu laut rata-rata musiman atau klimatologis (rata-rata lebih dari 10 – 30 tahun),” kata Widodo, Minggu (26/3/2023).
Ia menjelaskan MHW bukanlah seperti gelombang di permukaan yang menjalar karena dibangkitkan oleh angin. Tapi, merupakan suatu kondisi suhu laut abnormal yang menjalar dalam suatu periode waktu tertentu, atau cukup lama, jadi mirip periode gelombang.
“Periode tersebut menggambarkan kekuatan atau intensitas dari penjalaran suhu laut yang abnormal secara temporal bisa mingguan atau lebih dari 5 hari, bulanan hingga tahunan, yang dibawa oleh volume debit air laut yang sangat besar, dan cakupan spasial penjalarannya bisa hektaran, sehingga membikin ‘shock temperature’ kepada ekosistem di bawah laut,” paparnya.
Widodo menyebutkan ‘Shock temperature’ tersebut bisa berdampak sementara kepada biota laut yang hidup atau berada di dasar laut. Seperti pemutihan terumbu karang secara massal (coral bleaching), tumbuhnya secara masif alga beracun (harmfull alga bloom), munculnya penyakit pada komunitas bintang laut (sea stars).
“Dampak terburuknya, apabila MHW berlangsung lama, adalah kematian terumbu karang, bintang laut, dan biota-biota lainnya yang hidup di dasar laut dangkal,” paparnya lagi.
Ia menyatakan hingga saat ini penyebab MHW masih dalam studi oleh para oceanographer dan meteorologist. Karena disinyalir sebagai salah satu dampak dari variabilitas dan perubahan iklim.
Sebagai contoh fenomena MHW yang terjadi di perairan dangkal di sepanjang pantai barat Amerika hingga Alaska adalah saat El Nino 2015-2016, dimana suhu laut memanas menyebabkan coral bleaching masif.
Berbeda di wilayah perairan Indonesia, tepatnya di barat Sumatra dan selatan Jawa, suhu laut perairan dangkal memanas justru pada saat La Nina, yang menyebabkan coral bleaching masif pada tahun 1998, 2002, dan 2016. Fenoma coral bleaching akibat suhu laut memanas juga pernah terjadi di perairan dangkal barat Australia pada tahun 2011.
“MHW tidak hanya menjalar di lapisan massa air dekat dasar saja, namun bisa juga menjalar di kolom lapisan permukaan laut. Sehingga MHW tidak hanya berdampak kepada ekosistem ‘bentik’ atau biota yang hidup di dasar laut perairan dangkal saja, namun bisa juga berdampak kepada biota yang hidup di kolom lapisan permukaan laut, seperti ikan,” kata Widodo.
Namun, lanjutnya, ikan tidak seperti biota bentik. Biota bentik seperti karang hidup menetap, bintang laut dan biota gastropoda berjalan lamban. Sedangkan ikan, masih bisa berenang, migrasi mencari suhu air laut yang lebih nyaman tidak panas. Migrasi tersebut bisa secara vertikal ke lapisan kolom air yang lebih dalam, atau secara horisontal ke wilayah laut lain terdekat yang tidak terdampak MHW.
“Fenomena kasus menghilangnya ikan Sarden Lemuru di Laut Bali pada tahun 2010 dan 2016, diduga akibat dari penjalaran MHW ini pada periode La Nina,” tandasnya.
Laporan: Ranny Supusepa