PERSEPSI masyarakat awam, bila menyebut sagu maka yang tergambar adalah pangan pokok di Maluku dan Papua. Banyak pakar menyebutkan bahwa sagu merupakan tanaman asli Indonesia. Biasanya sagu oleh masyarakat Papua dan Ambon dimakan dalam bentuk papeda yaitu makanan terbuat dari pati sagu yang bentuknya seperti bubur. Karena kekentalan sagu sangat tinggi maka penampilan papada menyerupai “lemâ€.
Bagi masyarakat yang sudah terbiasa mengkonsumsi papeda, bentuk pangan seperti lem tidak menjadi halangan. Namun bagi orang yang baru tahu bentuk papeda, belum tentu dapat menelannya. Oleh sebab itu, agar sagu dapat dikenal dan dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, maka dibentuklah bulir-bulir menyerupai beras.
Inovasi beras sagu ini sudah dikenalkan oleh Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi sejak tahun 2014. Melalui Pusat Teknologi Agroindustri BPPT, beras sagu dibentuk menggunakan teknologi ekstruder sehingga berbentuk bulir seperti beras. Adanya beras dari sagu ini diharapkan akan menjadi salah satu alternatif penyediaan pangan karbohidrat beras yang berasal dari tanaman bukan padi.
Program pemerintah dalam menyediakan pangan pokok beras dilakukan secara masif dengan terus membangun bendungan (waduk), menyediakan bibit yang tahan penyakit, pupuk yang sesuai serta pembangunan saluran irigasi yang memadai. Tanaman padi memang butuh air dalam pertumbuhannya.
Hal ini dilakukan mengingat kebutuhan beras bangsa Indonesia cukup tinggi. Catatan BPS konsumsi beras bangsa Indonesia sebesar 114 kg/kapita/th. Dengan jumlah penduduk 250 juta maka kebutuhan beras per tahun mencapai 28,5 juta ton. Target produksi padi Nasional tahun 2017, mencapai 77 juta ton. Angka tersebut bila diurai menjadi gabah katakanlah turun 10 % sehingga gabah yang dihasilkan 70 juta ton.
Selanjutnya konversi gabah menjadi beras rata-rata 65 % sehingga menjadi 45.5 juta ton. Secara perhitungan stok beras nasional akan surplus dibanding kebutuhan. Namun selama ini banyak faktor mengapa produksi beras Indonesia berfluktuasi. Penyebabnya di antaranya adalah akibat adanya perubahan iklim, akibat banjir dan kekeringan.
Oleh sebab itu begitu ada gangguan iklim, maka pasokan beras terganggu sehingga akan dilakukan impor beras. Tahun 2016 berdasarkan data dari BPS impor beras januari sampai November mencapai 1,2 juta ton. Suatu jumlah yang cukup besar dengan nilainya.
Upaya pemerintah dalam menyediakan pangan karbohidrat dilakukan melalui program intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi. Berkaitan dengan dua program intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian Kementerian Pertanian telah melakukan langkah-langkah yang intensif.
Namun untuk program diversifikasi masih belum terlihat langkah-lankah nyatanya. Seperti diketahui, bahwa makan pokok suatu bangsa hanya bergantung satu jenis saja seperti Indonesia sangatlah membahayakan ditinjau dari ketersediaan maupun distribusinya serta ketahanan pangannya.
Katakanlah suatu saat terjadi gangguan iklim karena banjir bandang maka tanaman padi akan banyak terkena banjir dan dengan demikian ketersediaan pangan beras akan terganggu pasokannya. Oleh sebab itu program diversifikasi menjadi sangat penting agar tidak bergantung pada satu komoditi saja.
Sumber Karbohidrat Berbasis Pangan Lokal
Indonesia yang terdiri dari pulau-pulau merupakan masalah tersendiri. Oleh sebab itu memanfaatkan sumber pangan karbohidrat, atau sumber pangan berbasis potensi lokal suatu daerah, menjadi suatu keharusan.
Berkaitan dengan penyediaan beras nasional dan melihat kearifan lokal serta agroklimat setempat maka penyediaan pangan beras non padi perlu dikenalkan dan digalakkan. Secara teknologi produksi beras jagung, beras singkong maupun beras sagu dapat dilakukan.
Selain itu beras non padi yang dikembangkan oleh BPPT memiliki kelebihan dalam angka Indeks Glikemik (IG). Yang dimaksud IG adalah angka yang menunjukkan seberapa cepat karbohidrat suatu bahan diubah menjadi gula. Makin tinggi IG maka perubahan karbohidrat (pati) menjadi gula semakin cepat.
Hasil kajian yang dilakukan oleh pusat teknologi Agroindustri beras sagu memiliki IG 40, sedangkan beras padi bervariasi IG nya antara 80-89. Selanjutnya beras sagu yang dihasilkan tersebut diuji secara klinis juga terbukti menurunkan glukosa darah selama penggunaan beras sagu selama 4 minggu.
Pembuktian tersebut dilakukan dengan cara, dipilih relawan yang memiliki kadar glukosa darah puasa 100- 125 mg/dL dan kadar glukosa 2 jam 140-199 mg/dL. Parameter kadar glokosa tersebut masuk dalam katagori prediabetes. Kondisi pradiabetes ini bila tidak dijaga maka dalam 1 tahun akan menjadi diabetes.
Teknis pengujiannya pada relawan dilakukan bahwa relawan melakukan aktifitas seperti biasa hanya saja nasinya diganti beras sagu. Untuk menghitung jumlah kalorinya maka setiap hari relawan mengkonsumsi nasi sagu sebanyak 120 g dan lauknya bebas kecuali lauk yang mengandung karbohidrat seperti mi, perkedel, kerupuk dan sebainya. Selanjutnya setiap minggu sampel darah diambil untuk dianalisa kadar glukosanya dan kadar kolesterol dan trigleseridanya.
Hasil pengenalan (intervensi) beras sagu ke relawan selama 4 minggu maka kecenderungan kadar glukosa menurun. Tabel 1 menunjukkan kecenderungan penurunan glukosa darah para relawan.
Tabel 1 menunjukkan bahwa setelah dilakukan intervensi nasi sagu pada relawan selama 3 minggu awal kadar glukosa puasa cenderung menurun, terutama pada kadar glukosa 2 jam pp, hampir setiap minggu bedanya cukup nyata. Namun pada glukosa puasa kadar glukosa tidak begitu nyata.
Setelah ditelusuri cara pola makan terutama pada minggu ke 4 ternyata pada minggu ke 4 banyak relawan yang pola makannya berlebihan karena banyak makan di tempat hajatan dan di tempat bekerja ada ulang tahun. Dengan demikian pola makannya agak terganggu.
Sedangkan pada kadar glukosa 2 jam pp mulai awal sampai minggu pertama terjadi penurunan kemudian pada minggu ke 2 terjadi kenaikan dan pada minggu ke 3 naik lagi dan minggu ke 4 menurun. Itulah data yang diberiksan dari 20 relawan yang secara individu terjadi fluktuasi kadar glukosa namun pada minggu ke 4 terjadi penurunan.
Obyek penelitian menggunakan sampel manusia sangat menarik karena manusia merupakan alat ukur yang paling baik dan sekaligus paling buruk. Namun dari sejumlah relawan yang kadar gulanya turun mencapai 65 % seperti yang ditunjukkan pada grafik pie.
Dari grafik kadar glukosa puasa dari individu relawan yang turun 60 % sedangkan yang kadar glukosanya naik 35 % dan yang kadar glukosanya tetap sebesar 5 %. Hal ini menunjukkan bahwa setelah dilakukan intervensi nasi sagu para penderita pradiabet secara individu yang gula puasanya turun mencapai 60%.
Dalam penelitian menggunakan obyek manusia untuk mendapatkan data yang konsisten biasanya mengalami kesulitan. Kondisi ini menggambarkan bahwa obyek penelitian menggunakan sampel manusia merupakan alat ukur yang paling baik tetapi juga sekaligus alat ukur yang kurang baik.
Karena manusia memiliki keinginan, perasaan dan segala atribut yang dimiliki oleh manusia yang menyebabkan data tidak dapat seratus persen homogen.
Dengan adanya hasil penelitian ini maka dapat disarankan bahwa pangan beras analog sagu atau beras sagu memiliki kelebihan bila dikonsumsi secara teratur akan menjaga kadar glukosa darah.
Bila kadar glukosa darah dapat terkontrol maka secara otomatis kadar total kolesterol dan trigleserid juga akan stabil. Tabel 2 menunjukkan kadar total kolesterol dan trigleserid relawan selama intervensi nasi sagu selama 4 minggu.
Data diatas menunjukkan bahwa dengan mengkonsumsi nasi sagu bagi para penderita pradiabetes maka kadar total kolesterol dan trigleserida juga akan terkendali dan cenderung turun. Informasi ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan nilai jual beras sagu dalam rangka program penggalakan pangan lokal dalam mendukung program diversifikasi pangan
Dalam rangka penyediaan pangan karbohidrat melalui program diversifikasi pangan ini seyogyanya dapat dimanfaatkan oleh daerah-daerah penghasil sagu, misalnya di Papua, Maluku, Kalimantan Barat, Sulawesi Tenggara dan di Provinsi Riau.
Seandainya program penyediaan pangan sagu ini dapat digulirkan dan dilakukan secara masif maka keuntungan ganda dapat diperoleh yaitu pangan lokal akan berkembang dan sekaligus membuka lapangan kerja dan masyarakat lebih sehat karena dapat mengendalikan glukosa darah.
Beras Sagu, Aman untuk Penderita Diabetes
Saat ini di Indonesia banyak sekali jumlah penderita diabetesnya dan kecenderungan terus meningkat. Catatan dari Federasi Diabetes Internasional tahun 2015 menyebutkan bahwa penduduk yang toleransi glukosa (TGT) terganggu mencapai 29 juta orang.
Untuk diketahui, TGT merupakan fase transisi antara gula darah normal dan kecenderungan berubah kearah diabetes. Bila hal ini tidak dilakukan tindakan preventif maka jumlah penduduk Indonesia banyak sekali terkena diabetes.
Seperti kita tahu bahwa diabetes merupakan induk segala penyakit yang dapat merambah merusak organ-organ tubuh yang lain secara diam-diam. Cepat atau lambat, bila diabetes ini tidak dikendalikan maka organ lain akan terganggu.
Hal ini menunjukkan bahwa pengenalan konsumsi beras sagu menjadi suatu alternative untuk selalu menjaga kesehatan secara preventif, mengingat kondisi saat ini masyarakat yang terkena diabetes terus meningkat.
Data secara ilmiah dengan mengkonsumsi nasi sagu secara teratur dapat mengontrol gula darah dan sekaligus kadar kolesterol dan trigleserid. Informasi ini menjadi sangat penting untuk disosialisasikan kepada masyarakat agar presepsi pangan lokal dapat terangkat dan ternyata menyehatkan.
Indonesia memiliki potensi sagu terbesar didunia. Secara klinis dan empiris pun, beras sagu telah memberi bukti yang nyata untuk di konsumsi secara massal. Untuk itu diperlukan dukungan publik, khususnya para pemangku kebijakan terkait yang menjadi penentu regulasi, untuk membuka dan mengalokasikan perhatian terhadap sumber karbohidrat non padi dalam menunjang kedaulatan pangan di negeri ini. Semoga.
Oleh Bambang Hariyanto, Peneliti Utama di Pusat Teknologi Agroindustri BPPT