Artikel ini ditulis oleh Abdul Rohman Sukardi, Pemerhati Sosial dan Kebangsaan.
PPP (Partai Persatuan Pembangunan), ibarat berada dalam situasi “The Last Samurai”. Statemen Sandi Uno merapat ke pemerintah menunjukkan situasi itu.
Statemen itu tak ubahnya SOS (Save Our Souls). Tanda bahaya. Terbuka dukungan pemerintah untuk selamat. Koalisi yang kalah tentu tidak menjamin selamat.
PPP berada di ambang ketersingkiran dari DPR. Tipis sekali dari ambang 4 persen. Bisa saja berkurang. Jika masuk parlemenpun tidak menghentikan ancaman suaranya terus mengecil. PPP harus masuk ICU politik agar bisa eksis kembali.
Diagnosa terhadap PPP bisa diketengahkan beberapa permasalahan.
Pertama, ia bertumpu pada ketokohan karismatik, bukan manajemen modern. Maka ketika muncul kompetitor partai berbasis agama dengan manajemen lebih modern, eksistensi PPP tergerus.
PPP terlambat memodernisasi diri pada era reformasi. Tetap bertumpu pada ketokohan kharismatik. Ketika mengalami krisis ketokohan, PPP dalam ancaman.
Kedua, tidak/kurang memiliki kemandirian finansial. Pada situasi seperti itu memerlukan ketokohan kuat finansial. Agar bisa menopang tegaknya partai.
PPP pada masa reformasi tidak sepi kadernya dari keterjeratan kasus korupsi. Menyasar kader-kader puncak tulung punggung partai. Kini relatif krisis ketokohan karena banyak tokoh puncaknya terbabat kasus.
PPP memerlukan uluran tangan pemerintah. Itulah sinyal SOS Sandi Uno. Ia sendiri akrab dengan elemen-elemen pemerintahan. Ia bagian kabinet Jokowi beberapa tahun ini.
Jatidiri PPP juga merupakan bagian pemerintahan. Sikap oposisionalnya pada orde baru merupakan strategi kepantasan politik belaka. Untuk tidak boleh selalu satu suara dalam banyak aspek.
Esensinya PPP tetap menggantung pada eksistensi orde baru. Tidak memiliki pengalaman hidup sebagai oposisi murni.
Sandi mengajak PPP realistis. Untuk membuat pilihan tepat. Pada masa sebagaimana kasus “the last Samurai” itu.
Sandi Uno kini menjadi Bappilu. Bertanggung jawab pemenangan pemilu. Menyelamatkan partai dari kemerosotan yang amat dalam. Hasilnya tidak mengecewakan. Pada waktu yang amat singkat.
Ia perlu diberi ruang untuk merehabilitasi dan memodernisasi PPP. Menahkodai PPP. Di tengah krisis ketokohan PPP itu.
Ia kuat secara finansial. Memiliki wawasan manajerial yang baik. Memiliki jaringan massa yang luas. Jaringan keluarganya secara tradisional juga dekat dengan PPP.
Kini tinggal warga PPP sendiri. Keputusan mana yang hendak dipilih. Pada saat berada dalam situasi mirip “The Last Samurai” itu.
[***]