SEKALI lagi pemberangusan kebebasan berekspresi terjadi di negeri ini. Kali ini, Koordinator Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi Teluk Benoa (ForBaLi) yang juga aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), I Wayan Suardana dilaporkan ke Polda Bali dan Bareskrim Polri pada tanggal 15 Agustus 2016.Â
Pria yang akrab disapa Gendo ini dituding melakukan penghinaan melalui media sosial kepada organisasi Posko Perjuangan Rakyat (Pospera) dan pembina organisasi tersebut, Adian Napitulu.Â
Aktivis yang getol menolak reklamasi Teluk Benoa ini dituduh melanggar pasal 28 ayat 2 UU No 11 tahun 2008 tentang ITE dan pasal 16 UU No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Ras dan Etnis.
‎Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) menilai pelaporan terhadap Gendo merupakan salah satu bentuk pembungkaman kebebasan berekspresi yang seharusnya dinikmati oleh seluruh warga negara. Penggunaan UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai alat untuk pelaporan sebenarnya hanya menambah panjang daftar kriminalisasi yang diterima oleh warga negara melalui UU tersebut.Â
Sejak disahkannya UU tersebut pada tahun 2008, sudah 149 orang yang menjadi korban dari kriminalisasi UU ITE ini. 136 orang di antaranya dituduh mencemarkan nama baik dan menyebarkan kebencian atau penghinaan.
‎Menariknya, pasal 27 ayat 3 UU ITE terkait penghinaan dan pencemaran nama baik serta pasal 28 ayat 2 UU ITE terkait penyebaran kebencian, banyak digunakan oleh individu atau kelompok yang memiliki kekuasaan atau modal untuk membungkam suara-suara kritis.Â
Tentunya kita masih ingat bagaimana seorang ibu rumah tangga, Prita Mulyasari dijerat UU ITE karena protes pelayanan kesehatan di RS Omni Internasional melalui email. Selain itu, dosen FISIP UI Ade Armando juga dijerat UU ITE karena menyebarkan informasi mengenai dugaan korupsi di Universitas Indonesia (UI).Â
Mantan Ketua Komite SMA Negeri 70 Musni Umar juga pernah dijerat UU ITE karena menyatakan ada dugaan korupsi yang terjadi di SMA Negeri 70 tersebut. Masih banyak kasus-kasus lainnya yang berhubungan pembungkaman kebebasan berekspresi melalui kriminalisasi antara individu atau kelompok yang memiliki kekuasaan atau modal dengan individu yang ingin membongkar kebobrokan suatu institusi atau sistem.Â
UU ITE pada akhirnya menjadi alat yang ampuh untuk menebarkan ketakutan bagi suara-suara yang ingin membongkar ketidakadilan di negeri ini. Hal ini menyebabkan hilangnya partisipasi masyarakat untuk mengontrol kinerja pemerintahan.
Untuk itu, kami dari Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) menyatakan sikap me‎nyayangkan dan mengecam Posko Perjuangan Rakyat (Pospera) yang melaporkan I Wayan Suardana ke Bareskrim Polri dan Polda lainnya dengan menggunakan UU ITE;
‎Mendukung perjuangan I Wayan Suardana dan ForBaLi yang melakukan penolakan terhadap reklamasi Teluk Benoa serta mendukung perjuangan seluruh rakyat lainnya yang melakukan penolakan terhadap proyek reklamasi di Indonesia;
‎Kawal revisi UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang sering kali digunakan untuk melakukan praktek pembungkaman suara kritis dan penegasian partisipasi publik atas kinerja pemerintahan, sehingga mengancam perlindungan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat;
‎Bangun kekuatan politik alternatif dengan membentuk partai politik dari gerakan rakyat untuk mewujudkan daulat rakyat yang adil, setara dan sejahtera;
‎Bangun persatuan dan solidaritas seluruh elemen rakyat untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.‎
Oleh Ketua Dewan Pimpinan Nasional ‎Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI), ‎Chabibullah                                     Â