PADA tanggal 17 November 2016, sekitar 1.500 personel gabungan memukul mundur dan menembakkan gas air mata ke ratusan petani Desa Sukamulya, Kabupaten Majalengka, yang menolak penggusuran lahan warga demi pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB). Ribuan personel gabungan tersebut berasal dari Polda Jawa Barat, Polres Majalengka, TNI dan Satpol PP, yang ikut mengawal proses pengukuran lahan yang akan digunakan untuk pembangunan BIJB. Sampai saat ini diketahui 8 petani ditangkap serta 10 petani mengalami luka-luka akibat tindakan aparat keamanan tersebut.
Pembangunan BIJB ini merupakan salah satu mega proyek yang membutuhkan luas lahan sekitar 5.000 Ha, yang terbentang dari lahan 11 desa di Kecamatan Kertajati, Kabupaten Majalengka. Sekitar 1.800 Ha yang ditempati lima desa, dialokasikan untuk pembangunan bandara, sementara selebihnya untuk membangun Kertajati Aerocity. Melalui Peraturan Menteri Perhubungan Nomor KM 34 tahun 2005 yang diperbaharui melalui KP 457 tahun 2012, pembangunan BIJB ini mengancam 1.478 KK di 11 desa tersebut. Dari 11 desa yang terkena dampak penggusuran, 10 desa telah diratakan tanpa proses yang jelas. Desa Sukamulya, yang memiliki luas sekitar 735 Ha, merupakan satu-satunya desa yang masih memilih bertahan mempertahankan tanah dan kampungnya.
Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) mengecam keras tindakan represif aparat keamanan yang terlibat proses penggusuran lahan petani. Apalagi mengingat tidak ada sosialisasi resmi dari pemerintah Kabupaten Majalengka sebelumnya terkait pembangunan BIJB kepada warga desa. Selain itu, juga ada indikasi penipuan dari pemerintah Kabupaten Majalengka terkait harga tanah yang menjadi acuan untuk proses ganti rugi terkait lahan. Kejanggalan yang lain terjadi di tahun 2004 lalu, di mana Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) menyebutkan desa Sukamulya terdiri dari lahan tandus, padahal desa tersebut dikenal dengan hasil pertaniannya. Dari analisis tersebut, kemudian muncul Peraturan Menteri Nomor 34 tahun 2005 tentang Penetapan Lokasi Bandar Udara di Kecamatan Kertajati.
Mega proyek pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) ini sebenarnya merupakan proyek lama yang dimulai sejak era kepemimpinan SBY. Mega proyek ini masuk dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) pada 2011. Walaupun tidak semua proyek MP3EI dilanjutkan oleh Jokowi, BIJB tetap dimasukkan dalam Proyek Strategis Nasional yang dikukuhkan dalam Peraturan Presiden Nomor 3 tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Dalam Perpres tersebut, BIJB menjadi salah satu dari 225 proyek pembangunan infrastruktur yang diprioritaskan oleh Jokowi.
Kepentingan pemerintah, baik pemerintah nasional maupun pemerintah daerah, untuk memaksa pembangunan mega proyek ini sangat terasa untuk kepentingan para pemilik modal. Pada tahun 2013 lalu, pemerintah Provinsi Jawa Barat membentuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang bernama PT. BIJB untuk mengelola bandara dan Kertajati Aerocity di Majalengka.
Dalam situs resmi PT BIJB, total luas bangunan terminal yang mencapai 121.000 meter persegi tersebut menargetkan 5 juta penumpang per tahun dan mencapai 18 juta penumpang untuk tahun berikutnya. Perusahaan tersebut juga akan menarik perusahaan ritel dan makanan terkemuka untuk sisi bisnisnya. Kertajati Aerocity juga akan berfungsi sebagai koridor industri dengan akses langsung ke kawasan industri di Kabupaten Karawang dan Bandung Metropolitan Area. Selain itu, pembangunan bandara tersebut untuk mempromosikan dan memperkuat penciptaan mesin pertumbuhan ekonomi.
Sementara di sisi lain, berdasarkan dokumen Rencana Tata Ruang dan Wilayah Jawa Barat serta RPJMN 2014-2019, Walhi Jawa Barat mencatat sedikitnya ada 84 proyek infrastruktur skala besar yang akan dibangun di Jawa Barat. Proyek tersebut mulai dari pelabuhan, PLTA, PLTPB, PLTU, jalan biasa, jalan tol, jalan kereta api lama dan baru, waduk dan bandara. Namun jelas proyek-proyek tersebut membutuhkan lahan yang luas dan menambah konversi lahan. Petani akan kehilangan lahannya serta akan menimbulkan konflik sosial. Berdasarkan catatan Walhi Jawa Barat, dalam 10 tahun terakhir terdapat perubahan lahan sedikitnya mencapai 424.910 Ha untuk berbagai sektor industri, seperti pertambangan, industri hingga pembangunan infrastruktur skala besar. Masalahnya, proyek pembangunan dan investasi tersebut selalu menyisakan kemiskinan dan kerusakan ekologis.
Maka dari itu, kami dari Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) menyatakan mengecam keras penggusuran desa Sukamulya bagi pembangunan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) dan Kertajati Aerocity
Kami mendukung sepenuhnya perjuangan petani desa Sukamulya dalam mempertahankan hak-haknya atas lahan. Kebijakan pembangunan Jokowi tidak berbeda dengan kebijakan pembangunan SBY yang merampas lahan masyarakat demi kepentingan jaringan oligarki dan para pemilik modal;
Bangun kekuatan politik alternatif dengan membentuk partai politik dari gerakan politik untuk mewujudkan daulat rakyat yang adil, setara dan sejahtera. Bangun persatuan dan solidaritas seluruh elemen rakyat untuk mewujudkan kedaulatan, kemandirian dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.
Oleh Ketua Dewan Pimpinan Nasional, Konfederasi Pergerakan Rakyat Indonesia (KPRI) Chabibullah