MENGAPAÂ Sukarno dulu mau membuat ibu kota RI di Kalimantan, Palangkaraya? Selain karena pertimbangan geografis dan demografi, ternyata menurut Profesor Rooseno karena pemerintah RI belum pernah membuat kota sendiri. Semua kota yang ada di Indonesia saat ini merupakan peninggalan kolonial.
Jakarta yang kurang strategis tetap dipertahankan karena nilai-nilai sejarah yang dimilikinya. Bahkan melalui Penetapan Presiden No 2 Tahun 1961 yang kemudian dikukuhkan dalam Undang-Undang No 10 Tahun 1964.
Lalu bagaimana Jakarta hari ini? Sebagai kota sejarah Jakarta rupa-rupanya masih memiliki paralelisme historis yang begitu kuat dengan masa lalunya ketika dulu masih bernama Batavia saat dibikin oleh Jan Pieterszoon Coen tahun 1619. Yaitu sampai hari ini Jakarta masih mengalami masalah dalam persoalan integrasi sosial.
Orang-orang Belanda yang bermukim di Batavia pada abad ke 17 menetap di dalam wilayah yang dikelilingi tembok berupa benteng yang disebut kastil. Sedangkan mereka yang tinggal di luar yang terdiri dari berbagai macam suku bangsa dan kewarganegaraan menempati wilayah yang disebut ommelanden, wilayah terbuka dan pemukiman umum, yang kemudian ditata menjadi kampung-kampung berdasarkan asal-usul etnis.
Sampai menjelang kemerdekaan orang Belanda hidup secara eksklusif. sedangkan warga pribumi menjadi warga negara kelas lima, di bawah orang-orang Belanda totok, orang-orang Cina, Arab, Eropa, Asia dan golongan indo.
Waktu itu misalnya di tempat-tempat umum sudah biasa terdapat papan peringatan yang amat rasis dan menghina, Verboden Voor Honden en Inlander, anjing dan pribumi dilarang masuk.
Ketika pusat kota dipindahkan ke Weltevreden yang sekarang disebut Jakarta Pusat dengan titik wilayah baru pemukiman eksklusif bernama Menteng persoalan integrasi sosial ini masih terus berlangsung.
Kondisi memprihatinkan yang sedemikian kontras dan mengandung banyak ketimpangan ini ternyata masih terabaikan, hingga aspek penting integrasi sosial ini kembali diingatkan oleh Menko Maritim dan Sumberdaya Dr Rizal Ramli saat melakukan sidak ke pulau reklamasi di wilayah pantai utara Jakarta, kawasan Pantai Indah Kapuk, hari Rabu 4 Mei yang lalu.
Di hamparan tanah pulau reklamasi yang ternyata banyak melanggar aturan pemerintah dan ketentuan peraturan mengenai lingkungan hidup itu, di depan muka perwakilan para pengembang, dihadapan ratusan wartawan, dan para buruh pekerja kasar, Rizal Ramli mengemukakan visinya secara tegas, dirinya tidak ingin Jakarta jadi seperti kota-kota besar di Amerika Latin, dimana kesenjangan antara orang kaya dan orang miskin di sana begitu tajam !
Rizal yang pernah melanglangbuana ke berbagai belahan dunia dan menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri dinamika pertumbuhan kota-kota besar dunia dalam kapasitasnya sebagai ekonom senior itu tidak ingin golongan The Have, orang-orang kaya Jakarta, tinggal di dalam benteng-benteng (maksudnya di dalam eksklusifitas dan kemewahan yang bersifat fisik) demi kenyamanan yang egoistis tanpa memiliki kepekaan sosial terhadap sekitarnya.
Di beberapa kota Amerika Latin, kata Rizal, orang-orang kaya rayanya sangat takut kepada orang-orang miskin, sehingga saking takutnya apabila mereka bepergian keluar rumah sampai-sampai harus dikawal dengan pasukan pengamanan bersenjata, harus naik mobil anti peluru, bahkan dikawal dengan panser.
Negara ini, kata Rizal Ramli, dibangun oleh para founding father untuk semua lapisan rakyat bukan untuk golongan-golongan tertentu, bukan pula untuk orang-orang kaya raya belaka.
Di hari yang sama sewaktu berbicara dengan ratusan nelayan di Muara Karang yang sudah empat kali digusur sejak zaman Soeharto, Rizal Ramli kembali menegaskan visinya.
Rizal prihatin kenapa para nelayan di negeri ini masih dianggap seperti virus, diperlakukan secara greedy oleh para pengusaha yang mengeksploitasi pantai dan laut untuk kepentingan sendiri. Padahal di luar negeri para nelayan dijadikan bagian dari obyek wisata, seperti wisata bahari dan wisata kuliner.
Nelayan mempunyai hak hidup, tetapi hidup mereka tidak terbantu sehingga menjadi lapisan masyarakat yang termiskin.
Dalam konteks ini sebagai Menko Maritim Rizal Ramli berdiri paling depan menyuarakan dan secara konkret membela nasib nelayan. Terutama pula karena kaum nelayan adalah Pilar Poros Maritim, yang juga merupakan visi pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Oleh Jurnalis Senior Arief Gunawan