Artikel ini ditulis oleh Widodo Setiyo Pranowo, Peneliti Ahli Utama Bidang Oseanografi Terapan dan Manajemen Pesisir, pada Pusat Riset Iklim dan Atmosfer (PRIMA), Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dosen Tetap pada Prodi S2 Hidro-Oseanografi, Sekolah Tinggi Teknologi Angkatan Laut (STTAL), Dewan Penasehat (advisory board) of Korea – Indonesia Marine Technology Cooperation Research Center (MTCRC).
Berdasarkan gambar yang disertakan, bisa dilihat bahwa Perairan Kepulauan Karimunjawa dikepung oleh lintasan/alur pelayaran nasional. Akibat dari kepungan tersebut, maka tidaklah heran Perairan Kepulauan Karimunjawa menjadi rentan terhadap kandasnya kapal-kapal tongkang yang berusaha menghindar dari hantaman gelombang laut dengan ketinggian yang signifikan.
Kondisi kecepatan angin, secara teoritik, akan berkorelasi erat dengan tingginya gelombang laut signifikan. Semakin kencang angin, maka semakin tinggi gelombang signifikan yang dibangkitkannya.
Ketika angin monsun barat berhembus dari arah barat menuju ke timur, pada Desember hingga Februari. Angin barat tersebut membangkitkan gelombang laut yang berpropagasi menuju ke timur, sehingga berpotensi menghantam bagian depan kapal-kapal tongkang yang sedang berlayar menuju ke barat. Gelombang laut yang menuju ke timur tersebut juga berpotensi menghantam lambung kiri kapal tongkang yang sedang menuju ke utara dari arah selatan.
Ketika angin monsun timur berhembus dari arah timur menuju ke barat, pada Juni hingga Agustus. Angin timur tersebut membangkitkan gelombang laut yang berpropagasi menuju ke barat, sehingga berpotensi menghantam bagian depan kapal-kapal tongkang yang sedang berlayar menuju ke timur. Gelombang laut yang menuju ke barat tersebut juga berpotensi menghantam lambung kanan kapal tongkang yang sedang menuju ke utara dari arah selatan.
Mengapa Kapal Tongkang Rentan Terhadap Gelombang Laut Signifikan?
Kapal tongkang, yang digunakan di Indonesia, umumnya tidak memiliki mesin penggerak atau baling-baling seperti kapal pada umumnya. Kapal tongkang dalam bermanuver sangat bergantung dari olah gerak kapal tunda (tugboat) yang membantu menariknya dengan tali penarik dengan jarak beberapa meter. Sehingga jelas bahwa kapal tongkang tidak bisa bermanuver lincah terhadap gelombang.
Secara teoritik, kapal tongkang bersama tugboat-nya akan stabil mengarungi gelombang di laut, apabila tinggi gelombang signifikan kurang dari tinggi kapal, kemudian panjang satu gelombang signifikan kurang dari panjang dimensi kapal tongkang, dan kecepatan kapal tongkang masih lebih cepat daripada kecepatan propagasi gelombang.
Kapal tongkang yang tidak stabil ketika mengarungi gelombang di laut, maka berpotensi oleng, dan ketika bermuatan maka beban akan bergeser ke salah satu sisi, sehingga menyebabkan kapal semakin miring, kemudian bisa terbalik, menumpahkan batubara ke laut, yang kemudian menimbulkan polusi.
Karakter Gelombang Laut Jawa
Berdasarkan hasil riset dari beberapa ahli hidrodinamika gelombang, bahwa tinggi gelombang laut signifikan di Laut Jawa pada kondisi normal antara 0,5 hingga 2,5 meter. Ketika ada kondisi cuaca angin ekstrim, maka tinggi gelombang di Laut Jawa bisa lebih dari 3 meter, bahkan bisa melebihi 4 meter ketika kondisi cuaca angin sangat ekstrim.
Menurut artikel ilmiah pada International Journal of GEOMATE volume 15 nomer 48 pada halaman 114-120, yang terbit pada Agustus 2018, Siklon Tropis yang bernama ‘Taifun Manny’ pada 9 Desember 1993 bergerak ke arah barat dari Samudera Pasifik Barat, kemudian tiba di Laut China Selatan dan Laut Natuna Utara sekitar tanggal 14 Desember 1993.
Artikel yang ditulis oleh Yati Muliati, Ricky Lukman Tawekal, Andojo Wurjanto, Jaya Kelvin, and Widodo Setiyo Pranowo, tersebut secara lebih lanjut menjelaskan bahwa Taifun Manny tersebut kemudian membangkitkan gelombang laut ekstrim yang berpropagasi (menjalar) dari Laut Natuna Utara melewati Selat Karimata kemudian memasuki Laut Jawa. Alat perekam dinamika muka laut di Tanjung Jati Jepara, Jawa Tengah, merekam kehadiran gelombang laut ekstrim tersebut, semula sebelum tanggal 20 Desember 1993 tinggi muka laut rata-rata 0,5 meter, kemudian secara drastis meningkat ketinggiannya tercatat antara 1,4 hingga puncaknya sekitar 2 meter pada tanggal 24 Desember 1993. Artinya gelombang ekstrim yang dibangkitkan oleh Taifun Many di Laut China Selatan dan Laut Natuna Utara menempuh waktu 10 hari tiba di perairan Jepara dan sekitarnya.
Sehingga, Laut Jawa tidak hanya memiliki gelombang laut yang dibangkitkan oleh kondisi normal angin monsun yang rutin terjadi setiap tahun, namun juga memiliki peluang mendapatkan kiriman gelombang ekstrim yang dibangkitkan oleh siklon tropis/taifun di Laut China Selatan dan Laut Natuna Utara.
Rekomendasi Upaya Adaptasi dan Mitigasi
Kecelakaan, tergulingnya dan kandasnya kapal tongkang, tidak hanya terjadi di Perairan Kepulauan Karimunjawa, sehingga perlu dikaji ulang dan dipikirkan secara bersama-sama Langkah apa saja yang harus dilakukan.
Kolaborasi, partisipasi, dan sinergitas semua pihak terkait diperlukan untuk adaptasi dan mitigasi perlu dilakukan.
Misalkan, begini, sebenarnya sudah ada teknologi kapal-kapal tongkang yang bermesin, yang disebut Self-Propelled-Barge, diduga lebih stabil dalam mengarungi lautan bergelombang tinggi. Kapal tongkang bermesin ini juga dengan dilengkapi penutup pada lubang penyimpan batubara, sehingga probabilitas adanya tumpahan batubara ke laut, apabila terjadi kecelakaan, menjadi lebih kecil. Pengaplikasian teknologi tersebut, tentunya harus didukung dengan suatu regulasi, misalnya dengan mewajibkan penggunaan kapal tersebut untuk mengangkut batubara.
Kemudian, misalkan, alur lalu lintas pelayaran dan area berlabuh kapal tongkang juga perlu ditelaah ulang, apakah perlu dipindahkan ke lokasi yang tidak dekat dengan ekosistem terumbu karang namun tetap terlindung dari hempasan gelombang laut, ataukah cukup dengan melakukan peningkatan pemantauan, pemberian peringatan, dan pemberian sanksi bagi yang tidak mengindahkan peringatan atau perintah dari syahbandar. Syahbandar bisa bekerjasama dengan aparat/perangkat pemda/desa terkait lainnya, dan juga kelompok masyarakat pengawas lingkungan hidup perairan di pulau-pulau kecil.
Terkait dengan upaya pemulihan kembali terumbu karang yang rusak akibat labuh jangkar dan kandasnya kapal tongkang, mungkin, bisa dilakukan dengan menggunakan dana CSR (Corporate Social Responsibility) dari perusahaan-perusahaan tambang batubara dan juga perusahaan-perusahaan pengguna batubara.
Pemulihan dengan cara transplantasi terumbu karang bisa dilaksanakan oleh Lembaga swadaya masyarakat didampingi oleh perguruan tinggi yang memiliki program unggulan riset di bidang terumbu karang. Contohnya, dari Program Studi ilmu Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Diponegoro, yang memiliki laboratorium dan marine station di Jepara, bahkan sering melaksanakan riset terumbu karang di Kepulauan Karimunjawa.
Kehadiran pemerintah daerah dan pemerintah pusat, juga sangat diperlukan, didalam mengawasi dan menindak tegas secara hukum terhadap pelaku kerusakan terumbu karang baik yang sengaja oleh aktivitas labuh jangkar, maupun yang tidak disengaja karena kandasnya kapal tongkang.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), rutin menerbitkan peringatan dini (forecasting) cuaca dan gelombang laut ekstrim untuk 7 hingga 8 hari kedepan yang bisa diakses baik melalui website, aplikasi android, bahkan disiarkan oleh radio. Artinya, seharusnya tidak ada lagi alasan bahwa kapal tongkang kandas akibat cuaca atau gelombang laut ekstrim, karena seharusnya nahkoda sudah bisa mendapatkan informasi lalu kemudian memprediksi kondisi cuaca dan gelombang laut sebelum melakukan pelayaran di rute laut yang akan dilaluinya.
[***]