Artikel ini ditulis oleh Ubedilah Badrun, sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ).
Penantian publik terhadap pandangan dan sikap politik Megawati Soekarnoputri soal sengketa Pemilu 2024, akhirnya terbaca melalui artikel opininya di media Kompas pada Senin, 8 April 2024.
Artikel opini Megawati itu berjudul “Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi”.
Artikel itu mendorong publik semacam mengajukan pertanyaan, bagaimana kita membaca atau setidaknya menangkap tanda bermakna dari artikel opini Megawati tersebut?
Penulis mencoba untuk membaca dan menangkap pesan substantif Megawati tersebut dengan meminjam metode Critical Discourse Analysis (CDA) dari Van Dijk yang terungkap dalam karya-karyanya seperti Social Cognition and Discourse (1990), Discourse, Power, and Access (1996), Discourse Studies: A Multidisciplinary Introduction (1997), dan Discourse, Interaction and Cognition (2006).
Secara substantif, menurut Van Dijk (1997), suatu wacana yang dikemukakan di arena publik memiliki tiga bangunan, yaitu teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Inti analisis van Dijk (1997) adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam kesatuan analisis.
Penulis memahami bahwa pada periode pemerintahan ini, Megawati sesungguhnya menjadi bagian penting dari terpilihnya Joko Widodo yang menjadi Presiden sejak 2014 lalu. Saat itu, Joko Widodo dicalonkan melalui partai PDI Perjuangan.
Saat membaca artikel Megawati, sejenak penulis berimajinasi andai berada dalam satu gerbong kekuasaan saat ini, tentu sejak lima tahun lalu penulis sudah meninggalkan pemerintahan ini sejak Joko Widodo terlibat dalam revisi UU KPK pada 2019.
Sayangnya, Megawati tidak melakukan itu, mungkin masih berpikir bahwa ada kemungkinan Joko Widodo berubah, nyatanya Jokowi kemudian tidak berubah.
Dalam dua tahun terakhir, sepertinya Megawati mengambil sikap bahwa kekuasaan yang despotis harus segera ditinggalkan.
Menariknya, cara Megawati meninggalkan Jokowi tidak langsung secara fisik, misalnya, menarik seluruh menterinya dari kabinet. Megawati menggunakan cara yang membuat diskursus publik terjadi.
Ada semacam kesabaran Megawati, atau kehati-hatian, sembari membangun kesadaran publik melalui wacana atau membuat narasi perlawanan terhadap presidennya sendiri.
Itu terlihat sejak Megawati menolak ide perpanjangan tiga periode kekuasaan Joko Widodo, menolak upaya penundaan Pemilu, dan menolak Jokowi yang berkeinginan menjadi penentu capres PDIP, bahkan berhasrat menjadi ketua umum PDIP melalui utusannya.
Teks kekhawatiran dan puncak kegelisahan Megawati secara teks, artikel opini Megawati yang berjudul Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi, selain menyampaikan pesan substansial kepada para hakim MK, juga dapat dimaknai sebagai akumulasi dari puncak kegelisahan, kekecewaan, dan membatinnya Megawati pada kekuasaan yang mengabaikan etika dan moral yang dilakukan secara vulgar.
Bahkan, menurut Megawati, dilakukan dengan cara memanipulasi hukum dan konstitusi. Teks artikel opini Megawati itu secara wacana memiliki pesan jamak atau multi pesan.
Di satu sisi memberi pesan kepada hakim MK sebagai negarawan agar mampu mengambil putusan adil untuk menyelamatkan demokrasi dan negara hukum ini.
Pada sisi lain, memberi pesan kepada publik bahwa betapa pentignya etika dan moral dalam memandu jalanya negara.
Secara teks Megawati juga semacam memberi pesan bahwa sesungguhnya negara ini sedang mengalami kemunduran dan terancam menghadapi masalah sangat serius.
Ada semacam kekhawatiran luar biasa pada diri Megawati. Kekhawatiran Megawati yang memuncak itu tidak ia lakukan dengan narasi amarah secara verbal.
Ia tampil dengan sabar dan matang melalui tulisan naratif argumentatif dan utuh, lalu dipublikasi di media mainstream.
Secara kenegaraan ini budaya baru yang Megawati ciptakan, meski ia adalah pemimpin partai berkuasa.
Ketika moral negara dirusak, hukum dimanipulasi dan konstitusi diabaikan, maka seorang negarawan harus mengambil sikap jelas. Kira-kira itu posisi Megawati saat ini.
Kognisi sosial Megawati, masih meminjam metode Van Dijk (1997), selain dilihat secara tekstual, suatu narasi atau wacana juga penting dicermati bahwa dalam setiap teks selalu ada kognisi sosial yang melingkupinya.
Kognisi sosial merupakan dimensi untuk menjelaskan bagaimana suatu teks diproduksi oleh individu pembuat teks. Dalam pandangan van Dijk, produksi teks sebagian besar terjadi pada proses mental dalam kognisi sang pembuat teks.
Analisis kognisi sosial memusatkan perhatian pada struktur mental, proses pemaknaan, dan mental sang penulis yang akan membantu memahami fenomena tersebut sebagai bagian dari proses produksi teks.
Hal ini berarti bahwa penulis dianggap sebagai individu yang memiliki bermacam nilai, pengetahuan, pengalaman dan pengaruh ideologi yang didapatkan dalam perjalanan hidupnya.
Dalam artikel opini Megawati tersebut sangat terlihat penggambaran kognisi sosialnya. Misalnya, Megawati menjelaskan bahwa ia beruntung pernah berdialog langsung dengan para pendiri bangsa seperti Bung Karno, Bung Hatta, K.H.Agus Salim, kemudian dengan Jenderal Ahmad Yani, para Jenderal Pahlawan Revolusi, Jenderal Polisi Hoegeng, serta dengan orang-orang pinter berhati nurani.
Megawati juga membangun argumen opininya dengan merujuk pada gagasan keadilan yang ia tempatkan secara ideologis, yaitu Pancasila, yang Megawati sebut sebagai falsafah pembebasan yang secara geneologi lahir dari dialog kritis Bung Karno dengan Pak Marhaen.
Dalam argumen etiknya, Megawati juga merujuk pandangan rohaniawan dan filsuf Franz Magnis Suseno yang menyampaikan bahwa ada unsur-unsur yang menunjukan pelanggaran etika serius dalam pelaksanaan pemilu 2024.
Dari argumen itu, Megawati mengingatkan Jokowi bahwa tanggungjawab Presiden terhadap etika sangatlah penting.
Presiden memegang kekuasaan atas negara dan pemerintahan yang sangat besar. Oleh karena itu, sebagai penguasa eksekutif tertinggi, Presiden dituntut dengan standar etika tinggi dan tanggungjawab etikanya agar kewibawaan negara hukum tercipta.
Megawati sesungguhnya mau mengatakan bahwa pengabaian pada etika sama saja artinya sedang meruntuhkan kewibawaan hukum. Konteks dan ultimatum moral negarawan Megawati secara kontekstual, pandangan dan sikap politik Megawati dalam sengketa pilpres 2024 yang tertuang dalam artikel opininya itu menggambarkan konteks dinamika politik saat ini.
Maknanya Megawati semacam memberikan jawaban tegas pada kondisi politik saat ini. Misalnya, ia mencatat bahwa Pilpres 2024 merupakan puncak evolusi kecurangan hingga ia kategorikan sebagai kecurangan terstruktur, sistematis dan masif (TSM) dan di saat yang sama dibingkai dengan praktik nepotisme yang mendorong terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden.
Dalam konteks itu, Megawati masih memberikan harapan terakhirnya pada Mahkamah Konstitusi (MK), lebih khusus Megawati sebut kepada “Sembilan dewa” penyelamat konstitusi. Pada titik ini, mungkin Megawati lupa bahwa kini pengambil putusan di MK tinggal delapan orang hakim, bukan lagi sembilan, karena Anwar Usman sang paman yang divonis MKMK telah melanggar Etika Berat tidak diperkenankan mengadili sengketa pilpres tahun 2024 ini.
Mengapa Megawati masih memberikan harapan pada delapan hakim tersebut? Sebenarnya dapat dibaca cara berpikir Megawati bahwa itulah cara konstitusional yang paling mungkin dilakukan untuk memutuskan perkara sengketa pilpres.
Karena itu, Megawati kemudian mengatakan bahwa ketukan palu hakim Mahkamah Konstitusi selanjutnya akan menjadi pertanda antara memilih kegelapan demokrasi atau menjadi fajar keadilan bagi rakyat dan negara.
Saya kira itu bukan sekadar narasi Amicus Curiae, tetapi ultimatum moral negarawan Megawati Soekarnoputri.
Problemnya bagaimana jika Hakim Mahkamah Konstitusi memilih jalan kegelapan demokrasi? Semoga itu tidak terjadi!
[***]