SEKITAR Tahun 1780an, ketika raja Perancis Louis XVI, ditanya apa itu negara, sang raja tiran tersebut menjawab negara adalah saya, L’Etat, c’est moi.
Ia menganggap negara Perancis adalah milik dirinya dan dirinya adalah Perancis. Kekuasaannya absolut dan sewenang-wenang. Itulah yang kemudian menyebabkan rakyat Perancis dendam kepada raja dan para bangsawannya.
Dendam itu kemudian melahirkan Revolusi Perancis. Dan membawa kepala sang raja ke ujung guillotine, pisau penggal khas Perancis di bulan Januari 1793.
Pemaknaan Masih Belum Jelas
Selain berhasil membawa leher raja Louis XVI ke tempat guillotine, revolusi itu juga yang kemudian mengubah bentuk negara Perancis, monarki absolut menjadi bentuk yang sebelumnya tidak dikenal, yaitu republik. Dalam republik, Kedaulatan Rakyat adalah yang tertinggi: kekuasaan dari, oleh dan untuk rakyat.
Suasana bathin Revolusi Perancis tersebut berhasil digambarkan dan ditulis apik Roland N. Stromberg dalam buku European Intellectual History Since 1789 (1968). Revolusi Perancis, ungkap buku tersebut, menjawab pertanyaan tentang Negara.
Tujuan negara, ditegaskan dalam “Deklarasi Hak Hak Manusia dan Warganegara”. Pernyataan tujuan bernegara yang monumental adalah, manusia dilahirkan dalam keadaan bebas dan setara hak-haknya.
Tujuan dari negara memastikan dan menjamin pelaksanaan hak hak tersebut. Namun menurut Stromberg, kata kata “hak yang setara” juga masih dianggap abstrak alias belum jelas terutama terkait pencarian kondisi masyarakat ideal.
Sebenarnya, Maximilien Robbespierre intelektual berpengaruh saat Revolusi Perancis, sudah mencoba menggagas marwah dari Revolusi Perancis menjadi sesuatu yang lebih kongkrit melalui tulisannya, “Republic of Virtue” atau Republik Kebajikan. Dalam masyarakat ideal, kata Robbespierre, kepentingan masyarakat, berada diatas kepentingan individu.
Ia yang pertama mengusung ide bahwa negara, jika diperlukan bisa mengatur hak kepemilikan individu. Namun akhirnya ia sendiri ditangkap dan dieksekusi pada tahun 1794.
Tapi Revolusi tidak selesai di situ. Pemikirannya terus bergulir bahkan ke seluruh dunia bahkan berpuluh tahun sesudahnya.
Yang jelas manifesto Revolusi itu menggugat kekuasaan absolut para raja, bangsawan dan pemuka agama di Eropa.
Berawal Dari Pertanyaan Sederhana
Namun yang menarik, ternyata perubahan besar dalam peradaban manusia selalu diawali dengan pertanyaan kecil di hati manusia. Jadi, kata orang bijak, jangan anggap sepele sebuah pertanyaan karena Revolusi Perancis pun bermula dari sebuah pertanyaan sederhana!
Revolusi tersebut menjawab apa yang Raja Louis XVI tidak bisa jawab dengan baik tentang apa itu negara. Mengusung kedaulatan di tangan rakyat, kemerdekaan, persamaan hak dan nasionalisme (Sovereignty, self-determination of peoples, equality of rights dan nationalism), dan gagasan tersebut menyebar dengan cepat.
Tapi lagi-lagi, buat sebagian filsuf modern yang terus berpikir, kata-kata tersebut abstrak. Sehingga akhirnya, menimbul pertanyaan berikutnya adakah suatu model masyarakat ideal atau hanya ciptaan Tuhan di surga? Atau hanya suatu utopia? Apa konsep tentang Ketuhanan, apa konsepsi tentang alam dan asal usulnya? Pertanyaan tersebut semakin berkembang dan akhirnya melahirkan suatu ideologi.
Lahirnya Ideologi
Pada tahun 1780an, Immanuel Kant, seorang filsuf Jerman menyatakan bahwa, pembuktian untuk ilmu pengetahuan tidak ada kaitannya dengan keyakinan kepada Tuhan. Pemikirannya menjadikan Kant sebagai salah satu peletak dasar filsuf modern. Selain itu, pemikiran Kant dianggap mendorong manusia berpikir logis dan rasional tanpa takut dicap “melawan agama”.
Kantianisme dianggap terobosan di masa itu. Terutama di saat Eropa masih berada dibawah kekuasaan mutlak raja-raja yang didukung pemuka agama dan para bangsawan. Titahnya adalah keramat, kekuasaannya adalah mandat Kahyangan. Perkembangan ilmu pengetahuan harus seizin penguasa-penguasa tersebut.
Sementara itu, Edmund Burke dalam bukunya Reflexion of Revolution melahirkan Ideologi Konservatif. Kata Burke, manusia, adalah :binatang sosial:. Oleh karenanya, manusia harus memegang tradisi. Jika terputus dengan tradisi sejarahnya maka ia akan menjadi “mahluk buas” atau Beast.
Lalu, konsep tentang kesejahteraan pun dipertanyakan. Kesejahteraan, ungkap Jeremy Bentham, bisa diukur, tapi bagaimana mengukur kebahagiaan? Pertanyaan itu kemudian melahirkan utilitiarisme yang mengedepankan individualisme yang berkembang di dunia barat.
Pencarian manusia mengenai asal usul alam semesta juga berlangsung. Setelah berpikir, Hegel menyatakan, apa yang nyata adalah masuk akal, yang masuk akal adalah nyata (what is real is reasonable, and what is reasonable is real).
Selanjutnya, Kata Hegel, sejarah adalah proses yang rasional. pemikirannya tersebut kemudian melahirkan pemikiran yang disebut Hegelianisme. Teori Sejarah Hegelianism ini kemudian yang mempengaruhi Karl Marx dan Friedrich Engels menulis pemikiran communist manifesto yang melahirkan faham komunis pada tahun 1848
Sementara itu di era yang sama, lahir Paham liberal John stuart Mill dengan “On Liberty” nya. Charles Darwin dengan teori evolusi, Thomas Malthus dengan Essay on Population, menyatakan bahwa populasi meningkat lebih cepat daripada suplai makanan dari alam.
Inilah yang kemudian dipakai dalam prinsip-prinsip ekonomi seperti scarcity (kelangkaan), teori suplai dan permintaan dan inflasi.
Yang jelas, pasca Revolusi Perancis, cikal lahir banyak pemikiran. Begitu berpengaruhnya pada tatanan politik seluruh dunia bahkan perang besar di jagad ini banyak dipengaruhi manifestonya. Sebut saja Perang Sipil di Amerika, Perang Dunia. Dunia I, perang dunia ke II, perang dingin Barat dan Timur, bahkan perang kemerdekaan Indonesia pun tidak terlepas dari pemikiran yang terinspirasi dari revolusi tersebut.
Era Kontemporer
Terakhir di era kontemporer, Francis Fukuyama dalam tulisannya “The End of History and The Last Man” menyiratkan tatanan masyarakat yang dicita-citakan kaum Komunis telah lenyap seiring dengan gagalnya ekonomi dan runtuhnya Uni Soviet tahun 1989.
Saat itu, keruntuhan komunisme Uni Soviet, menurut para futurolog (ahli menganalisa kondisi masa depan) diperkirakan akan diikuti oleh perubahan ideologi di Tiongkok, dari komunisme menjadi (semi) kapitalis.
Tapi ternyata perkiraan itu meleset. Tiongkok, sampai sekarang, masih tetap menganut paham Komunis walau di beberapa tempat di pesisirnya sudah menjadi negeri liberal.
Deng Xiao Ping, peletak dasar ekonomi Tiongkok sekarang menyebutnya dengan Komunisme dengan karakter China. Tapi apapun namanya tetaplah disebut komunis karena penguasa negeri itu masih Politbiro Partai Komunis Tiongkok.
Pancasila
Bagaimana dengan Indonesia? Sebagai bagian dari warga dunia, Indonesia tidak lepas dari evolusi pemikiran yang berkembang pasca revolusi Perancis tersebut. Kita mengenal nasionalisme, kesetaraan, kemerdekaan dan kedaulatan rakyat.
Namun hebatnya, Para pendiri negara ini sudah mempersiapkan jawaban pertanyaan yang pasti akan ditanyakan oleh generasi selanjutnya tentang apa itu “kemerdekaan dan kesetaraan” yang sesuai dengan budaya orang-orang di negeri ini. Seluruh kata dan maknanya, dituangkan kedalam Pembukaan UUD 1945.
Sementara pertanyaan ideologis yang dilontarkan tentang konsepsi ketuhanan di jawab oleh pendiri negara ini dengan makna “Tauhid” dalam Ketuhanan Yang Maha Esa.
Konsep pengendalian sosial dijawab dengan Kemanusiaan yang adil dan beradab. Nasionalisme dijawab dengan Persatuan Indonesia, Kedaulatan rakyat dijawab pada sila ke-empat, Hukum yang berkeadilan dijawab pada sila ke-lima. Inilah yang disepakati menjadi ideologi Bangsa Indonesia.
Diingatkan Tuhan
Tetapi kedepan, sejarah akan berulang, manusia selalu mempertanyakan hakikat dirinya baik dengan Tuhan, alam maupun sesama. Apalagi, jika didepan matanya terjadi ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan. Dan pertanyaan dan sanggahan manusia sesungguhnya sudah diingatkan Tuhan dalam kitab suci, “Dia ciptakan manusia dari mani, Tiba-tiba manusia itu menjadi pembantah yang nyata,” (QS.16:5).
Oleh Sonny Harlan Soemarsono, Pemerhati Sosial Politik