ENTAH apa yang sedang terjadi, laporan keuangan tahun 2018 PT Pertamina (Persero) hingga kini belum juga diumumkan ke publik. Lalu seperti apa sebenarnya kondisi keuangan BUMN Migas strategis ini, apakah merugi atau untung? Hingga kini jawabannya masih menggantung.
Padahal, Dirut Pertamina Nicke Widyawati di depan awak media pada akhir Februari 2019 berjanji akan merilis laporan keuangan pada Sabtu (9/3/2019). Nicke mengaku masih menunggu hasil audit. Tetapi sudah sepekan berlalu, ternyata janji Nicke belum juga ditepati.
Pernyataan masih menunggu hasil audit yang dilontarkan Nicke sebetulnya terasa janggal bila dikaitkan dengan pengalaman sebelumnya. Meskipun belum diaudit, selama ini Pertamina sangat rajin mempublikasikan laporan keuangannya. Ada laporan triwulan, laporan semester, hingga laporan tahunan yang dirilis beberapa hari setelah tutup tahun. Tetapi kali ini, kok berbeda?
Kemudian, mari kita simak jawaban Nicke pada acara diskusi “Potret Ekonomi di Tahun Politik” yang ditayangkan stasiun TV One pada Rabu (13/2/2019) malam. Saat itu, peserta diskusi mantan menteri keuangan Fuad Bawazier menanyakan alasan Pertamina yang belum merilis laporan keuangannya.
Menurut Nicke, laporan keuangan masih harus menunggu audit BPK serta persetujuan dari pemerintah terhadap PSO (Public Service Obligation). Nicke menyebut proses audit BPK akan rampung pada akhir Februari atau paling lambat minggu pertama bulan Maret 2019. Terkesan Nicke lagi memburu persetujuan dari BPK 35% dari USD 1,3 miliar yaitu sekitar USD 455 juta yang merupakan sisa dana subsidi dari Pemerintah, karena yang 65 % sudah masuk kerekening Pertamina pada tahun 2018.
Meskipun hasil audit BPK akan disetujui, akan tetapi nilai persetujuan itu belum bisa dibukukan sebagai tambahan laba Pertamina, karena harus dianggarkan terlebih dahulu dalam APBN 2019, kecuali sudah mendapat persetujuan dari Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan.
Itu berarti Nicke setidaknya telah dua kali mengingkari janjinya sendiri. Publik tidak pernah tahu alasan penundaan laporan keuangan Pertamina walaupun berhak mengetahui. Sehingga tak berlebihan bila Nicke diduga kuat telah melakukan kebohongan publik dan berpotensi dijerat Pasal 55 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).
Anehnya, sehari sebelum Nicke berjanji merilis laporan keuangan, Presiden Jokowi mengaku telah menerima laporan lisan dari Direksi Pertamina. Bahwa laba Pertamina tahun 2018 masih di sekitar Rp 20 triliun. Presiden lantas memuji kinerja Pertamina yang kendati dibebani PSO, kondisi bisnis dan kinerja ternyata tidak tertekan.
Semakin aneh karena pujian Presiden bertolakbelakang dengan keterangan Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN, Aloysius Klik Ro, pada Selasa (4/12/2018). Aloysius saat itu menyebut laba Pertamina hingga kuartal ketiga 2018, tercatat hanya Rp 5 triliun, atau merosot tajam hingga 81% dibandingkan periode serupa di tahun 2017.
Berdasarkan kesimpangsiuran keterangan tersebut, berapa sebenarnya laba yang diperoleh Pertamina tahun 2018? Belum ada jawaban pasti.Sebagai informasi bahwa laba Pertamina ditahun 2015 sebesar USD 1,42 miliar, tahun 2016 sebesar USD 3,15 miliar dan tahun 2017 sebesar USD 2,4 miliar.
Bila dicermati lebih lanjut, laba Pertamina kuartal ketiga tahun 2018 tersebut masih jauh di bawah laba Petronas Malaysia, yang pada periode sama sukses membukukan laba RM 14,3 miliar atau setara Rp 49 triliun. Sehingga tak salah kalau Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno dalam sambutannya pada acara Pertamina Energy Forum di Jakarta, Rabu (28/11/2018) mengakui Pertamina masih kalah jauh tertinggal dibandingkan Petronas.
Kondisi Pertamina yang masih kalah jauh dari Petronas sebetulnya kurang logis dengan keberadaan Blok Mahakam serta 8 blok migas eks KKKS yang sudah dioperasikan Pertamina sejak awal 2018. Seharusnya sektor hulu migas lebih bisa memberikan kontribusi laba jauh lebih besar daripada sektor hilir terhadap Pertamina di saat harga minyak dunia relatif tinggi.
Namun faktanya selama 4,5 tahun pemerintahan Jokowi, Kementerian BUMN malah sibuk melakukan perubahan yang tak perlu, yaitu 2 kali perubahan struktur organisasi dan 4 kali membongkar-pasang direksi. Akan tetapi anehnya, hampir semua proyek infrastruktur migas nya terkesan dijalankan bergaya “poco-poco”* alias jalan di tempat.
Terbukti, proyek RDMP (Refinery Development Masterplan Project), Grass Root Refinery/GRR/kilang baru dan Refrigrated LPG Terminal Tuban dan Terminal LNG Banten serta CCT (Crude Cooktail Terminal) Lawe Lawe di Kalimantan Timur sampai saat ini masih jalan di tempat.
Ironisnya, malah yang terjadi tidak masuk di akal sehat publik, ketika direksi Pertamina pada Agustus 2017 justru menggelontorkan dana Rp 1.4 triliun untuk berbisnis properti melalui anak usahanya PT Patra Jasa ke PT Patra Land untuk mengakuisisi aset apartemen di Bekasi dan Jogya dari Wika Building dan Wika Realty. Padahal semua tahu, bisnis properti bukanlah spesialisasinya Pertamina.
Bisa jadi, benang-kusut kinerja keuangan Pertamina tahun 2018 juga diakibatkan munculnya Perpres No 43 Tahun 2018 yang merupakan perubahan dari Perpres No 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian dan Harga jual BBM yang menugaskan Pertamina untuk menyalurkan Premium di Jawa Madura dan Bali. Di saat yang sama, Pertamina tidak mempunyai kewenangan untuk menyesuaikan harga keekonomian BBM tanpa persetujuan pemerintah. Akibatnya, kondisi keuangan Pertamina menjadi tertekan.
Beban Pertamina semakin berat setelah terbitnya Permen ESDM Nomor 23 Tahun 2018 yang merupakan revisi dari Permen ESDM Nomor 15 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Wilayah Kerja Migas Yang Berakhir Kontraknya. Dampaknya, Pertamina harus mencari pinjaman untuk membayar tanda tangan bonus (signature bonus) Blok Rokan kepada pemerintah senilai USD 783 juta atau setara Rp 11,3 triliun ditambah jaminan komitmen kerja pasti senilai USD 50 juta.
Meskipun Permen ESDM nomor 23 tahun 2018 itu telah dibatalkan oleh Makamah Agung RI pada 29 November 2018 atas gugatan Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu ( FSPPB) dengan gugatan nomor 69P/HUM/2018.
Jika beberapa faktor di atas telah menyumbang buruknya kinerja keuangan Pertamina tahun 2018, jangan-jangan ada juga faktor Kementerian BUMN yang telah salah memilih “supir” yang handal dan penuh inovatif serta mampu bermanuver melakukan terobosan yang terukur dalam mengendalikan proses bisnis Pertamina.
Oleh karena itu, janji-janji kampanye Jokowi pada tahun 2014 akan membesarkan Pertamina untuk mengalahkan Petronas, kini tiba saatnya dipertanyakan publik. Jangan sampai seperti kata pepatah “nafsu besar tenaga kurang”.
Oleh Direktur Ekskutif CERI, Yusri Usman