MENGAPA kita harus menolak Ahok? Karena dia kafir? Ya. Buat setiap muslim, Allah telah dengan amat gamblang melarang menjadikan orang-orang kafir sebagai pemimpin. Banyak sekali ayat dalam al Quran yang berbicara soal ini. Antara lain, ada di Ali Imron: 28, an Nisa: 144, dan al Maidah: 57. Al Quran juga melarang menjadikan orang kafir menjadi pemimpin, walaupun yang bersangkutan adalah kerabat sendiri. Silakan buka at Taubah: 23 dan al Mujaadilah: 22.
Bahkan al Quran juga memvonis mukmin yang menjadikan orang kafir sebagai pemimpin sebagai munafik. Mari buka Ali Imron: 138-139. Stempel lain untuk perilaku ini adalah zalim, sebagaimana ditegaskan dalam al Maidah: 51 yang sejak September tahun silam sangat populer itu.
Seorang muslim juga disebut fasik dan sesat jika ngotot menjadikan orang kafir sebagai pemimpin. Tidak percaya? Silakan buka al Maidah: 80-81 dan al Mumtahanah: 1. Yang terkakhir, Allah mengancam azab yang pedih bagi muslim yang ngeyel menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, seperti tercantum dalam al Mujaadilah:14-15.
Gimana, anda yang muslim masih tetap mau pilih Ahok yang kafir itu sebagai pemimpin? Urusannya bukan hanya di dunia, tapi sampai akhirat lho. Tidak takut dengan berbagai stempel negatif dari Allah tadi? Tidak takut dengan azab yang pedih dari Allah? Nekat benerrr….
Bengis dan ugal-ugalan
Tapi, di luar ayat-ayat Quran tersebut, Ahok memang benar-benar tidak layak dipilih jadi pemimpin. Serenceng fakta menunjukkan dia adalah penguasa yang bengis dan ganas terhadap rakyatnya sendiri. Bayangkan, data Lembaga Bantuan Hukum (LBH) dan Urban Poor Consortium (UPC) menunjukkan sepanjang 2012-2016, ada lebih dari 20.000 keluarga jadi korban penggusuran. LBH juga mencatat, 84% penggusuran dilakukan secara sepihak. Artinya, rakyat sama sekali tidak dilibatkan dalam proses pengambilan kebijakannya. Mereka harus pergi tanpa sepeser pun ganti rugi!
Sebagai gubernur, pria yang terkenal bermulut jamban ini juga justru berpihak kepada pengembang. Bukti paling nyata adalah, izin reklamas empat pulau (F,G,I dan K) diterbitkannya Ahok. Tentu tidak ada yang gratis. Aroma fulus dalam jumlah amat besar menyengat dengan kencang dari sini. Diduga kuat, duit inilah yang antara lain jadi modal untuk maju di Pilkada 2017 dan Pilpres 2019 kelak.
Masih tentang keberpihakannya kepada pengembang, Ahok sering menabrak berbagai aturan dan perundangan. Dalih yang dijadikan tameng sikap ugal-ugalannya adalah diskresi. Media cetak edisi 28 September 2016 menulis, fulus yang terhimpuh dari diskresi Ahok mencapai Rp1,6 triliun. Uang ini berasal dari PT Agung Podomoro Land dan PT Jaladri Eka Paksi yang diberlakukan tanpa peraturan daerah.
Itu baru dari dua pengembang. Tidak mustahil masih banyak taipan lain yang juga dipalak dengan dalih diskresi. Sebut saja, PT Sinar Mas Land yang, sebagaimana pengakuan Ahok, CSR-nya digunakan untuk pembangunan Kalijodo. Bagaimana mekanisme pengumpulannya dan bagaimana pertanggungjawabannya semuanya tidak jelas. Tidak sebiji pun penjelasan yang bisa menjamin, bahwa duit jumbo itu tidak disalahgunakan untuk kepentingan pribadi dan atau kelompoknya.
Kinerja jeblok
Ahok dan para pendukung butanya sering mengklaim sukses membangun Jakarta. Sukses dari Hong Kong? Faktanya, Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan sepanjang 2014-2015, terjadi tambahan kesenjangan sosial sebesar 0,46%. Data BPS Jakarta juga mencatat, pada 2015 jumlah penduduk miskin melonjak 15.630 orang dibandingkan tahun sebelumnya.
Gubernur yang sangat doyan menyemburkan makian itu juga sama sekali tidak punya empati. Kendati mendapat perlawanan rakyatnya dan kecaman dari bergai penjuru, toh dia tetap asyik dengan penggusuran. Bahkan dia sesumbar kalau kembali terpilih sebagai gubernur, lelaki minoritas yang menjadi tirani atas mayoritas ini bakal menggusur 325 titik kemiskinan lagi.
Ahok selalu mengklaim, dengan menggusur dia telah memanusiakan warganya. Rakyat yang tergusur diberi tempat di rumah susun sewa (Rusunawa). Tiga bulan pertama gratis biaya sewa. Pada bulan keempat, baru mereka harus bayar.
Namun fakta di lapangan menunjukkan, Rusunawa ternyata menimbulkan masalah baru. 6.516 penghuni atau sekitar 46%-nya menunggak pembayarana sewa lebih dari tiga bulan. Pasalnya, mereka tidak lagi punya penghasilan atau pendapatannya turun drastik setelah dipindahkan dari tempat semula.
Sesuai peraturan, mereka yang tiga bulan menunggak, harus keluar dari Rusunawa. Jadilah mereka hidup dengan menggelandang tanpa arah. Padahal, sebelumnya mereka punya rumah sendiri. Punya penghasilan sendiri sebagai pekerja, nelayan, atau pemilik warung kelontong. Sebelumnya para warga itu bisa hidup dengan cukup layak, menyekolahkan anak, dan mencukupi berbagai kebutuhan dasar lainnya.
Sejak berkuasa pada 2012 sebagai Wagub dan dua tahun melanjutkan kepemimpinan Jokowi yang kemudian menjadi Presiden, keduanya terbukti telah mengkhianati janji-janji mereka. Padahal mereka telah meneken kontrak politik, yang antara lain berisi akan memberi perlindungan, penataan dan legalisasi kampung-kampung miskin, pedagang kaki lima (PKL), tukang becak, dana nelayan tradisional. Namun setelah menjabat, semuanya gombal belaka. Tidak satu pun janji-janji itu direalisasikan.
Bagaimana dengan kinerja dan akuntabilitasnya? Data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi menyebut, sepanjang 2015 DKI Jakarta di bawah Ahok berada di peringkat 18 dengan predikat CC dan nilai 58,57. Fakta ini tentu sangat kontradiktif dengan sesumbarnya dan klaim pendukung butanya, bahwa si petahana adalah sosok yang bersih dan transparan.
Dengan serenceng fakta tersebut, terbukti Ahok memang sama sekali tidak layak menjadi gubernur. Bahkan seandainya Ahok adalah seorang muslim sekali pun, dia tetap tidak pantas menjadi pemimpin. Islam mengharuskan pemimpin adalah orang yang terbaik. Dan itu dibuktikan dengan berintegritas, berakhlak mulia, serta punya kapasitas dan kapabilitas mumpuni.
Sebaliknya, Ahok berknerja jeblok, perilakunya bengis sama sekali tidak punya empati, lidahnya beracun, dan mulutnya beraroma toilet. Juga jangan lupa, Ahok adalah koruptor yang sampai sekarang belum tersentuh karena ada kekuasaan yang melindunginya! (*)
Oleh Edward Marthens, pekerja sosial, tinggal di Jakarta