SEANDAINYA kita mau sedikit serius mengevaluasi, sejak semua kendali bisnis pengadaaan minyak setelah Petral dinonaktifkan dan kemudian dipusatkan seluruh otoritasnya tanpa pengawasan  di ISC Pertamina, memunculkan kasus minyak Zatipu (Sarir 30%, Mesla 70%)  alias zaitun tipu-tipu.‎
Pertama tentulah akibat ketidaktransparannya ISC dalam menjalankan proses bisnisnya. Contohnya setiap rencana pembelian minyak mentah dan produk BBM tidak pernah diumumkan secara terbuka.Â
Dan dalam proses tendernya juga masih setengah terbuka. Artinya tidak seperti lazimnya pada tender lainnya, pada saat dibuka penawaran harganya, ternyata sesama kompetitor tidak bisa saling mengetahui berapa masing masing pihak menawarnya.
Walaupun penawaran via eletronik, seharusnya di ISC dibuat layar monitor seperti di bursa saham, sehingga  semua peserta bisa melihatnya. Kemudian juga setelah ditunjuk pemenang tendernya, seharus ISC harus rutin juga merilis siapa pemenangnya, dan jenis minyaknya, dan berapa volume yang akan disuplai. Bukan hanya itu, juga harus diketahui kapan jadwalnya dan  berapa harganya.
Kalau ini benar dilakukan oleh ISC, maka hal ini merupakan indikasi bahwa ISC telah taat menerapkan aturan asas “GCG” dan sudah memenuhi UU keterbukan informasi kepada publik. Tetapi faktanya hal tersebut belum juga dilakukannya.
Adapun soal penyebutan jenis minyak yang selama ini diterapkan oleh ISC dianggap kurang baik, seperti dalam dokumen menyebutkan jenis minyak Afrika Barat (Bonny Light) , minyak Asia (Kikeh , Trenggano , Champion) dan Rusia. Padahal seharusnya yang penting disebutkan adalah spesifikasi teknis minyaknya secara lengkap.
Artinya kilang hanya bisa mengolah minyak mentah sesuai spesifikasi teknis minyak mentahnya, bukan nama minyaknya. Hal ini jauh lebih menguntungkan bagi Pertamina agar tidak dibawah kendali “trader” yang mempunyai akses khusus kepada NOC tertentu.
Sehingga tidak aneh kalau saat ini kita akan menemukan dominasi ” trader ” tertentu di ISC karena skema ini tidak diperbaiki. Bisa jadi ini dugaaan “kolusi yang terselubung”. Faktanya pada tender ISC bulan Juli 2016 dari 8 kargo yang ditenderkan, ternyata 6 kargo diborong oleh trader (Glencore 5 kargo & Vitol 1 kargo) Â dan NOC hanya kebagian 2 kargo.
Selain itu, kesalahan kedua adalah  adalah terletak pada Direktur Umum Pertamina Dwi Wahyu Daryoto dan SPI yang telah memberikan batasan periode audit forensik pada konsultan Kordamentha. Walaupun dibungkus dengan alasan kemahalan, suatu alasan yangg tidak masuk akal sehat  untuk membersihkan dugaan mafia minyak yg sangat memberikan stigma negatif bagi Pertamina.
Cobalah diiikuti saran saya bahwa  periode audit seharusnya dimulai tahun 2004 sampai 2014 , maka akan ditemukan kasus “Sarir” pada tahun 2006 sampai 2009. Dan bahkan dari temuannya sudah dilaporkan oleh BPK ke KPK, dan  setelah Arie Soemarno dicopot dari Dirut Pertamina, maka minyak Sarir itu hilang dari peredaran di semua kilang Pertamina dan terakhir kali digunakan  pada Maret 2009.
Diduga pembatasan periode audit forensik Kordhamenta  hanya tahun 2012 sampai 2014 saat  itu hanyalah  untuk menghidari temuan soal “Sarir Crude ” dan lain-lainnya, karena menyangkut ada kepentingan pejabat yang baru mulai berkuasa disektor migas juga saat ini.
Adapun penjelasan Faisal Basri atas pertanyaan saya diforum dialog ILC TV One pada 18 November 2015 “Papa Minta Saham & Audit Petral”, dia menjelaskan bahwa periode audit perlu dilakukan setidaknya pada tahun 2014 dengan alasan bahwa diduga ada aliran untuk kegiatan Pemilu dan Pilpres 2014.
Nah kalau itu alasannya tentu agak kurang cerdas, bukankah pada tahun 2004 dan 2009 juga ada kegiatan politik berupa pemilu dan pilpres juga.
Akan tetapi walaupun dibatasi periode auditnya tahun 2012 sampai 2014 saja, faktanya dalam laporan resume audit yang saya peroleh, ditemukan fakta yang mengejutkan, yaitu transaksi pada Januari 2009 soal draft perjanjian pembelian HSD dari Petronas untuk term 1 tahun, yang dari Metadata dari draft perjanjiannya tersebut dan tampaknya draft tersebut disiapkan oleh pihak ketiga.
Selain itu juga terdapat klausul yang menyatakan bahwa pihak adalah pihak penjual dalam transaksi tersebut dan pihak ketiga yang akan mengatur ketentuan transaksi tersebut. Begitulah bunyi bagian dari laporan audit Kordhamenta tersebut.
Sehingga dengan adanya temuan baru ini sudah seharusnya BPK RI sebagai organ negara yang secara UU bertanggungjawab mencegah, menemukan potensi kerugian negara untuk segera bertindak melakukan audit forensik secara menyeluruh dari thn 2004 sampai 2012 untuk pro justicia.
Yaitu untuk periode yang  tidak tersentuh oleh audit forensik Kordhamenta. Tentu akan menjadi pertanyaannya apakah BPK berani melakukan ini, itulah yang sangat ditunggu oleh publik.
‎Oleh Pengamat Energi dari CERI, Yusri Usman