BANYAK masalah di negara kita muncul karena pemimpin memanfaatkan jabatan publik untuk kepentingan pribadinya. Walaupun sudah ratusan pemimpin dijebloskan ke dalam penjara karena korupsi, namun jumlah koruptor tidak berkurang dari tahun ke tahun.
Lucunya KPK, lembaga yang paling banyak menangkapi koruptor justru paling disalahkan. KPK dituduh gagal melakukan pencegahan korupsi, (dianggap) cuma sibuk melakukan penindakan saja.
Tujuan rekrutmen politik adalah membentuk kelas pemimpin yang memiliki integritas dan kompeten. Proses rekrutmen pemimpin di negara demokrasi berlangsung dalam dua tahap, yaitu proses ‘selection’ dan proses ‘election’.
Pada proses seleksi, dari kumpulan kadernya partai politik memilih kandidat untuk dicalonkan dalam pemilu. Pada tahap seleksi kandidat tersebut dihadapkan dengan kandidat partai lain untuk memperoleh dukungan publik.
Kedua tahapan proses tersebut memiliki fungsi berbeda. Bila di dalam proses election rakyat diharapkan memilih kandidat dengan kompetensi (kemampuan memimpin, kebijakan, program, rencana kerja) terbaik, maka dalam proses ‘selection’ partai diharapkan menitik-beratkan pilihan kepada kader yang memiliki reputasi moral (integritas, kejujuran, keterpercayaan) terbaik.
Pembagian kerja di atas masuk akal sebab partai dianggap lebih tahu tentang ‘track record’ dari kader-kadernya. Adapun rakyat pemilih tidak bisa diharapkan bisa membaca isi hati (moralitas) kandidat, karena interaksi keduanya bersifat temporal dan terbatas.
Pemilih hanya menilai berdasarkan kepada (program) yang disampaikan dan evaluasi kilat atas kemampuan komunikasi (yang sering dikaburkan sebagai kemampuan memimpin).
Adapun KPK berada di luar proses seleksi maupun eleksi. Kerja KPK baru dimulai ketika seseorang telah terpilih. Bila pejabat terpilih ternyata koruptor maka tanggungjawab terbesar terletak di tangan partai politik. Bukankah mereka yang telah memilih orang itu sebagai kandidat?
Memang menurut undang-undang, salah satu tugas KPK adalah mencegah korupsi. Tetapi sangat keliru menafsirkan bahwa KPK adalah satu-satunya penanggungjawab pencegahan korupsi, mengingat korupsi memiliki akar politik, sosial dan kultural yang berada jauh di luar kewenangan KPK.
Kalau mau adil, sedikitnya KPK mesti diberi kewenangan mengontrol seleksi kandidat di partai politik dan menangkapi pelaku politik uang. Hanya dengan demikian KPK bisa disalahkan berkaitan kegagalan dalam pencegahan korupsi.
Pencegahan korupsi itu harus dimulai oleh partai politik sebab di sanalah sebagian besar masalah berada. Bila partai-partai politik merekrut calon-calon pemimpin yang baik maka pejabat birokrat yang membantu mereka juga akan menjadi baik.
Bukankah penentu promosi dan demosi di birokrasi adalah ‘elected officials’ (kepala daerah), yang semua dilahirkan oleh proses rekrutmen partai politik?
Moralitas Partai Politik
Moralitas kita pahami sebagai komitmen kepada kepentingan publik. Orang bermoral ketika komitmennya dianggap kredibel. Kredibilitas itu dicerminkan dalam tingkat keterpercayaan (‘trustworthiness’), integritas dan kejujuran.
Sayangnya, moralitas tidak berkembang di tubuh partai politik kita. Proses seleksi kandidat pada umumnya adalah proses jual-beli, siapa membayar paling tinggi terpilih menjadi kandidat dengan nomor urut terbaik.
Akibatnya koleksi kader terbaik partai politik diisi oleh orang yang mampu membayar, bukan orang yang jujur dan kompeten. Kita telah melihat dampaknya, jumlah koruptor justru semakin bertambah dari waktu ke waktu.
Tidak hanya dalam proses seleksI, jual beli juga terjadi dalam proses eleksi. Kandidat membeli suara pemilih untuk menutupi kelemahan mereka dalam kompetensi. Uang telah menjadi segalanya. Mau naik jabatan, mau dapat proyek negara, mau masuk sekolah negeri, dan sebagainya. Uang menentukan.
Partai politik sebagai basis penyedia ‘credible commitment’ adalah dasar dari government trust. ‘Trust’ atau kepercayaan itu seharusnya tidak bisa dibeli. Suatu pemerintahan yang dibangun dengan membeli kekuasaan hanya bagus tampak luarnya, tetapi pebisnis dan pengamat yang andal tahu bahwa kekuasaan seperti itu rapuh.
Kekuasaan semacam itu bisa tiba-tiba luruh dan ambruk. Itu sebabnya walau ada 33 perusahaan angkat kaki dari Cina, tidak satupun mendaratkan kakinya di Indonesia. Orang bisa berdalih macam-macam (karena perizinan lama, dan lain-lain) tetapi hakekatnya adalah orang di luar tidak melihat Indonesia sebagai negeri yang bisa menyediakan ‘credible commitment’ yang mereka butuhkan.
Tergantung kepada partai politik kemudian. Mereka memiliki kekuasaan untuk melepaskan diri dari ketergantungan kepada dana luar. Mereka juga punya kapasitas untuk melakukan pendidikan politik. Masalahnya tinggal apakah mereka mau atau tidak.
Oleh Pengamat Politik, Radhar Tribaskoro