CINA dan Vietnam adalah dua negara yang kebal resesi selama pandemi Covid-19 berlangsung. Pertumbuhan ekonomi Cina, meskipun sempat anjlok ke -6,8% pada kuartal I-2020, bangkit ke 3,2% pada kuartal II-2020.
Sementara Vietnam, pertumbuhan ekonominya pada kuartal I-2020 3,82%, turun kembali tapi masih tetap positif di kuartal II-2020 sebesar 0,32%. Secara teknis, kedua negara tersebut tidak masuk dalam kategori resesi.
Apa sebenarnya rahasia kedua negara yang berhaluan politik komunis ini, sehingga ekonominya masih bertahan dibandingkan negara-negara lainnya yang sudah masuk ke resesi? Salah satu kuncinya yang utama adalah pertumbuhan kredit di sektor perbankan.
Pertumbuhan kredit adalah gambaran dari seberapa efektif perbankan menjalankan fungsi menyalurkan dana pihak ketiga kepada sektor swasta. Semakin tinggi pertumbuhan kredit, dipastikan aktivitas bisnis swasta semakin cepat berkembang.
Bila pertumbuhan kredit rendah, dipastikan aktivitas bisnis swasta pun menjadi lesu. Di tengah pandemi Covid-19 ini, pertumbuhan kredit di Cina masih cukup tinggi, yaitu di kisaran 16,1%.
Sementara, pertumbuhan kredit di Vietnam memang cukup tertekan, tapi angkanya masih di kisaran 8,6% (turun dari rata-rata 20-an% selama belasan tahun terakhir).
Bandingkan dengan pertumbuhan kredit di Indonesia yang saat ini sudah terjun bebas ke kisaran 3%.
Lalu apakah yang menyebabkan pertumbuhan kredit di Cina tetap tinggi dan Vietnam cukup tinggi, sedangkan di Indonesia sangat rendah? Jawabannya ada pada yang disebut dengan efek ‘crowding out’.
Dalam perekonomian Cina dan Vietnam tidak terjadi efek ‘crowding out’, sedangkan di Indonesia terjadi. Efek ‘crowding out’ terjadi di Indonesia karena perbankan Indonesia lebih terdorong untuk membeli surat utang pemerintah dibanding menyalurkan dana untuk kredit sektor swasta.
Akibatnya sektor swasta Indonesia tidak ikut bertumbuh, meskipun pemerintah terus terbitkan surat utang untuk melakukan pembangunan/spending.
Perbankan Indonesia tertarik membeli surat utang pemerintah karena bunga atau ‘yield’ surat utang sangat tinggi. ‘Yield’ surat utang tenor 10 tahun di kisaran 6,7%, bahkan kadang pemerintah berikan kupon hingga 7-8% untuk ‘tenor’ yang lebih cepat.
Bagi perbankan Indonesia, investasi ke surat utang pastilah jauh lebih aman dan mudah daripada investasi ke sektor swasta (meskipun bunga kredit tinggi 12%) yang jauh lebih beresiko (seiring naiknya angka kredit macet ke 3%).
Akibatnya sektor swasta tersingkir (‘crowd-out’) dari pasar tidak kebagian dana, karena kebanyakan dana hanya berputar-putar di antara sektor perbankan dan pemerintah saja.
Menurunkan ‘Yield’ Surat Utang
Pertanyaannya, mengapa perbankan di Cina dan Vietnam tetap menyalurkan kredit ke swasta dan tidak terdorong untuk membeli surat utangnya secara jor-joran?
Jawabannya adalah karena yield yang diberikan kedua negara tersebut untuk surat utangnya cukup rendah, bahkan lebih rendah dibandingkan suku bunga bank sentralnya.
Seperti diketahui, suku bunga acuan bank sentral Indonesia saat adalah 4%, sedangkan ‘yield’ surat utangnya (10 tahun) 6,7%. Untuk Cina, suku bunga acuan bank sentralnya 3,85%, sedangkan ‘yield’ surat utang (10 tahun) 3,05%.
Untuk Vietnam, suku bunga acuan bank sentralnya 4,5%, sedangkan ‘yield’ surat utangnya (10 tahun) 2,9%.
Dari data-data di atas, terlihat apa perbedaan Cina-Vietnam dengan Indonesia? Ya, ‘yield’ surat utang Cina dan Vietnam lebih rendah dari suku bunga acuan bank sentralnya.
Sebaliknya, ‘yield’ surat utang Indonesia lebih tinggi dari suku bunga acuan bank sentral Indonesia.
Bila suku bunga acuan Bank Sentral lebih tinggi dari ‘yield’ surat utang, maka dana perbankan tidak akan membanjiri surat utang.
Akibatnya mau tidak mau perbankan akan berusaha semaksimal mungkin untuk menyalurkan kredit. Tidak akan terjadi efek ‘crowding out’ dalam sistem ekonomi negara tersebut. Itulah yang menjelaskan kondisi di Cina dan Vietnam.
Pertanyaannya, bisakah ‘yield’ rendah berlaku di surat utang Indonesia? Tentu harus bisa. Percuma dong pejabat keuangan kita sudah sekolah tinggi-tinggi.
Di Indonesia, pejabat Kementerian Keuangannya memiliki rumus (tersaji di ‘website’ DJPPR Kemenkeu) untuk menentukan kupon surat utang, yaitu suku bunga acuan bank sentral ditambah “spread”.
Darimana asal rumus ini? Mengapa kementerian keuangan Cina dan Vietnam memiliki rumus yang berbeda? Mereka mendapatkan besar kupon malah dengan mengurangi suku bunga acuan dengan “spread”.
Mengapa pejabat kita tidak menggunakan rumus pemerintahan Cina dan Vietnam saja (mengurangi suku bunga acuan dengan “spread”, bukan menambah), agar bunga surat utang Indonesia ikut rendah.
Mungkin nanti akan ada juga ekonom atau pejabat yang bilang, ‘yield’ ini tidak bisa diturunkan karena murni ditentukan oleh pergerakan pasar. Benarkah? Artinya para ekonom atau pejabat yang bilang begitu itu jarang membaca. Ada namanya kebijakan “yield curve control”.
Ini adalah kebijakan yang dilakukan untuk mematok besar ‘yield’ surat utang untuk mengurangi beban bunga dari surat utang di masa mendatang. Kebijakan ini sudah diterapkan di berbagai negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Australia, dan berhasil.
Oleh Gede Sandra, Analis Ekonomi Pergerakan Kedaulatan Rakyat (PKR)