MENGAPA Ahok kalah telak? Pertanyaan itu acapkali mereka tanyakan pada saya sejak kemarin sore (hari pencoblosan 19 April 2017). Pemimpin partai, pejabat pemerintah, aktivis, wartawan, hingga para sahabat bertanya hal yang sama. Kok Anies-Sandi bisa menang sangat telak, di atas 10 persen? Bukankah kalah menang di antara mereka sewajarnya hanya “beti” (beda tipis)?
Saya menunda menjawab karena sibuk menuntaskan quick count, konf pers dan team besar yang bekerja. Apalagi itu pertanyaan yang harus dianalisis dengan data.
Baru pagi ini saya punya waktu tenang mempelajari kembali tiga data untuk saling melengkapi. Sambil minum kopi, dengan kaki selonjoran di sofa, mendengar sayup-sayup musik instrumental, saya buka kembali aneka data.
Pertama data Exit Poll yang diambil di hari pecoblosan 19 April. Kedua data quick count yang juga berasal di hari yang sama. Ketiga data survei LSI terakhir, tengah April yang sudah dipublikasi memprediksi kemenangan Anies di atas 8 persen.
“Aha!.” Sayapun mendapat jawab. Penyebabnya bisa disederhanakan menjadi tiga saja. Dua kondisi di kubu Anies-Sandi. Satu kondisi di kubu Ahok.
Mengapa Ahok tak hanya kalah, tapi kalah telak? Mengapa Anies tak hanya menang, tapi menang telak? Kombinasi tiga hal ini menjadi sebab.
Penyebab pertama, Anies-Sandi menjadi melting pot, tempat berkumpulnya segmen anti Ahok. Sebagian mendukung Anies karena memang suka Anies-Sandi. Sebagian mendukung Anies karena semata anti Ahok dan tak ingin Ahok menang.
Paling banyak memang pendukung Anies. Tapi tak sedikit pula menjadikan Anies sebagai cara mengalahkan Ahok. Dari hasil survei, data yang punya efek elektoral negatif pada Ahok masih besar.
a) Yang menganggap Ahok menista agama masih di atas 50 persen.
Di bulan Maret 2016, yang tak dukung Ahok karena agama di bawah 40 persen. Bulan Des 2016, setelah kasus Al Maidah, yang tak dukung Ahok karena agama menaik menjadi 65 persen. Namun April 2017, segmen isu agama itu menurun tapi masih di atas 50 persen.
Bagi mayoritas segmen pemilih ini, yang penting yang menjadi gubernur ABA (Asal Bukan Ahok) saja. Siapapun yang melawan Ahok sejauh Muslim akan didukung.
b) Sentimen ingin gubernur baru masih di atas 50 persen.
Motif ingin gubernur baru tak hanya karena agama. Ini segmen anti Ahok yang juga tak suka dengan isu penggusuran, reklamasi, karakter Ahok yang kasar, dan juga prasangka etnis.
Namun di dalamnya juga banyak pemilih yang suka dengan personalitas Anies dan Sandi. Banyak pula pemilih yang pro program yang disosialisasi Anies Sandi.
Motif mereka aneka rupa. Namun menemukan titik temu dengan mendorong Anies kalahkan Ahok.
Penyebab kedua, Anies dan Prabowo secara sistematis mengembangkan isu baru yang populer di kelas menengah. Isu keberagaman, stabilitas politik, rasa aman, persatuan, menjadi nilai utama yang disukai pemilih menengah kota.
Pendidikan segmen kelas menengah ini  mahasiswa ke atas. Atau penghasilannya di atas 3,5 juta. Juga banyak  yang  punya gaji 10 juta sebulan.
Mereka kaum profesional, pengusaha, karyawan, aktivis, penganut agama yang modern, bahkan abangan atau malah sekuler. Jumlah mereka sekitar 35 persen dari populasi.
Selama ini mayoritas segmen pemilih ini  menjauhi Anies karena tak menyukai politisasi agama di kubu Anies. Apalagi beredar video yang ingin menjadikan mesjid sebagai pusat gerakan kalahkan Ahok.
Mengagetkan dari data Exit Poll, kini  Anies-Sandi justru unggul di segmen tersebut. Padahal ini segmen kelas menengah kota, yg dulunya sangat kritis pada Anies.
LSI sudah melakukan survei soal Anies vs Ahok sejak bulan Oktober 2016, setiap bulan. Belum pernah terjadi Anies unggul dibandingkan Ahok di segmen pemilih menengah ke atas.
Kini situasi berbalik. Ini strategi cerdas kubu Anies dan Prabowo. Sambil membiarkan mereka menjadi titik kumpul anti Ahok, mereka menggarap juga kelas menengah atas dengan isu yang berbeda.
Kubu Anies-Prabowo mainkan dua isu yang berbeda untuk dua jenis segmen pemilih yang berbeda. Berikan pada pemilih apa yang mereka anggap penting, sejauh tak menggangu platform utama.
Pada dua minggu terakhir, di social media, team Prabowo sangat intensif menyebarkan video, meme dan pesan soal isu kebangsaan itu.
Ujar Prabowo, saya akan menjadi orang pertama yang menurunkan Anies-Sandi jika mereka tidak merawat keberagaman dan menghianati NKRI maupun Pancasila.
Ujar Prabowo: Â kita sudahi Jakarta yang gaduh dan terbelah di bawah gubernur lama. Bisnis memerlukan rasa aman. Ekonomi perlu stabilitas politik. Ini lebih bisa diberikan oleh Anies-Sandi.
Isu itu, kebhinekaan, stabilitas, rasa aman, persatuan berhasil mengambil hati pemilih kelas menengah kota
Tapi ada hal lain. Bagaimana menjelaskan mengapa margin kemenangan Anies-Sandi besar sekali?
LSI Denny JA tengah april mengumumkan kemenangan Anies dengan margin di atas 8 persen. Survei itu segera dikecam oleh banyak pihak.
Sekjend PDIP membuat pernyataan pers khusus dengan menyatakan keliru jika menjadikan survei Denny JA untuk meyakini kemenangan besar Anies Sandi.
Di saat yang sama, survei SMRC hanya mengabarkan selisih 1-2 persen saja. Bahkan itupun dgn trend suara Ahok menaik dan Anies menurun. Hal yang sama dengan survei indikator. Political Charta yang surveinya lebih anyar bahkan mengumumkan Ahok sudah melampaui Anies.
Tapi apa yang terjadi? Anies tidak menurun bahkan menanjak ke angka 56-58 persen sesuai hasil umumnya quick count. Selisih kemenangan Anies vs Ahok tidak hanya 1-2 persen, tapi dua digit, di atas 10 persen. Bahkan selisih kemenangannya di atas margin survei LSI yang dikecam itu.
Telah terjadi sesuatu di kubu Ahok di era paska survei. Ini terjadi di era sejak seminggu sebelum pencoblosan.
Saya membandingkan data survei minggu pertama april dengan data exit poll minggu ketiga april. Terasa ada perubahan lumayan. Dukungan pemilih ekonomi menengah bawah relatif stabil. Namun dukungan segmen menengah kota untuk Ahok justru menurun.
Apa yang terjadi seminggu terakhir di kubu Ahok? Ini penyebab ketiga. Sebut saja ia blunder sembako. Gerakan membagikan sembako kubu Ahok di hari tenang terlalu mencolok. Bahkan ia menjadi headline koran Tempo di hari tenang. Dan menjadi viral yang meluas di aneka social media.
Ini blunder elektoral. Mereka ingin mengambil pemilih di kantong pendukung Anies. Namun isu gerilya sembako itu berbalik menghantam. Segera menjadi viral isu sembako dianggap sebagai money politics pihak Ahok.
Pemilih kelas menengah kota yang rasional, yang mendukung Ahok tapi masih ragu, tak nyaman. Sedikit hal saja  membuat tak nyaman, pemilih yang masih ragu itu malah berbalik badan untuk pergi dari Ahok.
Di hari pencoblosan, sebelum  jam 12.00 saya sudah sms (WA) ke Anies dan teamnya. Saya  juga sms (WA) ke Prabowo dan teamnya. Saya bawa kabar yang sangat ingin didengar: mereka menang. Di beberapa grup WA saya juga sudah mengabarkan kemenangan Anies.
Masalahnya TPS baru tutup jam 12.00. Mengumumkan kemenangan sebelum TPS tutup dianggap mempengaruhi pemilih secara tak sah.
Lama saya menunggu datangnya jam 12.00. Akhirnya saya umumkan secara resmi di soc med jam 12.15 soal kemenangan Anies-Sandi. Pada jam itu, saya menggunakan data Exit Poll.
Jam 15.00 saya perkuat lagi berita kemenangan Anies-Sandi itu. Kini  dengan data Quick Count.
Mengapa saya berani umumkan kemenangan Anies-Sandi, hanya 15 menit setelah TPS tutup? Saya melihat data exit poll  di aneka TPS. Data  terkumpul 70 persen pada jam 10.00 pagi.
Dari table, terlihat Anies dan Sandi menang tak hanya di segmen pemilih menengah bawah. Mereka juga unggul di kalangan pemilih menengah atas. Kemenangannya  terjadi di aneka wilayah.
Tak  ada arti lain. Ini petunjuk nyata Anies menang besar. Setelah data 70 persen, apalagi 100 persen, temuan itu harus sampai ke publik.
Jam 12.15 di hari pencoblosan, saya sudah ucapkan selamat datang gubernur baru. Dua dan tiga jam kemudian, salam itu berkibar di semua media oleh aneka pihak.
Rakyat sudah bicara. Mereka minta perubahan. Mereka minta gubernur baru. Kembali saya hirup kopi yang masih hangat.
Oleh Founder Lingkaran Survei Indonesia, Denny JA